Kemenangan Biden-Harris Sangat Krusial dan Perlu bagi Dunia
Kemenangan Joe Biden dalam Pilpres AS 2020 amat krusial karena terjadi di tengah posisi AS dengan pemerintahan federal yang tidak berfungsi. Biden muncul saat pamor AS memudar dalam pandangan dunia.
Kemenangan Joe Biden-Kamala Harris merupakan pilihan paling tepat. Kemenangan Biden juga monumental karena terjadi di tengah posisi Amerika Serikat dengan pemerintahan federal yang tidak berfungsi. Biden muncul saat pamor AS memudar dalam pandangan dunia, hingga dugaan merangseknya pengaruh Rusia lewat Presiden Donald Trump.
Situasi mendesak tergambar lewat pernyataan mantan Presiden Barack Obama menjelang pemilu 3 November. Obama tiada hentinya menekankan Biden adalah pilihan terbaik. Biden dengan demikian sekaligus menyelamatkan wajah AS dalam pandangan dunia. Biden lebih menjanjikan kesejukan bagi urusan domestik AS yang dalam empat tahun terakhir tiada hari tanpa kehebohan, pertikaian, dan aksi saling serang.
Tentu, Biden bukan resep manjur juga untuk semua masalah negara AS yang mulai menua secara demografi. Kini, AS juga melemah secara ekonomi dan paling menderita akibat pandemi Covid-19. Akan tetapi, dari berbagai sudut pandang, Biden jauh lebih baik daripada Trump.
Pada 26 Oktober 2020, Hillary Clinton menyatakan merasa mual membayangkan andai Trump berkuasa lagi empat tahun mendatang. Ini bukan karena kebencian pribadi Hillary akibat kekalahan pada pemilu 2016. Bukan hanya Hillary yang merasa mual.
Lihat misalnya dari sisi etika politik dan cara bicara, decency. Trump kerap merendahkan orang lain yang tidak dia sukai dengan sebutan low people (manusia yang tidak ada apa-apanya). Kepada para aktor dan aktris anti-Trump, akan dia sebut sebagai selebritas film yang sedang memudar. Warga AS mendambakan tata krama politik dan kesantunan dalam perbincangan harian, termasuk ucapan lewat Twitter.
”Tata krama dasar, kini jelas menemui titik terang setelah mengalami kegelapan di era Trump,” demikian harian besar di Kanada, The Toronto Star, edisi 30 Oktober.
Masalah lain adalah rasisme. Walau tidak ada jaminan isu ini akan sirna, sebab ketimpangan pendapatan antar-ras, misalnya, begitu jomplang, tetapi setidaknya provokasi tidak akut. Adalah rasisme yang mencuat di era Trump, yang menjadikan Biden bertekad maju pada pemilu 2020.
”Tiga generasi kulit hitam mendeskripsikan rasisme di bawah Trump,” seperti dituliskan harian The Los Angeles Times, edisi 5 November.
Masalah lain adalah perpecahan dalam banyak hal. Trump tidak saja memusuhi Demokrat. Trump juga teralineasi dari arus utama Republiken. Trump memang dari Partai Republik, tetapi tidak menuruti garis umum Republiken. Trump bertindak sesuai kehendak sendiri didukung Trumpisme. ”Tidak, tidak lagi untuk era Trump,” kata mantan Gubernur New Jersey Christine Todd Whitman (Republiken) kepada CNN, 5 November. Dia bukan gambaran Republiken, kata Whitman.
Sikap seperti Todd Whitman merebak di kalangan kubu Republiken menjelang pemilu. Mungkin ini yang bisa menjelaskan mengapa lebih banyak warga Negara Bagian Arizona memilih Biden, yang disambut Biden dengan hati gembira.
Ini pertama kali dalam 24 tahun terakhir Arizona memilih Capres dari Demokrat atau pertama kali sejak Arizona memilih Bill Clinton (Demokrat) pada pemilu 1996. Demikian pula Negara Bagian Georgia, pertama kali dalam 28 tahun terakhir memilih Capres Demokrat atau pertama kali sejak Georgia memilih Bill Clinton pada pemilu 1992.
Bom waktu perekonomian
Kebijakan ekonomi domestik Trump amat akut. Biden menuduh kebijakan Trump menguntungkan korporasi dan kaum kaya AS serta mengabaikan rakyat umum. Di era Trump, utang Pemerintah AS telah bertambah 7 triliun dollar AS, menjadi 26 triliun dollar AS. Di sisi lain, dia menurunkan pajak, yang menurunkan penerimaan negara. Ini dengan sendirinya menjadikan utang sebagai penopang anggaran negara. Dan, anggaran yang bersumber utang ini dialokasikan untuk orang berada, kata Josh Bivens, Direktur Riset di Economic Policy Institute kepada Newsweek, 16 September 2020.
Baca juga : Untuk Pendukung Biden, Jendela Kemenangan Terlihat
Ekonomi di bawah Trump tumbuh. Akan tetapi, ini adalah akibat permintaan berbasis utang. Mirip dengan kita berbelanja, tetapi dari utang. Dengan posisi itu, potensi kekacauan kurs dollar AS seperti pada 2008 bukan tak mungkin terulang dan pasti berefek ke seluruh dunia. Ledakan ekonomi akibat ledakan utang mirip ledakan bom besar, tidak terjadi segera tetapi pasti meledak, hanya menunggu waktu. Tidak ada negara yang bisa terus hidup dengan utang.
Dalam sisi hubungan internasional, di mana AS masih sangat berpengaruh, juga menjadi lumpuh di bawah Trump. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kini praktis lumpuh. AS di bawah Trump tidak menanggapi penunjukan para hakim banding baru di Badan Sengketa WTO, salah satu instrumen inti di WTO. Para hakim banding yang segera berakhir masa jabatannya dan sebagian sudah berakhir tidak diisi dengan hakim baru. AS memblokir pengangkatan hakim baru karena Trump dan para penasihatnya melihat WTO tidak mau tunduk pada kehendak AS.
Relasi dengan Uni Eropa (UE) mandek di bawah Trump, yang berseberangan dengan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Sebaliknya, Trump dekat dan memuji Presiden Rusia Vladimir Putin. Tidak pernah ada serangan Trump terhadap Putin yang mencaplok Crimea, wilayah Ukraina pada 2014.
Kedekatan Trump dengan Putin menjadi keprihatinan Demokrat dan sekelompok Republiken. Ketua DPR-AS (House of Representatives) Nancy Pelosi hingga bertanya, ”Ada apa dengan Trump hingga dia memaksakan diri mengajak Rusia bergabung ke G-8?” Pelosi adalah salah seorang tokoh politik di AS yang sepanjang kepemimpinan Trump prihatin soal kedekatan Trump dengan Putin ini.
Ada apa? Apakah ini karena Trump memiliki utang besar yang tidak terbayar?Berbagai media besar di AS mengungkapkan isu utang Trump, yang diduga dalam status tidak lancar pembayaran, seperti dituliskan The New York Times, 16 Oktober 2020.
Apakah utang ini menjadikan Trump dalam jeratan Rusia? Michael Morell, yang pernah dua kali menjadi Penjabat Direktur Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA), bersama David Kris, mantan Asisten Jaksa Agung AS untuk urusan keamanan menuliskan artikel di harian The Washington Post, 11 Oktober 2020, berjudul ”Trump is in debt. We can’t ignore the national security risks that come with that”.
Penulis tidak memaparkan rinci utang Trump akibat bisnisnya yang merugi. Namun, penulis menuliskan fakta dari masa lalu bahwa pernah agen CIA bekerja untuk kepentingan Uni Soviet dengan mengorbankan aset CIA. Uang adalah harapan spionase AS itu untuk mengatasi utangnya sehingga mengorbankan negaranya dengan membantu Uni Soviet.
Baca juga : Teringat Ketika McCain Beri Ucapan Selamat kepada Obama
Trump sendiri mengatakan, utangnya tidak masalah dan itu urusan kecil. Akan tetapi, kecurigaan Pelosi terhadap kedekatan Trump dan Putin tidak pernah sirna. Pelosi gencar mendorong pendukung Demokrat dan Republiken mencoblos pada 3 November 2020 untuk kemenangan Biden. Sebab, itulah satu-satunya mandat rakyat dengan tujuan menggusur Trump lewat pemilu. ”Kita tidak bisa mengabaikan utang Trump, sebab bisa mengganggu keamanan nasional,” demikian Morrel dan Kris. Musuh AS bisa memanfaatkan situasi, demikian penulis.
Kembali soal isu relasi internasional ini, Trump tidak memiliki reputasi bagus. Trump malah bertemu dua kali dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Kebijakan luar negeri AS di masa Trump sangat aneh. Dengan tetangga AS, Kanada, Trump berseteru dengan PM Kanada Justin Trudeau. Tidak ada kebijakan luar negeri Trump, termasuk dalam perdagangan yang akomodatif bagi pertumbuhan dagang dunia.
Demikian juga terhadap China, kebijakan Trump lebih parah. Trump mengenakan tarif impor dari China. Padahal produk murah asal China justru sangat diperlukan warga AS, khususnya warga berpendapatan rendah. China balik membalas dengan mengenakan tarif impor terhadap produk pertanian AS, yang justru memiliki pasar besar di China. Tarif ini memukul para petani AS.
Trump merusak hubungan ekonomi dan dagang dengan China, negara pemasok utang terbesar ke AS. China membombardir Huawei, yang banyak menggunakan komponen buatan AS. ”Sungguh tidak memahami jaringan produksi dunia,” kata ekonom AS, Joseph E Stiglitz, soal kebijakan absurd di masa Trump.
Dalam hubungan lain, katakanlah Iran dan Israel, AS di bawah Trump hanya menyenangkan Israel. Trump menghebohkan dunia dengan segala tekanan ke Iran, yang ada di Teluk Persia. Hubungan panas AS-Iran menjadi ancaman bagi jalur minyak utama dunia.
Baca juga : Lima Faktor Tidak Mendukung Kemenangan Trump
Trump juga mebawa AS mundur dari perjanjian global tentang pemanasan iklim global. Di samping itu, Asia menjadi kawasan lebih panas karena Trump mengganggu China dengan aksi-aksi militer di Asia, yang pasti tidak bisa ditoleransi oleh China. Trump memperlakukan China, layaknya China masih lemah seperti di era dekade 1980-an.
Frustrasi pada Trump
Charlie Dent (Republiken), mantan anggota Kongres AS, merangkum kesalahan kolosal Trump. ”Jika bicara soal kebijakan, jelas ini terkait dengan keamanan nasional,” kata Dent. Dia mengatakan, kebijakan Trump justru menjadi ancaman bagi keamanan nasional AS. Trump dekat ke Rusia, sementara ke sekutu Eropa sangat menekan. Trump mengenakan tarif impor. ”Ini sesuatu yang tidak bisa saya bayangkan akan dilakukan oleh seorang presiden dari Republik,” kata Dent seraya mengatakan kubu Republiken sudah frustrasi menghadapi Trump.
Demikianlah AS, di bawah Trump bukan bangsa besar yang berwibawa dalam relasi internasional. Biden dan wakilnya Kamala Harris menjadi harapan besar dalam relasi internasional AS. Sekali lagi, kemenangan Biden-Harris terjadi pada momen paling kritis, amat penting bagi AS dan hubungan internasional.
Dengan kekuatan Rusia yang berduet dengan China, negara yang tidak demokratis dan bisa mendadak fasis, dunia membutuhkan penawar. Inilah kekhawatiran mantan Menlu AS Madeleine Albright soal kecenderungan fasisme global. AS masih menjadi andalan soal demokrasi. Memang benar, sejak era Ronald Reagan hingga George W Bush, wajah AS dalam status unipolar adalah kekuatan semena-mena.
Namun, seperti kata Obama, Biden punya nilai-nilai. Kamala Harris, wakilnya, juga memiliki nilai. Soal relasi internasional, Biden dan Harris memiliki strategi bagus. Mereka menjanjikan pengelolaan relasi tanpa meninggalkan prinsip, tetapi sekaligus juga memahami kolaborasi apik.
Kemenangan Biden-Harris amat krusial karena bisa semakin menghancurkan AS andaikan sebaliknya yang terjadi. Kekalahan Trump sekaligus menjadi contoh bagi politisi mana pun di dunia bahwa rakyat akan menghukum lewat pemilu jika memerintah bukan demi kepentingan rakyat. Selamat kepada Biden-Harris.