Kehidupan guru honorer di sejumlah daerah yang tidak layak memberikan gambaran bahwa hidup mereka sudah lama menderita.
Oleh
SAIFUR ROHMAN
·4 menit baca
Pemerintah, Selasa (17/11/2020), mengumumkan bahwa para guru honorer akan mendapat kesempatan melakukan tes daring pada 2021 untuk menjadi pegawai negeri sipil. Hal itu dilakukan melalui skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak atau PPPK.
Pemerintah konon telah menargetkan pengangkatan sejuta guru honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selain janji peningkatan status, guru honorer juga dijanjikan akan mendapatkan insentif selama pandemi. Selama periode tiga bulan, guru madrasah non-PNS akan menerima bantuan subsidi gaji sebesar Rp 600.000.
Menurut klaim pemerintah, ada 543.928 guru raudlatul atfal (setingkat taman kanak-kanak)/madrasah. Karena itu, pemerintah menganggarkan Rp 979.070.400. Sementara itu, ada 93.480 guru pendidikan Islam non-PNS di sekolah umum yang juga akan menerima bantuan.
Selain janji dan anggaran, perlu ditanyakan, apa yang lebih dari sekadar uang dan makan? Bagaimana baiknya kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan guru ke depan? Apa implikasi terhadap peningkatan mutu pendidikan Indonesia?
Janji-janji palsu
Masa depan guru honorer bukanlah janji-janji. Sebelumnya juga sudah ada janji. Janji itu muncul setelah gejolak di lapangan tentang kehidupan guru honorer berada di bawah standar kehidupan yang layak. Ada yang hidup di toilet, kerja sambilan, serta berani mengancam membunuh pejabat pemerintah untuk perbaikan penghidupan.
Mereka sudah menjalani pekerjaannya selama puluhan tahun dan tidak mendapatkan peningkatan kehidupan yang memadai. Yang sudah terjadi, janji pemerintah itu jarang bisa diwujudkan. Padahal, kewajiban guru honorer sebetulnya tidak berbeda dengan guru yang berstatus PNS. Bahkan, tak jarang, karena statusnya sebagai honorer, mereka ”diplonco” dengan berbagai tugas tambahan karena dipandang statusnya ”tidak aman”. Karena itu, lebih dari sekadar janji, ada langkah-langkah strategis yang perlu dijalankan pemerintah sebelum terlambat.
Pertama, penataan kebijakan yang berpihak. Yang lebih mendesak bukanlah mengiming-imingi status menjadi aparat sipil negara, melainkan menata pengelolaan guru honorer di tingkat satuan pendidikan. Guru honorer yang sangat bergantung pada ”kebaikan hati” kepala dan bendahara sekolah harus diubah menjadi kebijakan pemerintah yang bisa ditagih secara kuantitatif dan kualitatif.
Kebijakan yang berpihak terhadap perikehidupan guru honorer lebih lestari karena pada hari-hari ke depan guru honorer akan selalu ada. Pemerintah tentu tidak akan memberikan janji masa depan untuk guru honorer yang akan datang.
Kedua, pengubahan kultur guru PNS. Perasaan nyaman sebagai PNS membuat kinerja guru stagnan. Hal itu beranjak dari kenyataan bahwa kultur pengetahuan guru di dalam sekolah berbanding terbalik dengan luar sekolah. Guru yang baru masuk mendapatkan pengetahuan di luar sekolah secara lebih cepat dibandingkan dengan guru di dalam lingkungan sekolah yang tidak lagi mengalami peng-kini-an pengetahuan dan teknologi.
Guru PNS telanjur mandek. Dalam berbagai kesempatan, ketika harus berkeliling Nusantara untuk melakukan pendampingan Kurikulum 2013, saya bertemu bermacam-macam guru kelas. Pendampingan itu bertujuan menyosialisasikan model pembelajaran dalam kurikulum dan pembelajaran saintifik. Dalam kesempatan itu, guru-guru muda lebih adaptif terhadap perubahan ketimbang guru-guru senior.
Belum lama ini saya menjadi narasumber dalam sebuah lokakarya literasi digital yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara tersebut bertujuan mengubah pembelajaran luar jaringan menjadi dalam jaringan melalui perangkat teknologi digital. Mereka diminta membuat konten.
Hasil lokakarya ini memperlihatkan bahwa guru-guru muda lebih melek digital daripada guru-guru senior. Hal itu memperlihatkan ketimpangan pengetahuan. Jelas bahwa problem pengetahuan guru tua dan guru muda ini tidak tersentuh oleh pemerintah.
Hasil lokakarya ini memperlihatkan bahwa guru-guru muda lebih melek digital daripada guru-guru senior.
Guru tua dan guru muda
Ketiga, paradoks guru senior dan yunior ini memiliki akar dalam pembinaan pemerintah selama ini. Sebagai contoh, problem dalam pengetesan kompetensi guru yang sudah berjalan sekarang ini sangat timpang. Pemerintah hanya menilai aspek profesional dan pedagogi, tetapi unsur-unsur lain dianggap ”tidak bisa dites secara kuantitatif”.
Ada empat kompetensi guru, sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, yakni pedagogi, profesional, kepribadian, dan sosial. Mekanisme uji kompetensi guru yang tidak imbang itu turut memberi andil terhadap pembentukan pola pikir guru yang hanya mementingkan materi pelajaran dan model pembelajaran.
Sementara itu, sikap, pribadi, dan lingkungan guru ”yang tidak bisa disusun menjadi soal pilihan ganda” itu kemudian diabaikan. Pemerintah tidak merancang tes untuk kepribadian dan aspek sosial. Padahal, hal itu bisa dijadikan sebagai kerangka untuk mengurangi ketimpangan pengetahuan antara satu guru yunior dan senior.
Karena itulah, sebagai rekomendasi, kiranya belum terlambat jika pemerintah memutar haluan dalam pembinaan terhadap guru. Bukan soal status pegawai, melainkan kesejahteraan. Bukan sekadar penguasaan materi pelajaran, melainkan perlu kiranya mengubah prinsip guru menuju semangat asah, asih, asuh di luar aspek profesional dan pedagogi.
Pendeknya, perlu dikembangkan pembinaan dalam aspek sosial dan pribadi. Kebijakan pemerintah bukan sekadar ”memberikan uang makan”, melainkan haruslah berimplikasi terhadap peningkatan kualitas dan semangat bagi pendidik dan pendidikan. Sebagai contoh, aspek ketabahan yang dimiliki guru honorer juga bisa dipertimbangkan.
Hal yang sungguh-sungguh terjadi, pengabdian guru honorer yang berbilang tahun perlu dianggap sebagai kompetensi. Kehidupan guru honorer di sejumlah daerah yang tidak layak memberikan gambaran bahwa hidup mereka sudah lama menderita. Apa ada uji kompetensi yang lebih berat ketimbang menjalani penderitaan berbilang tahun menjadi seorang guru?
Saifur Rohman,Pengajar di Universitas Negeri Jakarta.