Harus diakui, utang pemerintah adalah isu sensitif dan gampang disulap menjadi komoditas politik. Perlu cara berkomunikasi yang lebih baik agar energi bangsa ini tidak terus terkuras hanya untuk mengatasi ekses negatif.
Oleh
HARYO KUNCORO
·4 menit baca
Utang negara menjadi ”bola panas” yang diangkat dalam momentum peringatan satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Betapa tidak, per Agustus 2020, posisi utang pemerintah Rp 5.594,93 triliun atau 34,53 persen produk domestik bruto.
Level utang ini bertambah Rp 160,07 triliun dari posisi Juli 2020. Angka ini juga meningkat signifikan dibandingkan dengan posisi Agustus 2019, yakni Rp 4.680,19 triliun atau 29,8 persen produk domestik bruto (PDB).
Dengan demikian, selama satu tahun pemerintah sudah menambah utang neto Rp 914 triliun. Namun, jika dihitung dari periode pemerintahan Jokowi-Amin yang dimulai Oktober 2019, hingga Agustus 2020 peningkatannya ”hanya” Rp 838,8 triliun.
Kecenderungan ini didorong oleh penarikan sebagian komitmen pinjaman dari lembaga multilateral yang memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menangani pagebluk Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional. Di sisi lain, dampak ekonomi Covid-19 menekan penerimaan negara.
Di sisi lain, dampak ekonomi Covid-19 menekan penerimaan negara.
Alhasil, setiap satu penduduk pada era pemerintahan Jokowi-Amin menanggung utang Rp 20,5 juta, yakni utang pemerintah Rp 5.594,93 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk. Artinya, dari bayi hingga manula WNI memiliki beban utang yang sama.
Data itu pada dasarnya hendak memberi alarm atas risiko finansial yang dihadapi pada masa mendatang. Bagaimanapun utang harus dilunasi plus bunganya. Oleh karena itu, alarm itu bisa dimaknai secara positif untuk senantiasa menjaga kemampuan finansial pemerintah. Penyajian beban utang dalam bentuk relatif, yakni rasio utang terhadap PDB, jadi rujukan awal yang relevan.
Nilai PDB menunjukkan kinerja perekonomian suatu negara. Semakin tinggi PDB, semakin tinggi prestasi ekonomi sehingga kemampuan finansial untuk menutup utang juga kian besar. Dengan alur logika ini, utang idealnya dialokasikan untuk membiayai belanja produktif. Belanja pemerintah diharapkan mampu menciptakan stimulus bagi perekonomian yang pada gilirannya dapat diserap kembali ke kas negara dalam bentuk penerimaan pemerintah guna membayar kewajiban utang.
Tak logis
Karena itu, peningkatan rasio utang sudah dengan sendirinya menunjukkan penyusutan kemampuan dalam membayar kembali pokok dan bunga utang. Rasio utang yang membesar bisa dibaca pula sebagai indikasi inefisiensi pemanfaatannya. Artinya, peningkatan PDB kalah cepat dari kenaikan utang itu sendiri.
Kelemahan utama rasio utang sebagai indikator kemampuan bayar masih sebatas potensi awal dalam membayar kembali utang, alih-alih kemampuan efektifnya. Lagi pula, PDB tak bisa diklaim hanya sebagai output aktivitas sektor pemerintah, tetapi juga sektor privat.
Debt service ratio (DSR) sering diajukan sebagai ukuran tambahannya. DSR adalah perimbangan, antara nilai perolehan ekspor dan beban bunga utang. Sayangnya, DSR lebih merepresentasikan kemampuan membayar bunga utang, khususnya utang luar negeri, alih-alih melunasi pokok utang. Faktanya, perolehan devisa dari kegiatan ekspor tak seluruhnya masuk jadi penerimaan negara.
Sayangnya, DSR lebih merepresentasikan kemampuan membayar bunga utang, khususnya utang luar negeri, alih-alih melunasi pokok utang.
Sebagai negara yang menganut sistem devisa bebas, penduduk diperkenankan menyimpan devisa. Ketentuan ini berbeda dengan rezim kontrol devisa yang mewajibkan pemilik menyerahkan devisa ke negara.
Alhasil, indikator yang sejatinya lebih tepat sebagai rambu-rambu kemampuan bayar utang negara adalah rasio utang dengan penerimaan dalam negeri, terutama pajak. Pajak adalah sumber utama penerimaan negara yang secara yuridis berada dalam jangkauan pemerintah sehingga lebih dapat diandalkan.
Sampai di sini, telaah konseptual atas kemampuan bayar utang pemerintah menawarkan berbagai alternatif solusi kebijakan yang jauh lebih konkret. Hal ini penting untuk menghindarkan diri dari pemikiran sempit yang kadang meletupkan emosi berlebihan dalam memahami persoalan utang negara.
Berangkat dari sini pula, penyajian ”utang per kapita” agaknya perlu dipertanyakan. Terminologi ”utang per kapita” sejatinya tak dikenal dalam khazanah ekonomi mazhab mana pun. Istilah ini tampaknya sengaja dimunculkan sebagai analogi terhadap ”pendapatan per kapita” dan sejenisnya. Namun, di balik analogi yang tak logis itu, termaktub implikasi yang tak ringan. ”Utang per kapita” akan ditafsirkan setiap kepala ikut menanggung utang negara.
Lebih parah lagi jika menggunakan istilah utang per anak, yang mengesankan bayi yang baru lahir sudah mewarisi utang. Perlu ditekankan juga ”utang per kapita” tak ada hubungannya dengan kemampuan membayar utang. Pada kenyataannya, setiap penduduk tak ditagih oleh aparat negara untuk ikut bayar utang. Utang negara tetap dibayar pemerintah lantaran tidak dikelola oleh setiap individu.
Logika ”utang per kapita” akan sangat berbahaya jika digunakan untuk menyusun kebijakan. Logika yang keliru membuat kebijakan jadi absurd dan kontraproduktif. Apakah untuk menurunkan beban ”utang per kapita” sudah cukup dengan menaikkan jumlah penduduk? Alhasil, pesan risiko finansial yang semula hendak dikirim malah tidak sampai, bahkan bukan tidak mungkin justru memicu kegaduhan baru. Cara mengomunikasikan alarm utang negara dengan logis, elegan, dan edukatif sepertinya masih banyak yang harus diperbaiki di negeri ini.
Harus diakui, utang pemerintah adalah isu sensitif dan gampang disulap menjadi komoditas politik. Tanpa perbaikan cara berkomunikasi yang mencerahkan, energi bangsa ini akan terus terkuras hanya untuk mengatasi ekses negatif yang telontar dari satu isu, alih-alih menanggulangi akar permasalahan hakikinya.
Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta; Direktur Riset SEEBI