Sejarah untuk Mencerdaskan Bangsa
Setiap sejarawan tentu menulis berdasar minatnya. Namun, bicara tentang sejarah nasional seyogianya sejarah tersebut mencerdaskan bangsa, bukan menyebar kebodohan.

Prof Dr Asvi Warman Adam
Di tengah pandemi Covid-19 yang membawa dampak luar biasa, baik secara global maupun nasional, perlu ditulis sejarah yang membangkitkan harapan.
Pandemi pasti berlalu. Sejarah pada hakikatnya adalah penceritaan tentang bagaimana cara manusia, sendiri atau bersama-sama, menghadapi bahaya, rintangan, dan tantangan, dan akhirnya bisa lepas dari itu. Pada saat dilanda wabah korona ini yang terlihat di Tanah Air adalah gotong royong segala komponen bangsa di bawah koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah menghadapi ancaman yang menyerang keselamatan warga negara dan selanjutnya ekonomi nasional.
Kita pernah melewati pandemi semacam ini pada masa lalu. Namun, sejarah itu berulang dan kita perlu belajar dari situ. Apa yang terjadi pada pandemi influenza 1918 di Hindia Belanda kembali muncul.
Yang terulang itu adalah ketidaktahuan dan ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat. Karena itu, memori kolektif harus dilestarikan. Ketika terjadi wabah pes (sampar) di Malang tahun 1911, sebanyak 1.500 orang tewas. Dokter Belanda menolak berangkat ke sana dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang berangkat dan merawat korban.
Baca juga : Sejarah sebagai Alat Pembebasan
Ia bertemu seorang bayi yang dinamai Pesjati (kemudian berubah jadi Pestiati) dan mengangkat jadi anak. Ada patung Tjipto Mangoenkoesoemo dengan anak angkatnya itu di Malang sehingga orang tak pernah lupa akan pagebluk itu.
Dalam biografi para tokoh nasional di Indonesia hampir tak ada yang mengingat pandemi influenza 1918, kecuali Slamet Iman Santoso yang menuturkan bahwa sekolahnya di Magelang selama dua bulan kosong. Ia berjalan kaki menempuh jarak 3,5 kilometer ke sekolah selama dua minggu, tetapi murid yang datang cuma sedikit. Ratusan orang sakit dan puluhan meninggal. Pedagang kain kafan menutup tokonya karena takut serbuan pembeli.
Sejarah pada hakikatnya adalah penceritaan tentang bagaimana cara manusia, sendiri atau bersama-sama, menghadapi bahaya, rintangan, dan tantangan, dan akhirnya bisa lepas dari itu.
Komprehensif dan inklusif
Yang absen sejak era reformasi adalah Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang jadi pegangan pengajaran sejarah di sekolah. Oleh sebab itu, perlu dibuat SNI baru. Sejarah nasional itu seyogianya mencerdaskan bangsa, mempersatukan rakyat, dan bersifat inklusif.
Rangkaian tonggak sejarah Indonesia sejak awal abad XX sebaiknya dibahas secara komprehensif. Sejarah yang tak tepat, tak lengkap, dan tak jelas perlu disempurnakan. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebaiknya tak hanya membahas peran Budi Utomo yang didirikan 20 Mei 1908, tetapi juga menampilkan perjuangan Sarekat Islam.
Kedua organisasi itu didahului oleh institusi pendidikan yang didirikan keturunan Tionghoa (Tiong Hoa Hwee Koan) dan keturunan Arab (Jamiatul Khair).
Baca juga : Sumpah Pemuda dan Data Pintar
Sumpah Pemuda 1928 adalah tonggak sejarah penting. Pemuda Indonesia dari berbagai suku dan agama mengikrarkan persatuan. Etno-nasionalisme telah berkembang jadi nasionalisme.

Ketika di masa Orde Baru narasi persatuan ditekankan oleh penguasa tetapi demokrasi dikekang, maka Prof Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa Manifesto Perhimpuan Indonesia di negeri Belanda tahun 1925 lebih lengkap dari Sumpah Pemuda. Manifesto itu mengandung prinsip persatuan, kesetaraan, dan kemerdekaan.
Ada dua tonggak sejarah sangat penting tahun 1945, yaitu proklamasi kemerdekaan dan lahirnya Pancasila yang kemudian ditetapkan sebagai dasar negara. Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan dengan gagah berani tanpa menghitung kita sudah memiliki prasarana cukup untuk menjalankan roda pemerintahan.
Ibaratnya, orang tetap menikah walaupun hanya punya gubuk sederhana dan peralatan rumah tangga seadanya. Dinamika hubungan pemuda dengan pemimpin yang lebih senior seperti Soekarno dan Hatta memperlihatkan proklamasi itu termasuk tanggalnya bukan desain Jepang.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara memang sudah menjalankan prinsip musyawarah dan mufakat. Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 telah mengalami perubahan oleh panitia sembilan dengan penambahan tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam rumusan final 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tujuh kata itu diganti ”Yang Maha Esa” (sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa).
Kalau dikatakan sejarah nasional bersifat komprehensif, itu berarti mengupas pencapaian bangsa Indonesia, tetapi tak melupakan kegagalan kita masa lalu. Kita menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika 1955 yang jadi inspirasi untuk merdeka banyak negara. Asian Games 1962 dan Ganefo 1963 terlaksana dengan prestasi membanggakan.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara memang sudah menjalankan prinsip musyawarah dan mufakat.
Di masa Orde Baru dijalankan pembangunan ekonomi dan terbentuk organisasi regional ASEAN. Namun, perlu diakui berlangsung pula pelemahan demokrasi dan serangkaian pelanggaran HAM berat.
Lahir Pancasila dan Kesaktian Pancasila
Tahun 1964 sudah ditetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun, pada masa Orde Baru, Kopkamtib melarang peringatan itu sejak 1 Juni 1970. Pada era Reformasi, Presiden SBY belum berhasil menetapkan kembali hari lahir Pancasila karena penolakan tokoh Islam AM Fatwa.
Baru pada Mei 2016 PBNU mengusulkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Presiden Jokowi menyetujuinya dan mengeluarkan Keppres No 24/2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Dalam keppres itu disebutkan rumusan Pancasila sejak 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Soekarno, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 hingga rumusan final 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara.
Sebelumnya, 18 Agustus telah ditetapkan menjadi Hari Konstitusi sejak tahun 2008.
Baca juga : Refleksi 75 Tahun Pancasila

Presiden Sukarno di Hadapan Para Kader Pembela Pancasila, Pada Tgl. 18 Juni 1954.
Tahun 2015 Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Tanggal itu dipilih karena 22 Oktober 1945 dikeluarkan Resolusi Jihad oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Wajib hukumnya bagi umat Islam untuk membela negara pada radius 94 kilometer. Inilah yang antara lain mengobarkan semangat arek Suroboyo untuk berjuang melawan Sekutu tanggal 10 November 1945 di Surabaya.
Tentu ada pula Bung Tomo yang berpidato di radio. Jadi terlihat bahwa perjuangan meraih kemerdekaan (dan selanjutnya mengisi kemerdekaan) itu tidak terlepas dari kerja sama golongan nasionalis dengan golongan keagamaan.
Belakangan terjadi kegaduhan pada sebagian kalangan menyangkut RUU tentang Pancasila. RUU itu semula bernama RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Sebaiknya UU itu difokuskan saja kepada pengaturan teknis Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sehingga tidak ada lagi polemik.
Sementara itu, lebih positif kita bercerita tentang pencapaian masa lalu, yang sebetulnya masih relevan sampai sekarang, seperti Presiden Soekarno yang menawarkan Pancasila sebagai ideologi alternatif kepada dunia dalam pidatonya, ”To Build the World Anew”, di depan Sidang Umum PBB September 1960.
Setiap tahun ada dua peringatan terkait Pancasila, yakni hari Lahir Pancasila dan hari Kesaktian Pancasila. Keduanya sangat penting dan saling melengkapi. Pada hari Lahir Pancasila kita berbicara tentang lahirnya Pancasila yang juga berperan mempersatukan bangsa.
Pancasila itu abadi karena ancaman perpecahan itu lumrah terjadi pada bangsa yang demikian majemuk. Apabila dasar negara itu diibaratkan fondasi rumah, dinding dan atapnya sudah dibangun, perlu dijaga dari bahaya lain, yaitu angin badai dan topan atau tanah longsor.
Pancasila itu abadi karena ancaman perpecahan itu lumrah terjadi pada bangsa yang demikian majemuk.
Bahaya itu adalah pemberontakan, kudeta, makar yang terjadi dari masa ke masa sejak 1945. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu bermakna kita mampu bertahan dan tetap eksis dari rongrongan berbagai upaya untuk meruntuhkan negara.
Oleh sebab itu, peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober seyogianya tak hanya menyangkut kudeta Gerakan 30 September 1965, tetapi juga pemberontakan/kudeta yang terjadi sejak Indonesia merdeka seperti Madiun 1948, DI/TII, PRRI/Permesta, RMS, OPM, dan GAM. Semua itu mencoba merusak persatuan bangsa.
Ada upaya membelokkan sejarah dengan mengatakan pemberontakan yang terjadi di daerah itu bukan pemberontakan, melainkan hanya pergolakan daerah. Pemerintah harus serius dan tegas menanggapi ini.
Sejarah yang mencerdaskan bangsa itu tentu didukung dengan kritik sumber menggunakan dokumen yang sahih, tertulis dan/atau lisan, primer ataupun sekunder. Lazimnya temuan sumber, metode, dan perspektif baru akan melahirkan sejarah baru. Sejak era Reformasi telah muncul sejarah baru, sejarah yang tak bisa ditulis di era Orde Baru. Sejarah tak hanya ditulis oleh pemenang, tapi juga oleh korban.
Sejarah yang mencerdaskan bangsa itu tentu didukung dengan kritik sumber menggunakan dokumen yang sahih, tertulis dan/atau lisan, primer ataupun sekunder.
Belakangan ini muncul di medsos informasi tentang hantu PKI, yang sudah dibubarkan tahun 1966. Anggotanya sudah dibunuh dan ditangkap pasca-G30S. Yang masih hidup dan keluarganya mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, misalnya KTP diberi kode ET, tak boleh jadi PNS dan anggota ABRI.
Jadi, PKI itu sudah punah di Indonesia. Sewaktu era Reformasi pun dengan tetap berlakunya TAP MPRS No XXV/1996 tak ada peluang setitik pun bagi organisasi komunis untuk hidup di Indonesia. Jadi, informasi tentang bahaya laten PKI itu hanya informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Setiap sejarawan tentu menulis berdasar minatnya. Namun, bicara tentang sejarah nasional seyogianya sejarah tersebut mencerdaskan bangsa, bukan menyebar kebodohan.
Asvi Warman Adam, Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik LIPI.