Jika kesepakatan mengenai upah di atas minimum itu bergantung pada kemauan dan itikad baik pengusaha, maka kesempatan pekerja mendapatkan penghasilan di atas upah minimum sesungguhnya hanya di atas kertas.
Oleh
EDY SUTRISNO SIDABUTAR
·4 menit baca
Upah merupakan salah satu unsur yang tak terpisahkan dari relasi pengusaha dengan pekerja, selain unsur pekerjaan dan perintah. Ketiga unsur itu menjadi satu kesatuan dan mesti terpenuhi agar relasi pengusaha dengan pekerja dapat disebut secara legal formal sebagai hubungan kerja. Dalam praktik, besar-kecilnya upah menjadi pertimbangan utama bagi sebagian pekerja ketika menentukan tempat bekerja.
Perusahaan yang dikenal memiliki reputasi cukup baik dalam standar pengupahannya menjadi tujuan favorit pencari kerja, terutama pekerja yang memiliki keahlian serta pendidikan memadai. Namun juga tidak sedikit pencari kerja yang menomorduakan soal upah. Bagi mereka yang penting dapat pekerjaan. Terlebih di tengah menipisnya kesempatan kerja serta tingkat persaingan yang semakin ketat.
Bagi mereka yang penting dapat pekerjaan.
Tentu tidak berlebihan jika disebutkan bahwa upah menempati posisi sangat penting dalam hubungan kerja. Bahkan kitab suci, antara lain Alkitab, juga memberikan tempat istimewa soal upah dengan memberikan pesan religius agar upah pekerja sudah harus dibayarkan sebelum matahari terbenam, serta upah merupakan hak pekerja, bukan hadiah.
Dalam menentukan upah pekerjanya, pengusaha wajib tunduk pada sejumlah regulasi tentang upah yang diterbitkan negara. Salah satunya ketentuan mengenai upah minimum kabupaten/kota dan provinsi (UMK/UMP) yang ditetapkan pemerintah setiap 1 November.
Campur tangan negara dalam mengatur upah pekerja merupakan konsekuensi logis dari relasi pengusaha dan pekerja yang tidak setara serta tidak seimbang. Terutama di sektor usaha tertentu yang jenis pekerjaannya tidak terlalu menuntut keahlian dan pendidikan tinggi.
Pada sektor ini, umumnya sektor padat karya atau sektor lain yang dapat disamakan dengan itu, posisi tawar pekerja dipandang cukup lemah dan penetapan upah sepenuhnya menjadi domain pengusaha. Pekerja umumnya mendapatkan upah sebesar upah minimum. Bahkan tak jarang ditemukan upah pekerjanya kurang dari besaran upah minimum yang ditetapkan pemerintah.
Ketentuan upah minimum itu sendiri berfungsi sebagai instrumen jaring pengaman (safety net). Maksudnya agar pengusaha tidak sewenang-wenang dalam menentukan besaran upah pekerjanya. Sekurang-kurangnya harus sebesar upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Itu pun bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun.
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 15 Tahun 2018, upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL). Dan, apa saja komponen KHL yang harus dipenuhi sehingga pekerja dianggap mencapai hidup layak, semuanya diatur dalam Permenaker No 21 Tahun 2016 tentang KHL; yang baru saja direvisi dengan Permenaker No 18 Tahun 2020. Kini, jumlah komponen KHL menjadi 64 jenis dari sebelumnya 60 jenis (Kompas, 22/10).
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 15 Tahun 2018, upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL).
Meski berfungsi sebagai jaring pengaman, penentuan besaran upah minimum itu tak mudah. Itu tecermin dalam proses penetapan upah minimum beberapa tahun sebelumnya yang sering menimbulkan kegaduhan. Pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, penetapan besaran upah minimum sedikit lebih adem, tetapi menyimpan bara.
Alotnya penetapan besaran upah minimum setiap tahun tidak terlepas dari kecenderungan sebagian besar pengusaha yang sekadar meng-copy paste besaran upah minimum dalam menetapkan penghasilan pekerjanya.
Akibatnya, pihak buruh berupaya maksimal agar besaran upah minimum dapat dinaikkan setinggi mungkin dengan cara mendorong penambahan jumlah komponen KHL sebagai basis penetapan besaran upah minimum. Sementara pihak pengusaha dan juga pemerintah tentu saja bersikap sebaliknya.
Namun pasca-berlakunya PP No 78 Tahun 2015, peluang pekerja untuk mendorong kenaikan besaran upah minimum agar lebih tinggi menjadi kian menipis dan terbatas. Kenaikan besaran upah minimum kini hanya mengandalkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi meski peninjauan terhadap komponen KHL masih dimungkinkan setiap lima tahun.
Sebelum dihapus oleh omnibus law UU Cipta Kerja, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih mengenal upah sektoral. Upah sektoral ini dimasukkan dalam rezim upah minimum dan disebut ”upah minimum berdasarkan sektor”. Sebuah istilah yang membingungkan serta mengandung contradictio in terminis. Seolah instrumen jaring pengaman berbeda bagi segolongan pekerja pada perusahaan tertentu.
Seolah instrumen jaring pengaman berbeda bagi segolongan pekerja pada perusahaan tertentu.
Penghapusan ketentuan upah sektoral ini membuat serikat buruh meradang. Dianggap membuat upah pekerja pada perusahaan kelas kampung yang membuat ”sandal jepit” akan sama penghasilannya dengan pekerja pada perusahaan kelas dunia yang memproduksi onderdil pesawat.
UU Cipta Kerja sendiri tidak memberikan solusi atas dihapusnya ketentuan upah sektoral serta kecenderungan pengusaha yang sekadar meng-copy paste besaran upah minimum dalam menetapkan penghasilan pekerjanya. Yang ada hanya ketentuan formalistik seperti kesepakatan tentang ”upah di atas upah minimum”, serta upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun.
Tak begitu jelas apakah yang dimaksud UU Cipta Kerja dengan ”upah di atas upah minimum” merupakan bentuk lain dari upah sektoral. Dan selain itu, juga tak ada instrumen yang bersifat memaksa agar pengusaha menegosiasikan dengan pekerja mengenai ”upah di atas upah minimum” itu. Sehingga sangat bergantung pada kemauan dan itikad baik pengusaha.
Jika kesepakatan mengenai upah di atas minimum itu bergantung pada kemauan dan itikad baik pengusaha, kesempatan pekerja mendapatkan penghasilan di atas upah minimum sesungguhnya hanya di atas kertas semata. Dan itu semakin membenarkan ungkapan pekerja yang mengatakan: ”kerja sudah maksimal, upah tetap minimum”.