Demokrasi, Stabilitas Politik, dan Kemajuan Negara
Sangat berbahaya jika pemerintah dan rakyat Indonesia tak waspada. Sejarah mencatat bagaimana kekuatan luar banyak bermain dalam menciptakan perubahan politik di Indonesia. Indonesia yang kaya selalu menjadi incaran.

Kebebasan demokratis yang dirasakan 22 tahun terakhir telah membuat sebagian kalangan mengabaikan soal pentingnya aspek stabilitas politik. Di tengah upaya pemerintah untuk menegakkannya, perbedaan pandangan mengenai wujud dan metode untuk membangun stabilitas nasional mewarnai pembicaraan publik belakangan ini.
Perjalanan sejarah Indonesia merdeka menunjukkan bahwa negara kita telah beberapa kali mengalami tantangan instabilitas politik. Semua bentuk instabilitas politik tersebut dengan cara yang berbeda-beda bisa diatasi dan negara kita tetap selamat sampai hari ini, meskipun proses itu beberapa kali menghasilkan pergantian pemerintahan yang berlangsung dalam hiruk-pikuk; seperti dialami pada pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru dan dari Orde Baru ke Orde Reformasi.
Baca juga: Sejarah untuk Mencerdaskan Bangsa
Pengalaman menunjukkan bahwa perubahan yang bergejolak membuat kita mundur dulu beberapa langkah. Sejak periode awal kemerdekaan hingga hampir sepanjang dekade 1950-an, ketika era demokrasi liberal, terjadi instabilitas politik yang hebat. Benturan-benturan berlangsung dengan amat keras di antara kekuatan politik; ideologi yang paling kanan melawan yang paling kiri; yang prodemokrasi melawan yang prokomunis; yang agamis melawan komunis; dan penganut ekonomi liberal melawan yang proetatisme/sosialisme.
Benturan-benturan keras itu menghasilkan perpecahan di masyarakat, parlemen, dan juga pemerintahan.
Benturan-benturan keras itu menghasilkan perpecahan di masyarakat, parlemen, dan juga pemerintahan. Pemerintahan berjalan tak stabil, saling intrik antar-internal koalisi yang membuatnya begitu mudah bubar dan jatuh. Di era Orde Lama, pemerintahan RI rata-rata berganti setiap enam bulan.
Baca juga: Pelestarian Demokrasi
Ditambah lagi benturan-benturan yang membuahkan keinginan memisahkan diri (seperti RMS) atau mengganti bentuk negara (menjadi negara komunis, negara federal, negara Islam) seperti yang dilakukan pemberontakan PKI Madiun 1948, PRRI/Permesta, DI/TII, Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.
Sejarah mencatat bahwa stabilitas politik nasional menjadi relatif lebih stabil setelah Presiden Soekarno merespons bertele-telenya proses politik di Konstituante yang diiringi jatuh bangunnya pemerintahan parlementer, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu membawa Indonesia kembali ke UUD 1945 dan sebuah sistem politik yang dinamai Demokrasi Terpimpin; sebuah pendekatan membangun stabilitas politik yang menurut kacamata sekarang ini bersifat imperatif dan otoritarian.

Sejumlah simpatisan berpartisipasi dalam parade Bhinneka Tunggal Ika yang berlangsung dari Tugu Patung Kuda Arjuna Wijaya Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta hingga ke Tugu Tani, Menteng, Sabtu (19/11/2016). Aksi damai ini mengampanyekan pentingnya merawat Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan kebinekaan Indonesia.
Setelah kegagalan pemberontakan G30S/PKI, kita masuk ke era Orde Baru. Soeharto yang memimpin selama 32 tahun juga melakukan pendekatan yang serupa dengan Presiden Soekarno. Stabilitas politik diletakkan dalam urutan pertama Trilogi Pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta pemerataan pembangunan diletakkan pada urutan kedua dan ketiga.
Ia melakukan pengendalian sosial politik yang ketat, dengan pemaksaan penyederhanaan parpol dan tema demokrasi Pancasila, hingga terjadi krisis ekonomi pertengahan 1997, kemudian peristiwa Mei 1998, Pak Harto mengundurkan diri dan tibalah era Reformasi hingga sekarang.
Baca juga: Jalan Terjal Memenuhi Janji Reformasi 1998
Era Reformasi juga perlu waktu untuk membangun stabilitas politik. Dalam periode Januari 1998 hingga Desember 2004, selama tujuh tahun, RI dipimpin lima presiden, berturut-turut Pak Harto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, di mana tiga yang pertama melalui pergantian yang istimewa.
Praktis, stabilitas politik era Reformasi baru tercapai sejak 2004, ditandai dengan tertibnya proses politik setiap lima tahunan, berupa pemilu DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilu presiden/wakil presiden. Dinamika demokrasi berlangsung tanpa ada pemerintahan yang berhenti di tengah jalan dan pergantian pemerintahan tidak diikuti dengan kemunduran ekonomi.
Prinsip transparansi serta partisipasi publik dan pers yang bebas telah mendorong lembaga-lembaga negara bekerja sesuai tupoksinya.
Prinsip transparansi serta partisipasi publik dan pers yang bebas telah mendorong lembaga-lembaga negara bekerja sesuai tupoksinya. Reformasi telah melahirkan tatanan negara yang memberikan kebebasan politik amat luas dan sekaligus stabilitas politik. Ekonomi dapat bergerak tanpa langsung terganggu oleh dinamika politik. Pertumbuhan ekonomi kita 16 tahun terakhir selalu tercatat relatif tinggi dalam ukuran dunia.
Kebebasan yang kebablasan
Pencapaian sosial-ekonomi yang ada saat ini patut kita syukuri, berupa meningkatnya produk domestik bruto (PDB), meningkatnya usia harapan hidup, meningkatnya pendapatan per kapita, menurunnya tingkat pertambahan penduduk dan angka kematian bayi, meningkatnya angka literasi dan tingkat pendidikan rata-rata penduduk, serta meningkatnya kelas menengah dan mobilitas penduduk yang semakin tinggi.
Namun, kita perlu menyadari bahwa sesungguhnya potensi pertumbuhan sosial-ekonomi kita jauh lebih tinggi dari apa yang sudah dicapai. Banyak kajian tidak membantah bahwa jika mampu mengelola aneka potensinya dengan tepat, Indonesia berpotensi untuk tumbuh double digit, seperti dialami China.
Baca juga : Kebebasan dan Demokrasi Kebablasan
Kita meyakini, demokrasi adalah sistem terbaik yang akan membawa negara dan bangsa kita pada kemajuan dan kesejahteraan. Karena itu, kemajuan signifikan sosial-ekonomi negara dan bangsa kita haruslah menjadi tujuan dari kebebasan dan stabilitas politik yang telah terwujud.

Ritel Nasional : Optimizing National Market for Global Experience
Kebebasan politik menjadi terasa percuma jika kita gagal melakukan lompatan sosial-ekonomi yang signifikan. Apalagi, jika performa ekonomi kita kalah dibandingkan dengan negara yang tingkat kebebasan politiknya lebih terbatas, seperti China dan Vietnam.
Banyak orang sepakat, belakangan ini kebebasan politik telah dipraktikkan secara kebablasan. Kebebasan telah menjadi tujuan; tidak ditempatkan sebagai alat untuk mencapai kemajuan. Kebebasan politik yang ada cenderung dimanfaatkan sebagian masyarakat dan elite politik untuk mengganggu stabilitas politik yang telah cukup baik terbina sejak 2004. Amat terasa ada yang mendorong konflik politik yang bersifat vertikal dan horizontal dengan warna yang baru.
Baca juga: Pandemi dan Politik
Penghinaan pada kepala negara dan ajakan untuk revolusi, menggulingkan pemerintahan yang sah, bebas diserukan sebagian orang dalam mimbar dan pertemuan umum. Di beberapa kesempatan tekanan massa yang diikuti perusakan fasilitas umum telah digunakan untuk melakukan tekanan politik kepada presiden.
Banyak orang sepakat, belakangan ini kebebasan politik telah dipraktikkan secara kebablasan.
Paling mengkhawatirkan, munculnya babak baru dalam hubungan sosial politik dengan pertentangan-pertentangan yang kian fragmental. Di ruang publik menjadi biasa beredar aneka ujaran kebencian, sarkasme dan vulgar, berita hoaks dan fitnah, serta tindakan yang mengancam demokrasi, seperti persekusi, anarkisme, dan penggunaan sarana ibadah untuk menghasut. Secara umum terasa adanya kemerosotan kesantunan dalam berpolitik.
Atmosfer politik di Tanah Air menjadi gaduh, tidak nyaman, dan menimbulkan persepsi keliru dunia internasional atas kondisi Indonesia yang sebenarnya. Tentu ada ongkos ekonomi dari kegaduhan ini karena risiko bisnis di Indonesia jadi dianggap meningkat.
Baca juga: Risiko dan Peluang Era Normal Baru
Di tengah segala kekurangannya, di Indonesia ada kebebasan berbicara dan berserikat, ada media massa yang bebas, ada lembaga perwakilan hasil pemilu yang fair dan telah berfungsi sesuai kewenangannya, ada masyarakat sipil dan komunitas intelektual yang aktif mengawal berbagai isu, dan tersedianya mekanisme check and balance terhadap setiap cabang kekuasaan negara.

Memang, kondisi ideal sebagai negara demokrasi belum kita capai. Tapi berlebihan untuk mengatakan kita sedang berjalan mundur ke arah otoritarianisme. Dibandingkan praktik politik di India, secara umum Indonesia lebih baik.
Langkah-langkah pemerintah untuk menciptakan ketertiban umum berdasarkan hukum perlu didukung. Bisa dipahami jika beberapa tokoh telah diamankan aparat penegak hukum untuk mencegah suatu kondisi anarki yang tak terkendali. Itu lebih baik daripada menjadi represif setelah api membesar.
Baca juga: ”Omnibus Law”, Antara Buruh dan Produktivitas
Upaya pemerintah mengarahkan orientasi dan energi rakyat kepada produktivitas ekonomi dan fokus bekerja adalah sudah seharusnya. Bagi semua negara di dunia ini, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat serta pembangunan peradaban memerlukan kondisi yang kondusif berupa ketertiban umum.
Kita akan semakin tertinggal dari negara lain jika stabilitas politik yang sudah ada terus diganggu. Pekerjaan besar berupa upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki pemerataan ekonomi antarwilayah dan antarpelaku ekonomi akan kembali tertunda. Penulis yakin mayoritas publik telah mengambil posisi yang selaras dengan pemikiran di atas.
Langkah-langkah pemerintah untuk menciptakan ketertiban umum berdasarkan hukum perlu didukung.
Tak bersambutnya isu kebangkitan PKI, tak membesarnya gelombang protes terhadap UU Cipta Kerja, menurunnya oplah majalah Tempo, dan memudarnya gerakan KAMI adalah indikasi bahwa rakyat cukup puas dengan sistem dan proses politik yang ada dan mendambakan terciptanya ketenangan dan keteraturan menuju kemajuan.
Tatanan politik yang sedang berjalan telah dipandang cukup memberi ruang untuk individu warga negara menjadi dinamis aktif menuju ke kemajuan. Mayoritas publik sepertinya tak terlalu mendukung mereka yang cenderung membuat suasana panas, mendorong dinamika yang destruktif, menimbulkan kebencian, dan menggulirkan debat-debat yang tak perlu.
Mereka yang cenderung mengembangkan pendekatan antagonistik perlu melihat sejarah perkembangan negara-negara Skandinavia, Swiss, dan Jepang yang menciptakan kemajuan dalam suasana ketenteraman dan kedamaian, progressio in harmonia. Saya mengajak semua pihak untuk merenungkan proses menuju kemajuan yang harmonis ini.

Aksi demonstrasi anti-pemerintah untuk menandai satu tahun sejak kerusuhan anti-pemerintah massal yang menewaskan lebih dari 500 orang terus berlanjut di Kota Basra, Irak, Senin (2/11/2020).
Pelajaran Timur Tengah
Pihak-pihak yang mengincar kekuasaan juga perlu berkomitmen pada aturan main dalam persaingan politik yang disepakati bersama dan jangan sampai menjadi kepanjangan kepentingan pihak asing. Peristiwa-peristiwa di Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman, dan Irak, yang tercabik-cabik dalam perang saudara yang mengerikan, menunjukkan bahwa perang proksi semakin menghebat.
Di lima negara itu, kekuatan global dan regional saling bersaing. Kekuatan global seperti AS bisa melakukan banyak hal guna mewujudkan hegemoni. Tak kurang Hillary Clinton berpidato di Senat AS menjelaskan bagaimana Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sengaja dibangun AS di Afghanistan, membesarkan kelompok Wahabi dan kekuatan-kekuatan radikal di dalam Islam untuk menghantam pemerintahan di berbagai tempat. Biasanya, kalau itu terjadi, sesalnya muncul di kemudian hari.
Baca juga: Saatnya Mengubah Struktur Perdamaian di Timur Tengah
Betapa menyesalnya rakyat Libya yang dulu tak punya utang luar negeri, diberi fasilitas sekolah, perawatan kesehatan dan rumah gratis, sekarang harus hidup dalam keruwetan seperti itu. Betapa menyesalnya rakyat Afghanistan, Suriah, Yaman, dan Irak dengan aneka peninggalan peradaban besarnya, sekarang telah hancur lebur.
Betapa menyesalnya rakyat Afghanistan, Suriah, Yaman, dan Irak dengan aneka peninggalan peradaban besarnya, sekarang telah hancur lebur.
Sangat berbahaya jika pemerintah dan rakyat Indonesia tak waspada. Sejarah mencatat bagaimana kekuatan luar banyak bermain dalam menciptakan perubahan politik di Indonesia. Sebagai negara berwilayah luas yang kaya SDA dan sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan dunia serta memiliki pasar domestik terbesar keempat di dunia, Indonesia pastilah selalu diincar oleh banyak kepentingan di dunia ini.

Siswono Yudo Husodo
Indonesia perlu berhati-hati, jangan sampai kebebasan demokrasi membentuk proses divergensi nasional dan dinamika sentrifugal, menumbuhkan friksi-friksi yang dipicu oleh kehausan kekuasaan. Sebuah trilogi baru untuk negara Indonesia yang demokratis, produktif, dan berkemajuan diperlukan, yaitu ketertiban umum dengan penegakan hukum yang tegas, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan pembangunan antarwilayah dan antarwarga.
Siswono Yudo Husodo, Ketua Pembina Yayasan Universitas Pancasila