Lupakan Cita-cita Swasembada Gula
Tanpa kesediaan menjamin keuntungan buat pelaku usaha, terutama petani, ada baiknya kita lupakan saja cita-cita berswasembada gula.
Tanda-tanda seleksi alam di industri gula mulai terjadi. Bukan lantaran pandemi Covid-19, melainkan karena iklim kompetisi terbuka dan sengit dalam memperebutkan bahan baku tebu dari petani.
Pandemi menambah tekanan persaingan sehingga sejumlah pabrik gula (PG) kelimpungan. Salah satu akibatnya, PG yang biasanya giling tebu sekira 150 hari atau lima bulan, kali ini harus mengakhiri giling lebih awal. Bahkan, 14 Agustus 2020, ada PG yang tutup: PG Lestari di Nganjuk, Jawa Timur. Artinya, masa giling PG tak sampai tiga bulan. Saat artikel ini ditulis, boleh jadi sudah puluhan PG yang tutup giling.
Terancam
PG tutup giling lebih awal adalah sinyal ada sesuatu yang serius yang mengancam industri pergulaan. Ancaman ini menyangkut eksistensi PG: terus beroperasi atau tutup giling yang kemudian berlanjut tutup operasi. Dalam kompetisi terbuka, bukan yang kuat yang bertahan. ”Melainkan yang paling adaptif dalam merespons perubahan,” begitu teori survival of the fittest Charles Darwin (1809-1882). Teori klasik itu menemukan relevansinya saat semua pabrik gula yang tak memiliki lahan sendiri berebut tebu petani.
PG tutup giling lebih awal adalah sinyal ada sesuatu yang serius yang mengancam industri pergulaan.
Seperti usaha lain, PG memiliki ”rumus baku” yang harus dipenuhi: kapasitas operasional minimal. Agar tetap eksis dan bisa membiayai overhead cost (biaya operasional, terutama gaji karyawan) selama setahun, PG harus giling minimal lima bulan. Kurang dari itu, PG bakal merugi.
”Rumus baku” ini terutama berlaku untuk PG-PG BUMN di Jawa yang absolete, bermesin tua, dan berkapasitas giling kecil. Di PG-PG ini, mesin hanya beroperasi lima bulan. Selebihnya, PG menganggur dan dirawat oleh sebagian kecil karyawan.
Baca juga: Masa Depan Industri Gula Domestik
Sebaliknya, PG swasta, terutama yang ada di Lampung, bisa beroperasi sepanjang tahun. PG-PG swasta ini teknologinya baru, kapasitas gilingnya besar, dan ditopang lahan sendiri dalam bentuk hak guna usaha (HGU). Penyatuan manajemen di lahan dengan di pabrik membuat PG mudah mengintegrasikan aktivitas tanam, tebang, angkut, dan giling untuk mencapai efisiensi, produktivitas, dan rendemen tinggi. Produksi utama PG masih berwujud gula, tapi bukan satu-satunya. Sebaliknya, produk utama PG BUMN, ya, gula.
Berbeda dengan PG swasta di Lampung, PG-PG BUMN di Jawa rata-rata tidak memiliki lahan sendiri. Mereka menggantungkan bahan baku tebu dari petani. Relasi petani-PG diikat lewat sistem bagi hasil: PG mendapat 34 persen gula sebagai upah giling, 66 persen sisanya milik petani. Petani juga mendapat tetes 3 kilogram per kuintal tebu. Besar-kecilnya gula yang diterima petani tergantung bobot tebu dan rendemen. Kian besar bobot tebu dan rendemen, kian besar gula yang diterima petani. Demikian pula sebaliknya.
Ketidaksalingpercayaan
Masalahnya, relasi petani-PG masih diwarnai distrust. Di satu sisi, petani tidak memercayai rendemen hasil pengukuran di PG. Distrust ini berurat akar dari pengukuran yang tidak transparan. Rendemen diukur secara kolektif, bukan individual. Ini disinsentif buat petani yang kualitas tebunya bagus. Di sisi lain, PG juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kualitas tebu petani yang disetorkan ke PG. Petani hanya mengejar bobot tebu, tetapi abai kualitas yang tecermin pada rendemen. Tebu yang disetor juga terkadang kotor.
Dalam situasi demikian hadir PG-PG baru di Jawa. Di Jawa Timur, misalnya, ada PT Kebun Tebu Mas di Lamongan dan PT Rejoso Manis Indonesia di Blitar. Juga PT Gendhis Multi Manis, anak perusahaan Bulog, di Blora, Jawa Tengah. Tiga PG swasta ini teknologinya baru, kapasitas giling besar, dan menghasilkan aneka produk.
Tiga PG swasta ini teknologinya baru, kapasitas giling besar, dan menghasilkan aneka produk.
Dengan kekuatan kapital, termasuk keuntungan dari izin impor raw sugar untuk diolah jadi gula (kristal putih maupun rafinasi), PG-PG ini mempraktikkan sistem baru: beli tebu dengan sistem putus. Berbeda dengan sistem bagi hasil yang pembagian hasilnya setelah gula terjual lewat lelang, lewat sistem baru ini petani bisa langsung mengantongi uang begitu tebu diterima PG. Apalagi, harga yang ditawarkan PG-PG baru ini lebih menarik.
Sebagai gambaran, dengan rendemen 7 persen dan harga lelang gula Rp 10.500 per kilogram plus hasil bagi tetes, harga normal tebu mestinya Rp 59.000 per kuintal. Namun, di lapangan, tebu dibeli Rp 70.000, bahkan Rp 80.000, per kuintal.
Baca juga: Harga Gula Petani Anjlok, Tunda Dulu Olah Gula Mentah
Disparitas keuntungan yang besar ini membuat petani dari beberapa daerah menyetorkan tebu ke PG yang menerapkan sistem beli putus tebu, seperti PT KTM dan PT RMI. PT KTM, misalnya, tidak hanya menerima tebu dari Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Jombang, dan Gresik, tapi juga dari Kediri yang jaraknya 120 kilometer dari pabrik. Praktik ”tebu wisata” ini marak di Jawa.
Praktik ”tebu wisata” sudah ada sejak 1990-an. Saat itu PG berlomba memberikan insentif angkut kepada petani. Kali ini didorong oleh praktik sistem beli putus tebu. Sistem baru ini memiliki keunggulan: pengukuran rendemen transparan dan individual, harga tebu sesuai mutu, tak muncul masalah bagi hasil, petani tak terbebani inefisiensi pabrik, rantai pasok gula lebih pendek, dan PG bisa lebih fokus pada efisiensi pabrik dan diversifikasi produk. Harapannya, PG bisa lebih efisien. Petani diuntungkan sistem ini.
Namun, sistem baru ini membuat relasi petani-PG berubah dari kemitraan jadi transaksional; ada potensi kekacauan pengaturan jadwal tanam, tebang, dan angkut; serta PG harus menyediakan dana tunai besar untuk membeli tebu petani. Ini masalah krusial bagi PG BUMN. Hanya PG bermodal kuat yang bisa eksis, bertahan, dan memenangi persaingan pasar terbuka.
Baca juga: Selamat Tinggal Petani Tebu
Sisanya, karena tak mendapatkan pasokan tebu memadai, harus pelan-pelan menyingkir dari pasar. Efek dominonya: PG-PG BUMN antre berhenti operasi karena merugi. Pada waktunya, PG-PG ini ditutup dan jadi monumen sejarah.
Hanya PG bermodal kuat yang bisa eksis, bertahan, dan memenangi persaingan pasar terbuka.
Dalam jangka panjang, ini bakal membuat peta persaingan di industri pergulaan berubah. Hanya PG yang efisien dan bermodal kuat yang bakal memenangi persaingan terbuka karena bisa beradaptasi dengan keadaan. Kapasitas semacam ini hanya dimiliki PG-PG swasta. Sisanya, terutama PG-PG BUMN, harus pelan-pelan menyingkir dari pasar yang kompetisinya semakin keras. Inefisiensi, kapasitas modal yang terbatas, dan pelbagai aturan yang membelenggu membuat mereka sulit beradaptasi dengan keadaan.
Peta jalan industri gula
Sebelum antrean PG tutup mengular, otoritas berwenang mesti lekas bertindak agar kondisi tidak kian parah dan runyam. Lebih dari itu, ada kebutuhan mendesak bagi industri ini untuk melengkapi dirinya dengan peta jalan berjangka panjang. Ini jika negara mengakui industri pergulaan tengah mengidap masalah superserius dan perlu penanganan komprehensif, hulu-hilir, dan terintegrasi.
Peta jalan ini menjadi panduan semua kementerian/lembaga/para pihak, menuntun rencana kerja, cara mencapai, evaluasi, hingga outcome. Termasuk mengikat secara rinci siapa melakukan apa.
Baca juga: Sinyal Kuat Defisit Gula
Saat ini ada banyak kebijakan di industri pergulaan yang saling berkonflik dan saling menorpedo. Ini antara lain disumbang oleh kebijakan yang pragmatis, inkonsisten, dan berubah-ubah. Koordinasi kementerian/lembaga juga tidak jalan.
Setiap kementerian/lembaga jalan sendiri-sendiri dengan peta jalan sendiri. Ego sektoral membuat industri pergulaan seperti otopilot. Petani sebagai garda terdepan dalam industri pergulaan tak ada yang mengurus nasibnya secara serius. Jika di negara lain petani dijamin untung, di sini tiap tahun mereka harus berjuang agar negara hadir dengan cara tak lazim: berdemonstrasi.
Setelah peta jalan, industri pergulaan perlu kehadiran lembaga clearing house seperti Dewan Gula Indonesia yang telah dibubarkan Presiden Jokowi pada 2014 karena alasan mubazir. Lembaga inilah yang akan mengoordinasikan dan menyinkronkan semua kebijakan pergulaan kementerian/lembaga. Termasuk menyediakan satu data buat acuan kebijakan. Baik data produksi maupun konsumsi, baik gula konsumsi maupun gula rafinasi buat industri.
Selama ini tersedia banyak versi data, sesuai vested interest kementerian/lembaga. Diakui atau tidak, centang-perenang di industri gula antara lain karena kekosongan fungsi ini.
Baca juga: Pabrik Gula Terancam Semakin Kekurangan Pasokan Tebu
Riset harus menjadi panduan pengembangan industri gula yang berdaya saing ke depan. Selama puluhan tahun industri pergulaan berjalan tanpa sentuhan hasil-hasil riset yang membanggakan. Ini terjadi karena lembaga riset warisan Belanda,
Pusat Penelitian Perkebunan Gula (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur, tak lagi dianggap penting oleh negara. Inovasi P3GI di tahun 1930-an mampu menyulap industri gula di Jawa dari tidak efisien jadi terefisien di dunia hingga mengalahkan industri gula Eropa harus menghidupi diri sendiri.
Varietas tebu transgenik satu-satunya di dunia yang dikembangkan Universitas Jember juga tak dianggap penting. Justru negara lain yang telah memanfaatkannya.
Riset harus menjadi panduan pengembangan industri gula yang berdaya saing ke depan.
Terakhir, ada baiknya melihat potensi gula nontebu. Salah satu yang potensial adalah gula dari nira kelapa sawit. Dari 16,38 juta ha lahan sawit saat ini, dengan asumsi siklus pertanaman 25 tahun, berarti tiap tahun ada 0,65 juta hektar yang harus diremajakan. Dari pohon sawit yang dirobohkan, tiap hari bisa dihasilkan 5-10 liter per pohon selama dua bulan.
Dengan 330 pohon per hektar, berarti ada potensi 64,87 juta liter nira per tahun, setara 12,87 juta ton gula merah. Kebutuhan gula konsumsi dan industri kita cuma 6 juta ton. Potensi ini belum banyak dilirik dan diteliti. Ini bisa jadi fokus riset ke depan.
Kesejahteraan pelaku
Apa pun kebijakan pemerintah ke depan, panduan yang harus diutamakan adalah kesejahteraan pelaku, terutama petani. Petani adalah pelaku ekonomi yang rasional. Ia akan merespons secara positif atau negatif tiap kebijakan yang ada. Eksperimen harga talangan pada 2000-2008 memberi pelajaran penting (Pakpahan, 2017). Karena pasti untung, luas tanam tebu petani naik: dari 343.000 hektar pada 2002 menjadi 434.000 hektar pada 2008.
Produksi gula juga naik: dari 1,6 juta ton pada 2003 menjadi 2,57 juta ton pada 2008. Setelah harga talangan digantikan dengan harga patokan dan kemudian harga acuan, luas panen dan produksi gula terus meluruh. Tanpa kesediaan menjamin keuntungan buat pelaku usaha, terutama petani, ada baiknya kita lupakan saja cita-cita berswasembada gula.
Khudori, Pegiat Komite Pendayagunaan Petani dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)