Kissinger: Pertama Kali dalam Sejarah, Dua Negara Terkuat Dunia Bertarung dengan Kemampuan Setara (3)
Persaingan antara AS dan China harus dikendalikan menjadi kerja sama dan tidak berubah menjadi konflik.

Simon Saragih, wartawan senior Kompas.
”Amerika Serikat dan China tidak pernah menghadapi negara-negara dengan besaran yang kurang lebih seimbang. Ini pengalaman pertama. Dan kita harus mencegah peralihan ini agar tidak menjelma menjadi konflik, dan harapannya mengarah ke dalam bentuk kerja sama.” Demikian pernyataan Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di sela Bloomberg New Economy Forum, 16 November 2020.
Dengan demikian AS, setidaknya sejak merdeka pada 1776, tidak pernah berhadapan dengan negara berkekuatan sebesar China dengan kekuatan relatif seimbang. Hal ini disebut Kissinger sebagai peralihan, di mana dua negara telah dalam posisi seimbang kekuatannya. Situasi seimbang ini memiliki konsekuensi dalam hal strategi dan perundingan. Sebab, pertama kali pula ada yang berani melawan AS, yakni China. Kissinger melihat, tidak ada opsi paling pas selain saling mendekati.
Pandangan Kissinger belum berlaku umum. Sekadar informasi, keponakan Kissinger, Sivan Kaynar Kissinger, menjadi bintang pada 2017 lewat drama musikal. Drama ini bertutur tentang 20.000 Yahudi yang melarikan diri ke Shanghai, China, dari Nazi Germany. Dalam drama itu disebutkan Kedutaan Besar China di Austria menerbitkan visa untuk Yahudi Eropa saat banyak negara menutup jalan mereka hijrah dari kekejaman Nazi.
Menurut Sivan adalah Henry Kissinger yang turut memberi ide drama musikal berjudul Shimmer tersebut. Henry sendiri pernah berkata, ”Jika suatu waktu seseorang bertutur tentang China, bagaimana mereka menyelamatkan Yahudi, itu sama dahsyatnya dengan dua bom atom.”

Presiden AS Richard Nixon dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger sedang berjalan di depan Schloss Klessheim, Salzburg, Austria.
Terepas dari itu, beberapa pandangan dari sisi AS masih melihat opsi untuk menekan China, termasuk John Mearsheimer, walau tidak setuju dengan perang. Meski demikian, Mearsheimer berkata, perang tetap saja berpotensi meletup. ”Ini adalah era ketegangan yang akan meningkat,” lanjutnya.
Baca juga : Kekuatan Militer China Meraung-Raung di Lautan (2)
Akan tetapi, bagi Mearsheimer, asumsinya adalah AS masih yang terkuat di dunia. Dia melihat kekuatan China muncul 20 tahun lagi saat berdebat pada 2013 dengan Yan Xuetong, pakar hubungan internasional dari Tsinghua University pada 2013. Yan mengatakan, China menjadi superpower pada 2023, mirip dengan opini Kissinger. Pada tahun 2020 ini, Mearsheimer memodifikasi pandangannya. Opsi AS tidak merupakan serangan langsung ke China. Strateginya ialah apa yang disebut ”proxy war”. Perang dilakukan secara tidak langsung. Mengapa?
AS repot dengan dirinya
Masalahnya, AS sangat disibukkan dengan warisan persoalan yang terjadi di dalam negeri AS. Serangan atau aksi militer yang berpotensi memunculkan perang, adalah sebuah kemustahilan bagi AS. Dari segi paradigma, sentimen nasionalisme warga AS sedang berkecamuk. Sebagian warga lebih mementingkan perbaikan di dalam negeri. Ini suatu hal yang memberi ruang bagi Presiden Donald Trump eksis pada 2016, kata Mearsheimer.
Hal serupa diingatkan oleh Stephen M Walt, profesor hubungan internasional di Harvard University, lewat tulisan berjudul ”Biden Needs to Play the Nationalism Card Right Now”. Setelah sekian lama AS sibuk dengan paradigma liberal, dengan mengejar pengaruh di tingkat internasional, AS keteteran di dalam negeri. Hal inilah yang membuat AS kembali ke sentimen nasionalisme, sebuah faktor yang sangat kuat pengaruhnya dalam perjalanan sebuah bangsa.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2FHENRY-A-KISSINGER1-04_1594887642.jpg)
Dr Henry A Kissinger, bekas Menlu AS, kemarin (1/11), tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Disertai istrinya, Nancy Kissinger, dijemput Duta Besar AS John H Holdrige (kanan) serta Presiden IFEI AA Gde Agung.
Di samping itu, Joe Biden, Presiden terpilih AS, setelah era Trump, akan direpotkan masalah partisan yang mengental di dalan negeri. Trump dan Trumpisme akan mengganggu ketenangan Biden dalam memerintah. ”Cerita tentang politik Amerika di abad ke-21 adalah soal berkecamuknya polarisasi dan kebuntuan, … yang membuat Amerika tidak mungkin memimpin,” demikian sebuah tulisan di situs majalah Time edisi 4 November 2020 (https://time.com/5907546/america-divided-2020-election/).
Ini dikuatkan oleh mantan Direktur CIA John Brennan kepada televisi CNN pada 12 November 2020. ”Saya jauh lebih khawatir sekarang ini ketimbang empat tahun kepemimpinan Trump,” katanya.
Baca juga : Biden Akan Sulit Bersikap Keras terhadap China (1)
Kekhawatiran lain tentang AS sekarang ini adalah destruksi terhadap di balik kedekatan relasi Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Presiden Donald Trump. Bagi lawan politiknya, Trump dipersepsikan sebagai pudelnya (poodle) Rusia, kata Mearsheimer pada menit 1:13 di video University of Chicago Yuen Campus Hong Kong.
Brennan menambahkan, perilaku Trump memberikan sinyal mengkhawatirkan, termasuk setelah pemilu 3 November 2020. Brennan tidak menyebutkan Rusia, tetapi perilaku Trump mengarah pada opini bahwa musuh-musuh AS ingin melihat bagaimana situasi itu meretakkan AS sendiri. Tentu hal serupa menjadi perhatian para sahabat AS, yang sangat ingin situasi di AS segera membaik, di antaranya Kanselir Jerman Angela Merkel.

Pesawat tempur siluman F-35 terbang di atas Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, 12 Juni 2019. AS mengonfirmasi, 17 Juli 2019, bahwa Turki dicoret dari program F-35 Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) setelah Ankara membeli sistem pertahanan anti-rudal S-400 dari Rusia.
Tentang Rusia, ada rasa sakit hati Rusia akibat ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Eropa Timur, yang diusung paradigma liberalisme oleh AS sekian lama dalam kebijakan internasional. Inilah juga faktor yang mendekatkan Rusia ke China walau Rusia juga sebenarnya takut juga dengan perkembangan China.
Akan tetapi, Putin sendiri mengingatkan bahwa liberalisme AS sudah aus, seperti dia katakan dalam wawancara dengan Time pada 28 Juni 2019. Meskipun ada tuduhan Demokrat bahwa Trump adalah ”Putin di Gedung Putih”, kesalahan aliran liberalisme di AS menjadi penanam benih kelemahan domestiknya.
Semua faktor ini, termasuk faktor sakit hatinya Rusia, membuat AS sedang menghadapi kerepotan. Situasi ini melanggengkan niat China untuk semakin leluasa di wilayahnya. Sebab, China memang menginginkan AS sibuk pada dirinya dan sibuk pada urusan Amerika Selatan dan Amerika Tengah, kata Mearsheimer.

Dalam foto yang disediakan Angkatan Laut AS ini, tampak Kapal USS Ronald Reagan (CVN 76) dan USS Nimitz (CVN 68) sedang mengikuti latihan di Laut China Selatan, Senin, 6 Juli 2020. China berang dan menuding AS unjuk kekuatan militernya.
Memulihkan aliansi Asia
Meski demikian, AS dipastikan belum akan melepas cengkeraman di Asia. Mearsheimer menekankan pilihan AS kini adalah dengan memperkuat sekutu di Asia, terutama dengan negara-negara yang sedang takut akan kebangkitan China, seperti Jepang, Korea Selatan, dan India. Oleh karena itu, Asia, berdasarkan skenario ini, akan menjadi kawasan paling sengit dalam pertarungan AS-China. Asia sekaligus akan terbawa pada perang proksi. Asia berpotensi menjadi pelanduk.
Namun, inilah salah satu langkah AS atas China. Sebab, pencegatan langsung, seperti patroli AS langsung ke Hainan, rasanya makin mustahil. China selalu siaga dan siap menghadang setiap kali ada patroli pesawat mencurigakan di wilayahnya.
Baca juga : Di Era Biden, Kurang Porsi Utang dalam Denominasi Dollar AS
Penahanan AS dan sekutunya atas pengaruh China memang sedang dilakukan lewat kerja sama militer AS dengan sejumlah negara, seperti India, Vietnam, Filipina, dan Australia. Mungkin ASEAN juga akan menjadi sasaran AS untuk diajak beraliansi.
Meski demikian, pilihan ini tetap saja sulit. Pencegatan China lewat kerja sama militer AS dengan Jepang agak rawan. Ini mudah dianggap sebagai peringatan atas China terkait sengketa Kepulauan Diayou (Senkaku, dalam peta Jepang). China, misalnya, sudah mengingatkan Jepang-AS saat dua negara ini mempererat kerja sama militer.
”Traktat pertahanan AS-Jepang tidak boleh mengacaukan perdamaian dan stabilitas kawasan,” demikian jubir Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin. Ini dia katakan saat Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga bertelepon dengan Biden. Keduanya menyinggung traktat pertahanan yang mencakup Kepulauan Diaoyu. ”Diaoyu dan pulau-pulau terdekat masuk ke dalam teritori China,” demikian Wang.

Foto file ini diambil pada 9 Mei 2014, menunjukkan Filipina dan Marinir AS mengambil posisi selama latihan serangan pantai yang menghadap Laut China Selatan di San Antonio, Provinsi Zambales.
Kerja sama militer AS yang mungkin lebih aman adalah dengan Australia, India, dan ASEAN. Akan tetapi, ini pun harus dilakukan dengan kehati-hatian tingkat tinggi. Australia, misalnya, oleh China sudah diingatkan akan berpotensi menjadi ”sampah putih” di Asia Pasifik jika mencoba memancing China secara langsung atau tidak langsung lewat kerja samanya dengan AS. Kerja sama lain AS adalah dengan India juga mendapatkan peringatan dari China, yang mengatakan kerja sama ini tidak mengganggu Sri Lanka.
Bagaimana dengan ASEAN? Secara kelompok sebagai ASEAN, sikap China relatif tidak segarang saat negara ini memandang kerja sama militer AS dengan India dan Australia. Akan tetapi, jelas, China sudah memperingatkan agar AS tidak merusak struktur di ASEAN. China juga sudah merangsek masuk lewat kerja sama ekonomi. Ini strategi halus China lewat soft power dengan menggenggam ASEAN.
Baca juga : Sekelumit soal Keyakinan di Balik Kemenangan Biden-Haris
Di luar ASEAN sebagai kelompok, beberapa negara, seperti Vietnam dan Filipina, sudah merasa kewalahan jika dinilai berpihak kepada non-Asia, dalam hal ini AS. Akan tetapi, nuansa China akan beda, alias sangat bersahabat jika China mencanangkan kerja sama bilateral dengan setiap individu ASEAN.
Dengan Taiwan, kerja sama militer AS hampir muskil. China sudah menyatakan lewat kalimat tentang Taiwan, ”Jangan katakan bahwa kami tidak memperingatkan Anda.” Ini sebuah ungkapan menarik seperti dituliskan koran China, China Daily. Ini merujuk pada bahasa diplomasi China yang dianggap sebagai peringatan keras.
Frasa ini pernah digunakan tiga kali oleh People’s Daily, yakni pada 1962 sebelum konflik perbatasan China dengan India. Peringatan serupa dilakukan China menjelang perang China-Vietnam 1979 dan disampaikan lagi peringatan serupa terkait konflik dagang AS-China 2019.

Jet tempur F-16 Taiwan (bawah) terbang di dekat pesawat pengebom H-6 China di wilayah udara Taiwan dalam foto yang diambil dan dirilis Kementerian Pertahanan Taiwan, Senin (10/2/2020).
Peringatan ini digunakan lagi atas isu pemisahan diri Taiwan pada Oktober 2020.
Wang Xiaopeng, pakar perbatasan maritim dari Chinese Academy of Social Sciences, kepada China Central Television mengatakan bahwa Taiwan sedang memburu kemandirian dalam berbagai lini, termasuk diplomasi, ekonomi, media, intelijen, dan militer. ”Jika separatis Taiwan gegabah memburu tujuan-tujuannya, mereka pasti akan membayar harga yang mahal.”
Taiwan lebih jauh, sangat menyadari sinyal keras dari China. Taiwan kini sudah mulai menyatakan kekhawatiran, AS akan melonggarkan perlindungannya atas Taiwan karena kekhawatiran akan potensi kemarahan China. Itulah kira-kira gambaran jika AS tetap ingin hadir kukuh di Asia. Ruang tembak dan manuvernya amat sempit.
Jalan Tengah AS-China
Negosiasi, persahabatan.... Inilah pilihan AS terhadap China. Rasanya pandangan ini mustahil jika dilihat dari struktur great power politics, di mana sikap permusuhan adalah Warna utama dari negara-negara terkuat di dunia. Pilihan soal persahabatan juga lebih pelik mengingat Eropa, terutama Jerman, melihat China bukan demokratis, tetapi komunis. Ideologi demokrasi, diusung Kanselir Jerman Angela Merkel, kerap menyuarakan penyebaran demokrasi.
Baca juga : Kemenangan Biden-Harris Sangat Krusial dan Perlu bagi Dunia
Namun, pilihan untuk persahabatan dan toleransi pada kekuatan China juga kuat. Ini bertolak pada sejarah dan perkembangan situasi. Jika AS bisa menelorkan Doktrin Monroe, yang melarang kekuatan mana pun memasuki Amerika Latin, mengapa pula China yang menguat tidak bisa leluasa di Asia. Doktrin Monroe tidak memakmurkan Amerika Latin, hanya membuat Amerika Latin menjadi negara-negara mirip murid yang tak pernah beranjak menjadi lebih pintar.

Presiden China Xi Jinping menyalami Wakil Presiden AS Joe Biden di Beijing, 4 Desember 2013.
Persahabatan dan toleransi AS pada kekuatan China sebenarnya memiliki titik cerah. Setidaknya, secara verbal, China juga sedang mencoba menjungkirbalikkan teori jebakan Thucydides. Presiden China Xi Jinping sudah berkali-kali menyatakan negaranya lebih mengejar posisi saling menguntungkan dalam relasi internasional, tidak mengejar hegemoni dan lebih menginginkan dunia yang harmonis, stabil, serta Makmur.
Para pakar hubungan internasional China, seperti Yan Xuetong dari Universitas Tsinghua, juga menyatakan, China tidak berniat menjadi kekuatan hegemoni. Tentu China memperlihatkan sikap kukuh dalam perlawanan dan semakin keras melawan setiap kali ada tekanan Barat.
Padangan China ini, dari sisi strukturalis, menurut Mearsheimer, bisa menipu. Opini China yang lembut dan memiliki nilai Konfusius tidak menjadi jaminan. Sebab, dari paradigma strukturalis, ambisi negara kuat untuk menguasai tidak ada kaitan dengan ideologi dan nilai-nilai yang dikatakan dianut satu negara. Negara terkuat itu, kata Mearsheimer, juga bersifat revisionis, ingin mengubah tatatan lama sesuai keuntungan dan peruntungannya.
Namun, China pun tetap tidak mengerti dengan pandangan ini. Di tengah keinginan untuk tampil di panggung dunia, mengapa China sering dicurigai sebagai kekuatan yang ingin berkuasa. Demikian dikatakan Zhao Qizheng, Dekan dari School of Journalism, Renmin University, China. Zhao menekankan China tidak berkeinginan melakukan kerusakan dalam relasi internasional. Zhao menekankan prinsip ”keep a low profile” bukan sebuah tipuan, tetapi ekspresi tentang sebuah pendekatan tertentu.

Presiden China Xi Jinping berjalan berdampingan dengan mantan Menlu AS Henry Kissinger menuju pertemuan dengan delegasi dari Forum Ekonomi Baru 2019 di gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, Jumat (22/11/2019).
Saran Kissinger
Di tengah silang pendapat, Kissinger berpesan soal kebijakan AS di bawah Biden terhadap China. Dia mengingatkan Biden akan skala katastrofa Perang Dunia I jika konflik memantik perang. Biden harus bergerak cepat memulihkan jalur komunikasi yang berantakan di era Trump. Atau AS berisiko pada krisis yang memicu bentrokan militer. ”Jika tidak ada dasar untuk sejumlah kerja sama, dunia akan terjebak katastrofa setara PD I,” kata Kissinger.
Dia menambahkan, teknologi militer yang tersedia sekarang ini bisa membuat krisis lepas kendali jika dibandingkan dengan era-era sebelumnya. ”AS-China sekarang mengarah pada peningkatan konfrontasi, dan keduanya menjalankan diplomasi dengan cara konfrontatif. Bahayanya adalah sejumlah krisis berpotensi terjadi dan bisa melampaui retorika konflik militer,” kata Kissinger.
Kissinger, yang juga turut menata jalan menuju kunjungan bersejarah Presiden Richard Nixon pada 1972 ke China, mengatakan, pandemi Covid-19 bisa menjadi jalan diskusi politik bagi kedua negara. Solusi jangka panjang Covid-19 harus berbasis kerja sama global, katanya. Ini adalah satu jalan untuk mendekatkan kedua negara.
Relasi AS-China di titik terendah dalam beberapa dekade terakhir. ”Trump memilih metode konfrontasi dalam negosiasi. Tentu ada ketidakseimbangan ekonomi, tetapi saya lebih menyarankan pendekatan berbeda,” kata Kissinger.
Erosi dalam hubungan kedua bilateral mengarahkan kedua negara pada status Perang Dingin baru. Namun, kedua negara, kata Kissinger, harus bisa bersepakat, apa pun pemicu konflik, sehingga kedua negara tidak terjebak pada konflik militer. Untuk meraih itu, AS-China harus membentuk sistem kelembagaan di mana Presiden Xi Jinping menjadikannya sebagai sarana kontak. Demikian juga halnya sisi AS. Pandangan Kissinger ini implisit senada dengan langkah China.

Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berjabat tangan setelah menandatangani ”fase satu” perjanjian perdagangan AS-China dalam sebuah upacara di Ruang Timur Gedung Putih, Washington, AS, Rabu (15/1/2020).
Tentang ada berbagai faktor yang selalu menghambat relasi kedua negara, Kissinger tidak membantah hal tersebut. ”Tentu ada perbedaan kedua negara soal isu hak asasi manusia. Namun, penting bagi kedua negara saling memahami hal-hal sensitif. Kerja sama tidak harus berujung pada solusi atas masalah, tetapi setidaknya kerja sama berpotensi meredakan masalah yang akan membawa kedua belah pihak pada suasana yang memungkinan untuk melangkah lebih maju,” lanjut Kissinger.
Kissinger juga berpendapat soal niat AS mencari koalisi dengan tujuan menahan pengaruh China. ”Saya kira demokrasi harus bekerja sama. … Namun … koalisi yang diarahkan pada satu negara tertentu, ini tidak bijaksana. Lebih bagus menjalankan koalisi yang mencegah bahaya ….”
AS harus memahami sejarahnya sendiri yang relatif mulus dan tidak terganggu. AS juga harus memahami sejarah China yang memiliki sejarah panjang disertai krisis dalam relasi internasional. China selama periode 1839-1949 dikepung sejumlah negara. Penjajah asing memecah belah wilayah China, ini dilakukan Barat (terutama Inggris, Perancis, dan AS), Rusia, serta Jepang. Ini sebuah sejarah panjang yang telah membentuk rancangan kuat di China, yakni sikap kukuh tentang keutuhan China. Tidak akan pernah terjadi lagi, demikian opini kuat di China tentang sejarah penjajahan yang pernah memperlakukan negara itu selama 110 tahun.
Ada temuan Allison (Harvard). Meskipun jebakan Thucydides menjadi alasan utama terjadi perang besar di dunia, dalam sejarahnya juga ada beberapa potensi perang besar yang tidak terjadi. Negosiasi dan perundingan tidak tertutup bagi AS-China.