Kriminalisasi atas perbuatan tidak membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak dalam hal terjadinya PHK (”delik pesangon”) yang sebelumnya tidak diatur di UU Ketenagakerjaan.
Oleh
ALBERT ARIES
·4 menit baca
Pro dan kontra menjelang pengesahan RUU Cipta Kerja mewarnai kehadiran beleid yang mengusung konsep omnibus law, sebagaimana dikenal dalam sistem hukum common law.
Omnibus law adalah satu undang-undang yang mengubah beberapa ketentuan UU sekaligus dalam suatu tujuan tertentu, misalnya untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja. Konsep omnibus law sebenarnya bukan hal baru di Indonesia yang menganut konsep hukum prismatik (mixed) berdasarkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnoorm.
Misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang di bagian ketentuan penutup telah mencabut beberapa UU sekaligus, yaitu UU Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, UU Penyelenggaraan Pemilihan Umum, UU Pemilihan Umum Legislatif, dan sebagian dari ketentuan pemilihan umum dalam UU Pemerintahan Aceh. Permasalahannya, pada contoh UU Pemilu di atas telah diatur suatu narasi utuh dan materi muatan yang lingkupnya sama, yaitu pemilu.
Permasalahannya, pada contoh UU Pemilu di atas telah diatur suatu narasi utuh dan materi muatan yang lingkupnya sama, yaitu pemilu.
Sementara RUU Cipta Kerja yang berisi 15 bab dan mengubah sebagian ketentuan dari 78 UU di batang tubuhnya lebih condong menjadi ”kompilasi revisi” dari puluhan UU yang sebelumnya dinilai saling tumpang-tindih dan memperpanjang rantai birokrasi dalam mengurus perizinan berusaha.
Revisi tersebut dilakukan dengan cara mencabut, mengubah, atau menambah suatu ketentuan UU, misalnya dalam Bab IV UU Ketenagakerjaan yang mengubah ketentuan Pasal 185 pada Bab Ketentuan Pidana dalam UU Ketenagakerjaan dengan menambahkan sanksi pidana atas pelanggaran dari Pasal 156 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan yang berisi kewajiban pengusaha untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak dalam hal terjadinya PHK sebagai suatu tindak pidana dan tergolong sebagai kejahatan (delik), dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun, dan/atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta rupiah.
Perselisihan prayudisial
Dalam hukum pidana, kebijakan atau politik hukum yang menetapkan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam proses legislasi pada suatu UU atau peraturan daerah (perda), dikenal dengan istilah kriminalisasi.
Kriminalisasi atas perbuatan tidak membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak dalam hal terjadinya PHK (”delik pesangon”) yang sebelumnya tidak diatur di UU Ketenagakerjaan ini dapat dikategorikan sebagai delik omisi (omissionis), yaitu delik tak melakukan suatu perbuatan yang diwajibkan oleh suatu UU.
Selain itu, dalam pembagian hukum pidana, delik pesangon dikategorikan sebagai hukum pidana khusus yang ditempatkan dalam suatu UU nonpidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersifat administrasi, tetapi dapat memuat sanksi pidana, sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus (lex specialis derogat legi generali).
Namun, persoalannya bukan semata pada soal dikriminalisasinya delik pesangon mengingat adanya anggapan dari sebagian kalangan hal ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh untuk memperoleh haknya setelah PHK terjadi. Alasannya, dalam suatu hubungan industrial, posisi bargaining antara pengusaha dan pekerja/buruh dianggap bisa berada dalam posisi yang kurang seimbang.
Alasannya, dalam suatu hubungan industrial, posisi bargaining antara pengusaha dan pekerja/buruh dianggap bisa berada dalam posisi yang kurang seimbang.
Sebab, di sisi lain, ternyata masih ada mekanisme lainnya dalam penyelesaian perselisihan PHK melalui pengadilan hubungan industrial (PHI), yaitu dalam hal tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak sebagaimana dimaksud dalam UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Penulis memprediksi kemungkinan sulitnya para pihak menentukan kapan waktu terjadinya delik pesangon (tempus delicti), dan juga potensi sengketa kompetensi absolut dalam mengadili, antara pengadilan umum (pidana) dan PHI sebagai pengadilan khusus.
Sengketa itu terjadi karena persoalan pembayaran pesangon ataupun penghargaan masa kerja dan penggantian hak masih memiliki mekanisme hukum lainnya berupa perundingan tripartit (Mediasi Dinas Tenaga Kerja) dan gugatan PHI sehingga dapat terjadi perselisihan prayudisial (Pasal 81 KUHP).
Memaknai delik pesangon
Kriminalisasi delik pesangon ini tentunya merupakan wewenang penuh dari pembuat UU (legislator). Hal ini sejalan dengan pandangan salah satu pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, Moeljatno, yang menyatakan bahwa ada atau tidak adanya perbuatan pidana tergantung dari apakah perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam UU dinilai sebagai suatu perbuatan melawan hukum atau tidak (wederrechtelijkheid).
Meski demikian, mengingat hukum pidana memiliki prinsip sebagai ”obat terakhir” (ultimum remedium) dan juga identik dengan sanksi penjara, delik pesangon ini seharusnya dapat dimaknai sebagai suatu upaya yang paling pamungkas, yaitu jika seluruh upaya lain sudah ditempuh oleh pekerja/buruh, tetapi belum membuahkan hasil yang baik.
Sebagai perbandingan, penulis ingin mengutip Pasal 19 Ayat 2 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi, ”Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”
Kriminalisasi delik pesangon ini tentunya merupakan wewenang penuh pembuat UU (legislator).
Tentunya ketentuan di atas bukan merupakan batu uji konstitusional atas pengaturan delik pesangon, melainkan sebagai gambaran, jika ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi nanti, yaitu apabila Mahkamah Konstitusi ternyata berpandangan bahwa delik pesangon tersebut diperlukan dan konstitusional, penulis berharap adanya tafsiran konstitusional bahwa delik pesangon tersebut harus dimaknai sebagai last resort atau upaya terakhir (ultimum remedium) yang merupakan perwujudan prinsip hukum pidana yang berlaku universal di negara-negara yang beradab.
ALBERT ARIES
Pengajar Hukum Pidana FH Trisakti; Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)