Naturalisasi pemain dapat dilakukan jika memang kepentingannya untuk timnas dan tidak harus pemain berdarah Indonesia. Naturalisasi pemain di bawah 19 tahun dapat menjadi investasi jangka panjang bagi Indonesia.
Oleh
Yesayas Oktovianus
·6 menit baca
Naturalisasi pemain sepakbola bukanlah hal baru di lingkungan dan pergaulan sepak bola dunia, termasuk di Indonesia. PSSI telah memulai naturalisasi pemain 11 tahun silam dengan mencoba menghadirkan pemain-pemain dari negeri “Kincir Angin” Belanda. Target pemain yang dinaturalisasikan adalah mereka yang berdarah Indonesia. Dan, ternyata banyak sekali pemain berdarah Maluku di Belanda yang bisa digandeng.
Dalam perjalanannya, pemain yang dinaturalisasi bukan hanya yang berdarah Indonesia, melainkan juga pemain bangsa lain yang memenuhi standar naturalisasi, sesuai undang-undang negara. Mereka kini sudah memegang paspor Indonesia. Tidak ada gegap-gempita kehebohan pro dan kontra saat sederet pemain dari benua Afrika atau Amerika Latin akhirnya bisa menyandang lambang Garuda di dada bersama tim nasional Merah-Putih.
Tujuan utama naturalisasi tidak hanya untuk membela timnas, tetapi lebih dari itu menghadirkan gelar juara di tengah kehausan prestasi di semua ajang, regional, internasional maupun dunia sejak SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Ternyata harapan, impian dan kenyataan dari PSSI dan rakyat Indonesia belum berjalan seiring.
Rekan saya, wartawan senior sepakbola M Nigara sudah menulis lebih dari sekali tentang naturalisasi. Kini, saya mencoba mempertajam dan menyorot dari sisi yang berbeda, mengapa naturalisasi itu penting dan di sisi lain naturalisasi itu tidak perlu dipaksakan.
Prestasi di Piala Dunia
Presiden Joko Widodo telah mematokkan target (jika tidak dibilang membebani) Timnas U-19 dengan prestasi minimal lolos dari babak penyisihan grup di Piala Dunia U-20 tahun depan di Indonesia. Sekilas permintaan Presiden ini sangat mudah, apalagi semua pertandingan berlangsung di Tanah Air dan didukung suporter kita yang begitu fanatik.
Persoalannya, lolos dari penyisihan grup itu bukanlah mengadu konsep permainan di atas kertas. Namun, ada sebuah pertarungan fisik, mental, psikis, taktik, dan strategi, serta sedikit keberuntungan. Semua ini harus terakumulasi dalam sebuah bingkai permainan yang padu dan harmoni.
Di pundak pelatih asal Korea Selatan (Korsel), Shin Tae-yong (STY) diharapkan lahir sebuah timnas dengan permainan padu dan harmoni. Itulah yang bakal menjadi tumpuan harapan seluruh rakyat Indonesia. Prestasi minimal lolos penyisihan grup, atau bahkan sampai final dan juara adalah impian kita semua.
Namun, harapan dan impian ini harus selaras dengan kenyataan di lapangan. Apakah tiga komponen terdepan dalam mencapai prestasi, yaitu PSSI, pelatih dan pemain sudah patut kita andalkan memikul beban dan tugas begitu besar?
Sejumlah mantan pemain nasional dengan sinis menilai Timnas U-19 akan sulit memenuhi target minimal di atas. Kesinisan mereka bukan tanpa dasar. Mayoritas mereka menyorot kemampuan anak-anak atau adik-adik kita saat ini yang masih belum mumpuni untuk bisa bertarung di tingkat dunia.
Salah satu mantan gelandang terbaik timnas Indonesia, Rully Neere (62) menyebut: “Ya, maaf saja, tapi sepertinya kita akan berat untuk melangkah lebih jauh. Lolos babak penyisihan grup sudah bagus”.
Rully tentu mempunyai dasar dan alasan tersendiri menilai prestasi timnas kita nantinya. Sebetulnya, di hati terdalam pengurus PSSI pun telah mereka sadari bahwa butuh kerja keras dan perjuangan serius untuk bisa membawa timnas berjaya di Piala Dunia. Untuk itu pula, PSSI pernah berpikir untuk menaturalisasikan pemain asing guna memperkuat dan meningkatkan kualitas tim.
Lima pemain Brasil
Tanggal 17 Agustus lalu, mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng lima pemain asal Brasil. Mereka, Maike Henrique, Roberth Junior, Alexandre Batista Bamaceno, Hugo Grillo, Thiago Pereira. Semuanya berusia rata-rata di bawah 19 tahun. Kehadiran mereka di Jakarta tidak lepas dari keterlibatan PSSI untuk menaturalisasi pemain asing ke timnas.
Tiga klub Liga 1, Persija Jakarta, Arema Malang dan Madura United kemudian dipercaya menampung kelima pemain dalam proses menuju naturalisasi. Akan tetapi, di tengah jalan, muncul kendala dalam proses kepentingan dengan bisa-tidaknya mereka bermain bagi tim nasional di Piala Dunia tahun depan. Jadi, bukan boleh atau tidaknya mereka dinaturalisasikan.
Menyadari kelima pemain ini tidak bisa bermain bagi timnas, meski akhirnya bisa memegang paspor Indonesia, PSSI kemudian mengambil langkah “mundur” dan melepaskan tanggung jawab mereka dalam komitmen awal membangun timnas lewat naturalisasi pemain Brasil ini.
Sebanyak 51 pemain Timnas U-19 mengikuti latihan perdana sekaligus proses seleksi di bawah asuhan pelatih baru Gong Oh Kyun di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (13/1/2020). Pelatih Timnas Senior Shin Tae-Yong dan Pelatih Timnas U-22 Indra Sjafri juga mengawasi dan memberi pengarahan selama latihan berlangsung.Dalam Statuta FIFA di pasal tentang kelayakan seorang pemain asing membela timnas negara lain (baru), ada empat butir syarat yang harus dipenuhi seorang pemain naturalisasi. 1. Ia lahir di wilayah asosiasi terkait. 2. Ayah-ibu kandung lahir di wilayah asosiasi terkait, 3. Kakek-nenek lahir di wilayah asosiasi terkait. 4. Pemain tersebut tinggal terus-menerus selama minimal lima tahun setelah berusia 18 tahun di wilayah asosiasi terkait.
Sudah jelas di sini, kelima pemain Brasil walaupun (akhirnya) bisa memegang paspor Indonesia, mereka tidak mungkin dapat membela Merah-Putih di Piala Dunia. Mereka terganjal regulasi FIFA. Sebetulnya, PSSI sejak awal memang tidak mengetahui ada syarat-syarat tertentu dari FIFA (empat syarat di atas), sehingga mereka mendatangkan pemain-pemain tersebut.
Apakah ketidaktahuan PSSI ini sebagai rangkaian dan dampak dari manajemen organisasi yang masih berantakan dan tidak kapabel karena belum adanya sekretaris jenderal definitif? Ataukah masalah organisasi ini termasuk juga dalam keputusan Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan, yang disapa Ibul, untuk menjadi manajer timnas? Walahualam…!
Padahal dengan menjadi manajer timnas, Ibul otomatis menurunkan dirinya ke kursi pemain cadangan saat pertandingan. Padahal, posisi terhormat dan nyaman bagi Ibul sebagai ketua PSSI adalah berdampingan dengan Presiden FIFA, Gianni Infantino di Tribun VIP.
Setelah menyadari kemudian, sudah terlambat, karena pemain Brasil sudah di Tanah Air. Bahkan Ibul justru telah bertemu dengan mereka langsung di malam kedatangannya. Pertemuan Ibul dengan pemain sekitar dua jam lamanya dan kedua pihak berada dalam suasana sangat kekeluargaan, serta saling sepakat membangun sepak bola Indonesia lewat Timnas U-19.
Dalam berbagai komentar di media arus utama maupun media sosial, PSSI kemudian mencoba mengaburkan masalah, termasuk melepaskan tanggung jawab atas keberadaan kelima pemain Brasil tersebut, dengan mengatakan bahwa PSSI hanya membutuhkan pemain berdarah Indonesia untuk dinaturalisasikan.
“Berkat orang jujur memperkembangkan kota, tetapi mulut orang fasik meruntuhkannya ”.
Kalimat bijak ini patut direnungkan Pertanyaannya, apa urgensinya, sehingga PSSI menetapkan pemain yang mau dinaturalisasikan harus berdarah Indonesia? Naturalisasi, ya naturalisasi saja jika memang kepentingannya untuk timnas! Sejauh pemain tersebut memenuhi kualitas dan syarat-syarat dan aturan yang diatur oleh negara, FIFA, dan PSSI.
Mengapa ketika pemain-pemain senior seperti Gonzales, Victor Igbonefo, Greg Nkono, sebut saja sebagian kecil dari sejumlah besar pemain asing, ketika dinaturalisasikan tidak ada pro dan kontra yang begitu dahsyat seperti saat ini? Padahal, naturalisasi pemain-pemain senior itu tidak memenuhi harapan kita semua, yaitu membawa gelar bagi timnas.
Padahal, menaturalisasi pemain-pemain usia muda di bawah 19 tahun adalah sebuah keuntungan besar dalam investasi jangka panjang. Pada usia emas mereka, atau biasa dikenal dengan golden age, 25 tahun, mereka sudah menjadi pilar-pilar utama kekuatan timnas kita.