Masa depan industri gula berbasis tebu domestik benar-benar dipertaruhkan karena rente ekonomi gula rafinasi amat menggiurkan.
Oleh
BUSTANUL ARIFIN
·5 menit baca
Tahun 2020 adalah fenomena pasang surut industri gula Indonesia. Kelangkaan gula di awal pandemi Covid-19 dan lonjakan tinggi harga eceran gula menjadi tantangan serius bagi masa depan industri gula berbasis tebu domestik.
Untuk meredam lonjakan harga eceran gula, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2020 tentang Penyederhanaan Perizinan Impor. Izin impor gula mentah diberikan ke beberapa pabrik gula (PG), termasuk anak usaha BUMN, mengizinkan gula rafinasi masuk pasar modern. Sebelumnya, melalui Surat Edaran Menteri Pertanian No 593 Tahun 2019, pemerintah mengubah sistem bagi hasil tebu menjadi ”sistem beli putus” tebu petani oleh PG.
Dua solusi kebijakan temporer ini telah meningkatkan ancaman kelangsungan hidup industri gula berbasis tebu domestik. Memasuki musim giling Juni 2020, industri gula dalam negeri, terutama di Jawa, mulai tertekan karena pasokan bahan baku tebu menurun.
Pemerintah memfasilitasi kesepakatan harga lelang gula antara 12 PG dan Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia, yakni Rp 11.200 per kg, pada 10 Juli 2020. Namun, banyak PG terpaksa berhenti giling sejak akhir September karena kesulitan bahan baku kian menjadi-jadi.
Dua solusi kebijakan temporer ini telah meningkatkan ancaman kelangsungan hidup industri gula berbasis tebu domestik.
Respons kebijakan yang diambil tak mampu mengatasi masalah, bahkan mengancam masa depan industri gula.
Produksi gula domestik
Tanda-tanda krisis gula sebenarnya telah diperingatkan para analis sejak awal 2020. Produksi gula 2019 hanya 2,23 juta ton setelah taksasi produksi 445.000 hektar tak tercapai. Realisasi giling tebu 2019 hanya 411.000 hektar atau ada kekurangan 37.000 hektar dari taksasi. Produktivitas tebu 67,4 ton per hektar, masih di bawah taksasi 71,52 ton per hektar. Untungnya, musim kemarau ekstrem 2019 telah meningkatkan rendemen rata-rata gula dari 7,8 persen ke 8,0 persen.
Harga eceran gula merayap naik di atas Rp 14.000 per kg pada Januari 2020 menjadi Rp 16.000 per kg pada Maret, lalu terus melonjak tinggi sampai di atas Rp 18.000 per kg pada April-Mei 2020 atau pada Ramadhan dan Idul Fitri. Harga mulai turun setelah gula mentah asal impor mulai masuk, digiling oleh industri gula rafinasi, bahkan diizinkan beredar di pasar modern dan pasar tradisional.
Harga eceran gula turun drastis sampai Rp 15.000 per kg setelah Juli dan mulai stabil pada Idul Adha hingga Agustus 2020. Akhir Oktober 2020, harga eceran gula dalam negeri berada di bawah Rp 14.000 per kg, mendekati harga patokan Rp 12.500 per kg.
Pada 2020 produksi gula diperkirakan 2,1-2,2 juta ton, jauh lebih rendah dari target 2,5 juta ton karena musim giling selesai terlalu dini. Konsumsi gula 2020 diperkirakan konstan 6 juta ton karena daya beli turun sebagai dampak pandemi.
Sebagai konsekuensi dari fleksibilitas impor gula mentah, total impor gula pada 2020 diperkirakan naik ke 4,2-4,5 juta ton. Indonesia kini importir gula terbesar di dunia, jauh melewati China (3,4 juta), AS (2,9 juta), Bangladesh (2,3 juta), Aljazair (2,3 juta), Korsel (1,9 juta), Malaysia (1,9 juta), dan lain-lain.
Masa depan industri gula berbasis tebu domestik benar-benar dipertaruhkan karena rente ekonomi gula rafinasi amat menggiurkan. Harga gula mentah di pasar global medio Oktober 2020 adalah 14 sen dollar AS per pound free on board (FOB) atau sekitar 309 dollar AS per ton.
Jika ongkos angkut, asuransi, dan pengolahan (CIF) gula impor sekitar 200 dollar AS per ton, harga gula rafinasi di pabrik sekitar 509 dollar AS per ton. Dengan kurs Rp 14.800 per dollar AS, harga gula rafinasi di pabrik hanya Rp 7.530 per kg. Dengan harga eceran Rp 12.500 per kg, margin harga gula rafinasi Rp 5.000 per kg.
Masa depan industri gula berbasis tebu domestik benar-benar dipertaruhkan karena rente ekonomi gula rafinasi amat menggiurkan.
Rente ekonomi gula rafinasi akan jauh lebih besar lagi jika harga eceran gula Rp 14.000 per kg, apalagi hingga Rp 18.000 per kg. Industri gula domestik harus mampu bersaing dengan industri rafinasi berbasis gula mentah impor.
Pada Oktober 2020, beberapa PG BUMN sudah berhenti giling karena bahan baku tebu kian sulit diperoleh. Bahkan, beberapa PG tak lagi mampu menerima gula petani karena tutup giling pada 23 September 2020.
Benar, satu-dua PG masih bisa melakukan giling hingga pertengahan Oktober 2020. Namun, banyak PG BUMN menghadapi persoalan cash-flow karena harus ”membeli putus” tebu petani hingga Rp 9.000 per kg yang tentu sangat memberatkan. Beberapa PG secara pragmatis menggiling gula mentah impor agar persoalan cash-flow tak lebih serius.
Sepanjang September-Oktober 2020 terdapat fenomena ”tebu-wisata”. Banyak truk pengangkut tebu mondar-mandir atau berputar-putar di sekitar PG, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para petani dan tengkulak tebu secara pragmatis mencari PG yang mampu memberikan harga beli tebu lebih tinggi.
Sistem kelembagaan dan kerja sama petani dan PG, yang jadi ciri khas industri gula nasional, seakan hilang tak berbekas. Persoalan governansi sistem bagi hasil tebu dengan PG ternyata dipecahkan secara liberal dengan solusi ”sistem beli putus”. Jika tak segera ditanggulangi, fenomena ini mengancam eksistensi pabrik gula berbasis tebu domestik.
Opsi solusi kebijakan
Pertama, kebijakan ekonomi gula perlu komprehensif, tak setengah-setengah dan pragmatis, serta meliputi dimensi hulu ke hilir. Dari sistem usaha tani, peningkatan produktivitas tebu perlu dirumuskan, pembenahan kelembagaan dan kemitraan petani-PG juga perlu diperbaiki. Kebijakan perlu lebih jelas mengarah ke peningkatan efisiensi pengolahan tebu, penataan rantai nilai gula, termasuk kebijakan impor gula mentah.
Kedua, aransemen kelembagaan dan kemitraan petani tebu dengan PG perlu diperbaiki, tak harus dengan solusi liberal di atas. Jika dalam jangka pendek, petani seakan jadi lebih sejahtera dengan ”sistem beli putus”, pada jangka menengah-panjang, strategi liberalisme bisa mengancam eksistensi industri gula domestik. Hubungan emosional petani tebu-PG bisa diperbaiki dengan perbaikan governansi, keterbukaan tata kelola, pendampingan teknis oleh PG, dan kerja sama saling membutuhkan-menguntungkan.
Ketiga, ketegasan kebijakan dengan berbagai konsekuensinya, termasuk jika masih akan mempertahankan target swasembada gula konsumsi. Perbaikan efisiensi produksi di hulu dan di tengah perlu jadi target strategis dan operasional sebagai indikator kinerja utama bagi industri gula BUMN.
Faktanya, industri gula milik swasta masih bisa menjaga harga pokok produksi gula Rp 5.000-Rp 6.000 per kg hingga mampu bersaing di level global. Jika industri gula BUMN mampu meningkatkan efisiensi mendekati tingkat yang dicapai swasta, consumer surplus bisa dihemat Rp 7 triliun per tahun. Semua terpulang pada perumus kebijakan karena opsi solusi kebijakan untuk perbaikan masih dapat dilaksanakan (doable) dengan baik.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Senior Indef; Wakil Ketua Umum Perhepi.