Indikasi Piala Dunia U-20 batal digelar terlihat dari ketiadaan jadwal ajang tersebut di kalender AFC 2021. Pemerintah dan PSSI wajib bekerja keras dan bahu membahu agar ajang akbar itu jadi digelar di Indonesia.
Oleh
Yesayas Oktovianus
·6 menit baca
Hampir dua tahun lalu ketika Indonesia diberikan kepercayaan oleh FIFA untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2021, ada kegembiraan yang meluap-luap di masyarakat sepak bola kita. Namun, di balik itu juga ada sikap pesimistis ikut mewarnai euforia menjadi tuan rumah sebuah kejuaraan akbar sepak bola dunia, meski untuk level yunior.
Sikap pesimistis itu muncul bukan karena kita tidak mampu menggelar sebuah ajang olahraga tingkat dunia, tetapi lebih pada urusan prestasi di lapangan. Pada Asian Games 2018, kita sukses secara penyelenggaraan baik di saat pembukaan ataupun penutupan, tetapi tidak di lapangan hijau sepak bola. Ukuran keberhasilan sebuah prestasi olahraga adalah di lapangan pertandingan. Berbicara soal Piala Dunia, muncul pertanyaan, ”Memang kita bisa berbuat apa nantinya? Pembinaan pemain yunior kita sama-sekali tidak jalan, lalu bagaimana tim kita bisa bersaing di tingkat dunia?”
Bagi PSSI, apa pun caranya (dalam arti positif), tim kita harus mencetak prestasi. Untuk itulah, Ketua PSSI Mochamad Iriawan yang biasa disapa Ibul bergerak cepat menghadirkan sosok pelatih asal Korea Selatan (Korsel), Shin Tae-yong (STY) untuk memoles anak-anak muda kita. Karya instan mencetak prestasi pun dimulai oleh STY pada Agustus, sambil berharap periode waktu sepuluh bulan ke depan, sampai dengan Mei 2021, sebuah tim kebanggaan kita sudah terbentuk.
Bagi pemerintah, lain lagi. Sukses menggelar Asian Games 2018 harus menjadi tolok ukur untuk bisa lebih sukses lagi menjadi tuan rumah yang baik dan ramah di ranah sepak bola dunia. Apalagi, Piala Dunia U-20 nanti setuju atau tidak, menjadi warisan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kalau Presiden RI pertama Soekarno membangun Stadion GBK Senayan sebagai salah satu stadion termegah di dunia pada 1965, Jokowi tercatat sebagai Presiden pertama yang menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia sepak bola.
PSSI dan pemerintah sebagai dua kubu yang sebelum ini saling mengintip dan mencurigai untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing, akhirnya bagaikan dua sejoli yang begitu mesra menatap Piala Dunia U-20. Pemerintah lewat Menpora Zainudin Amali dan Ibul bahu-membahu membangun tim U-19 dan mempersiapkan masalah nonteknis, antara lain, memperbaiki infrastrukstur di enam kota yang menjadi arena. Perbaikan stadion dan lapangan pendukung serta akses jalan, dipercayakan kepada Menteri PUPR, Basoeki Hadimoeljono.
Pandemi Covid-19
Dalam dua pekan terakhir, muncul keraguan tentang jadi-tidaknya Piala Dunia U-20 dilaksanakan tahun depan. Kegalauan yang mengusik persiapan Indonesia sebagai tuan rumah itu hadir karena beberapa faktor, antara lain, masih tingginya penyebaran pandemi covid-19, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) tidak mencantumkan kegiatan Piala Dunia U-20 di kalender 2021, dan kompetisi profesional (Liga 1 dan Liga 2) di Tanah Air tidak dituntaskan pada 2020.
AFC tentu tidak sembarangan merilis kalender kegiatan sepak bola tahun 2021 tanpa jadwal Piala Dunia U-20. Sebagai konfederasi sepak bola Asia, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya, AFC tidak mungkin mengabaikan kegiatan piala dunia tersebut. Sebelum mencetak kalender, AFC sudah pasti berkomunikasi dengan FIFA untuk mendapatkan dan memastikan semua kegiatan pada 2021.
Yang menarik adalah antara PSSI dan pemerintah menjadikan pademi Covid-19 untuk kepentingan masing-masing dan bertolak belakang. Di satu sisi, pemerintah mempersilakan dilaksanakannya Pilkada pada Desember 2020. Sementara jauh sebelumnya pada Oktober, PSSI sudah meminta agar kompetisi Liga 1 dan 2 yang tertunda bisa digelar lagi, tetapi pemerintah lewat Polri tidak memberikan izin keramaian. Bahkan, sampai dua kali Polri menolak mengeluarkan izin tersebut. Satunya lagi, untuk permintaan PSSI menggelarkan kompetisi pada November.
Tidak ada alasan bagi covid-19 untuk meniadakan Pilkada. Akan tetapi, untuk sepak bola, Covid-19 hadir sebagai momok yang menghancur-leburkan semua harapan dan kepentingan pemangku kepentingan. PSSI harus memutar otak untuk menyelesaikan masalah kontrak dengan sponsor di timnas dan PT LIB sebagai operator kompetisi kasta tertinggi. Sementara pemain, pelatih dan ofisial di tiap klub ”berteriak” meminta agar pertandingan segera digulirkan sehingga mereka bisa melihat dapurnya berasap kembali.
Sungguh ironis memang. Pemerintah di satu sisi sangat mendambakan Piala Dunia U-20 terlaksana, tetapi di sisi lain, pemerintah tidak tulus atau sepenuh hati membantu PSSI melaksanakan kewajibannya menggelar kompetisi. Sadar atau tidak, pemerintah telah ikut menghadirkan rasa kurang percaya FIFA kepada Indonesia (baca PSSI) karena ketidakmampuan menyelesaikan kompetisi hanya karena alasan Covid-19.
Jika memang demikian, kalau sampai FIFA akhirnya menunda atau membatalkan Piala Dunia U-20 tahun depan, pemerintah ikut bertanggung jawab dengan pembatalan tersebut. Sepak bola adalah hidupnya FIFA, tetapi nyawa manusia di atas segala-galanya dan FIFA tidak ingin para pemain terancam nyawanya kalau Covid-19 masih menjadi hantu menakutkan di Indonesia saat Piala Dunia U-20 digelar.
Dengan segala hormat kepada pemerintah, Menpora Zainudin Amali seharusnya lebih cepat dan tegas merespons dua kali pembatalan kompetisi Liga 1 dan 2. Amali jangan memosisikan diri di zona abu-abu dalam menyorot persoalan kompetisi tersebut. Dua kali pembatalan jadwal kompetisi sudah jelas karena alasan pandemi covid-19. Kalau memang demikian, bagaimana dengan Pilkada pada Desember?
”Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui”.
Sebagai orang pemerintah yang terdepan dalam mengurus olahraga di republik ini, Amali perlu meyakinkan Presiden (kalau memang tidak sanggup membujuk Kapolri) agar segera menggulirkan kompetisi. Indonesia harus memberikan kepercayaan yang nyata kepada FIFA. Perlihatkan kepada FIFA bahwa kita sanggup melaksanakan kompetisi di tengah-tengah ancaman Covid-19 dengan aman dan nyaman. Itu kalau pemerintah berani dan punya nyali, sama seperti pemerintah begitu percaya diri akan mengadakan pilkada.
Mari Berandai
Semua pemangku kepentingan sebaiknya bahu-membahu bekerja keras dari sekarang untuk melaksanakan Piala Dunia U-20. Terlalu mahal harganya kalau sampai kegiatan tersebut dibatalkan. Sudah terlalu banyak pengorbanan, baik materi maupun tenaga dan waktu yang dicurahkan demi suksesnya kegiatan tersebut.
Sejauh ini Presiden Jokowi masih konsisten memperlihatkan kepeduliannya mengawal semua pihak terkait yang diberi tugas dan tanggung jawab menyukseskan Piala Dunia U-20. Sudah beberapa kali Presiden mengajak rapat terbatas dengan mereka, hanya untuk mengetahui perkembangan terkini.
Menpora yang diberi tanggung jawab sebagai Ketua INAFOC (ketua penyelenggara) sampai saat ini belum mengumumkan kepanitiaannya. Dampaknnya, berbagai persiapan belum terlihat secara nyata di lapangan. Yang paling sederhana adalah kampanye Piala Dunia U-20 ini sangat minim, kalau tidak dibilang kering atau tidak ada.
Padahal, ajang yang begini besar karena bakal menghadirkan jutaan turis harus diberi kelonggaran semaksimal mungkin dalam ruang promosi dan pariwisata. Promosi tidak saja diutamakan di enam kota penyelenggara, tetapi di berbagai kota yang memiliki nilai pariwisata yang tinggi.
Penulis pernah menanyakan masalah kepanitiaan ini kepada Menpora sekitar sebulan lalu. ”Panitia belum dibentuk karena kami masih harus berkoordinasi dengan PSSI dan pihak-pihak terkait lainnya,” kata Amali saat ini.
Namun, jika boleh berandai-andai bahwa Piala Dunia U-20 tidak jadi dilaksanakan tahun depan, pertanyaan paling mengemuka adalah pertama: Sudah siapkah PSSI mempertanggungjawabkan semua biaya subsidi sebesar Rp 56 miliar dari pemerintah yang bakal diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)?
Kedua: pemerintah dalam hal ini Presiden dan Menpora bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengoreksi sekaligus memperbaiki kepengurusan PSSI demi menyelamatkan sepak bola ke depan. Sebagai catatan, sudah setahun lebih, Menpora belum memperlihatkan prestasi spektakuler di sepak bola. Padahal, ketika dilantik tahun lalu, Presiden sudah mengingatkan agar perhatikan itu sepak bola, termasuk PSSI.
”Sepak bolanya, Pak”. Semoga ”perintah” Jokowi yang begitu jelas ini, tidak saja masih terngiang-ngiang di telinga Amali, tetapi diikuti dengan langkah-langkah konkret dan nyata. Termasuk berani merevolusi PSSI. Bila perlu…!