Keberpihakan
Dengan memperhatikan suara para dokter, benteng terakhir memerangi pandemi ini, semoga kurva bisa segera melandai dan kemudian turun.
Kompas tanggal 30 Oktober 2020 menampilkan opini dari dua profesi yang berbeda. Djoko Santoso seorang Guru Besar Ilmu Kedokteran dengan judul ”Suara Dokter yang Kian Sayup dalam Kebijakan Pandemi” dan Agus Riewanto seorang pengajar Hukum Tata Negara dengan judul ”Juristocracy”.
Sidang pembaca dipersilakan membaca tulisan lengkapnya. Saya hanya akan memberikan tanggapan sebagai seorang awam mengenai isi kedua tulisan di atas.
Nada yang berbeda tetapi tersirat bahwa ada keprihatinan terhadap kebijakan pemerintah pada dua masalah, yakni bidang kesehatan dan hukum. Ada dua aspek yang menjadi perhatian, yaitu pendekatan keilmuan yang seyogianya menjadi acuan kebijakan serta praktik kebijakan yang bertolak belakang dengan kajian sains. Kesannya lebih mementingkan aspek ekonomi ketimbang kesehatan rakyat banyak. Lebih mementingkan aspek politis dibanding membela rakyat banyak.
Cukup tajam paparan Djoko Santoso. Di paragraf akhir ia menulis, ”Sekalipun dalam penanganan pandemi Covid-19 ada gemerincing uang besar, sebaiknya suara dunia kedokteran, isu kesehatan, lebih diperhatikan lagi”.
Profesi kedokteran diharapkan bisa membawa pendulum berimbang ke sisi medis agar penanganan pandemi lebih rasional dan terukur. Dengan memperhatikan suara para dokter, benteng terakhir memerangi pandemi ini, semoga kurva bisa segera melandai dan kemudian turun. Jika itu terjadi, semoga kurva ekonomi juga akan naik.
Di sisi hukum, ini sebagian tulisan Riewanto: ”Tampaknya juristocracy ini merupakan tren baru dalam politik kebijakan legislasi di Indonesia, di mana seharusnya terhadap produk legislasi yang menuai resistensi publik bisa diselesaikan melalui instrumen kekuasaan politik Presiden untuk menarik kembali RUU yang diajukan ke DPR. Namun, Presiden memilih ’manuver’ memanfaatkan instrumen demokrasi, yakni MK, untuk menguji pertentangan UU dengan konstitusi”.
Kita dapat berdebat apakah ini sikap kenegarawanan atau sebaliknya. Semoga masukan yang menunjukkan kepedulian serta kecintaan kepada NKRI ini menjadi pertimbangan. Kedewasaan menerima kritik adalah jalan menuju demokrasi yang sehat.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta 12970
Mengapa ”University”?
Saya baru tahu bahwa Institut Pertanian Bogor (IPB) telah berubah menjadi universitas setelah membaca berita kecil tentang pemberian gelar doctor honoris causa (doktor kehormatan) dari IPB kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letjen Doni Monardo (Kompas, 23/10/2020).
Di berita itu ditulis, nama IPB telah berubah menjadi IPB University. Mengapa ”University”? Mengapa bukan Universitas?
Bukankah dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan pada Pasal 36 Ayat 3 dinyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama antara lain lembaga pendidikan?
Budiawan
Celeban Baru UH 3, Yogyakarta
Tanggapan First Media
Menanggapi surat pembaca di harian Kompas (29/9/2020) mengenai ”Internet Hidup Mati” dari Bapak Guntoro, dengan ini kami informasikan bahwa kami telah menjelaskan persoalan yang terjadi dan memberikan solusi atas masalah terkait.
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami. Terima kasih telah memilih layanan First Media untuk menemani beraktivitas dengan nyaman, aman dan produktif selama di rumah. Salam sehat.
Niki Sanjaya
Marketing Communication Division Head, PT Link Net Tbk (First Media)
Kepastian Hukum Lampu Strobo
Pada 26 Oktober 2020 sampai 8 November 2020, Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan program penegakan disiplin dengan nama Operasi Zebra.
Salah satu target dari operasi ini adalah penertiban penggunaan lampu isyarat/strobo dan rotator di kendaraan pribadi. Memang tak dapat dimungkiri penggunaan strobo oleh kendaraan pribadi marak saat ini.
Pasal 59, Pasal 106, Pasal 134, serta Pasal 287 UU No 22/2009 tentang Lalu lintas jelas menyebutkan siapa yang berhak menggunakan, prioritas lalu lintas, dan sanksi atas penggunaan lampu isyarat ini.
Untuk itu, penegakan hukum harus memenuhi tiga asas, yaitu asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum. Sayang, dalam penerapan UU No 22/2009 sering terjadi ketidakadilan hukum.
Dalam Pasal 59 Ayat 5 disebutkan lampu isyarat biru digunakan hanya oleh Polri. Sementara kendaraan TNI, ambulans, kendaraan tahanan, pemadam kebakaran, dan mobil jenazah menggunakan warna merah. Faktanya, di lapangan, kendaraan pengguna lampu isyarat biru tidak hanya kendaraan Polri, tetapi juga TNI dan bahkan aparatur sipil negara.
Untuk memenuhi asas kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum ini, aparat, dalam hal ini Polri, wajib menindak tanpa kecuali siapa pun pengguna strobo biru selain Polri. Hal ini agar tidak menjadi preseden atas penegakan hukum tebang pilih, khususnya di tengah transparansi saat ini.
Penegakan UU No 22/2009 Pasal 59 Ayat 5 tanpa kecuali adalah bentuk dari pelaksanaan NKRI harga mati.
Ir A Pratomo MT
Jl Jingganagara, Kotabaru Parahyangan
Menunggu Pengembalian 1
Saya sungguh kecewa dengan pelayanan Citilink kali ini. Sebagai salah satu pelanggan setia Citilink, saya sekeluarga terpaksa membatalkan jadwal penerbangan ke Bali. Ini karena pandemi yang belum juga pulih sampai kini.
E-mail pertama untuk refund sudah dikirimkan dari tanggal 3 Juli. Total sampai sekarang sudah 6 kali kirim, tanpa ada satu pun balasan.
Usaha melalui telepon juga telah dilakukan, mungkin lebih dari enam kali, tetapi hanya bisa dibantu untuk ”ditandai” untuk segera dibalas di sistem mereka.
Di tengah-tengah perjuangan meminta pengembalian uang yang tidak pernah dibalas itu, tiba-tiba pihak Citilink memutuskan tidak akan mengembalikan uang kami. Sebagai gantinya, uang ditukar dengan tiket.
Saat saya menelepon pertama ke CS Citilink mengenai proses refund, pada bulan Juni, pihak CS Citilink masih menjelaskan mengenai ketentuan 75 persen pengembalian dalam bentuk uang.
Ketika saya menolak perubahan sepihak yang tiba-tiba ini, solusi dari Citilink adalah akan melaporkan ketidaksetujuan dan saya diminta menulis e-mail yang ternyata tidak pernah ditanggapi.
Nomor laporan saya adalah RFN2090483. Pandemi Covid-19 memang berat untuk semua, tetapi bukan berarti pengembalian uang pelanggan yang sudah dikirim sebelum lewat waktu penerbangan kemudian tidak ditanggapi. Bukankah ini bagian dari tanggung jawab pekerjaan?
Melisa Suria
Jl Dahlia V, Pakuan, Kota Bogor Selatan
Menunggu Pengembalian 2
April 2020, kami sekeluarga membeli tiket pesawat Citilink Jakarta-Banyuwangi PP untuk keberangkatan dan kepulangan pada 21 dan 27 Mei 2020.
Karena pandemi Covid-19, kami memperoleh info pembatalan penerbangan dan tidak jadi bepergian. Selanjutnya kami memproses pengembalian atas biaya tiket yang sudah kami keluarkan.
Menurut info, kami harus menunggu 60-90 hari, tetapi hingga kini dengan berbagai alasan tak tampak itikad baik dari Citilink untuk mengembalikan uang tiket, bahkan telah melewati jangka waktu yang ditentukan.
Sampai kapan kami harus menunggu? Bisakah Citilink mengembalikan uang kami, karena pembatalan yang terjadi bukan dari kami.
Agung Cahyono
Jl Madrasah 1, Sukabumi Utara, Jakarta Barat
Budaya Latah
Budaya meneruskan (viral) suatu narasi adalah penyakit latah bangsa Indonesia yang sangat buruk dan harus segera dihilangkan. Latah, karena tanpa dipikirkan masak-masak benar-tidaknya konten dan dampak yang bisa diakibatkan oleh narasi tersebut. Yang penting langsung diteruskan ke pihak lain.
Apabila para pihak yang tidak bertanggung jawab itu berhasil memviralkan hoaks melalui media sosial, emosi masyarakat dengan cepat akan tersulut dan menimbulkan gejolak kerawanan sosial.
Untuk mencegah semua itu, konten hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi di dunia maya harus diakhiri dengan penegakan hukum. Kementerian Kominfo harus membuat aturan yang memudahkan penelusuran dan setiap penduduk hanya boleh memiliki satu nomor kartu SIM yang tercatat di data kependudukan.
Setiap narasi tidak dapat langsung diteruskan. Untuk itu aplikasi forward di media sosial harus dihilangkan.
Pembuat narasi dapat mengirim, tetapi kirimannya tidak dapat dilanjutkan. Jika diperlukan, bisa dengan cara menyalin narasi sehingga jadi tanggung jawab pengirim.
Dengan demikian, ujaran kebencian, berita bohong, pornografi, dan sebagainya dapat dieliminasi dan budaya latah bangsa Indonesia hilang.
FX Wibisono
Jl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
”Kompas” Media Berdedikasi 2020
Selamat kepada Kompas yang memperoleh predikat sebagai salah satu dari empat Media Cetak Berdedikasi 2020 (Jumat, 30/10/2020). Kerja keras seluruh jajaran redaksi, jurnalis, dan dapur Kompas memberikan hasil empat tahun berturut-turut mendapat penghargaan serupa.
Hal ini sekaligus mengingatkan kepada pembaca Kompas dan kita semua sebagai pemakai bahasa untuk ikut menenun persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengutamakan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, dengan tetap melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan, Jatiwaringin, Jakarta 13620