Negara Berkembang Dihadapkan pada Risiko Lonjakan Utang
Indonesia termasuk 10 besar negara berpendapatan menengah rendah dengan utang tertinggi pada 2018 dan 2019. Total utang Indonesia pada 2018 sebesar 379,59 juta dollar AS, sedangkan 2019 sebesar 402,08 juta dollar AS.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia, dihadapkan pada risiko lonjakan utang selama pandemi Covid-19. Lonjakan utang disebabkan penurunan pendapatan negara dan peningkatan defisit anggaran karena kebijakan ekspansi fiskal masih dibutuhkan.
Dalam laporan Statistik Utang Internasional 2021 yang dirilis Bank Dunia, Indonesia termasuk 10 besar negara berpendapatan menengah rendah dengan utang tertinggi pada 2018 dan 2019. Total utang Indonesia pada 2018 sebesar 379,59 juta dollar AS, sedangkan pada 2019 sebesar 402,08 juta dollar AS.
Selain Indonesia, negara berpendapatan menengah rendah lain yang memiliki utang tertinggi pada 2018-2019 adalah Brasil, India, Turki, Meksiko, Rusia, Argentina, Afrika Selatan, dan Thailand.
Taimur Baig, Managing Director and Chief Economist Group Research DBS Bank, menuturkan, ekspansi fiskal masih dibutuhkan paling tidak sampai 2021. Bahkan, jika belum ada kepastian penemuan dan pendistribusian vaksin, pelonggaran defisit fiskal dan peningkatan utang akan berlanjut pada 2022, khususnya untuk melindungi kelompok rentan.
”Kita perlu keluar dari perspektif ortodoks dan lebih fokus pada penyelamatan mata pencarian, tabungan, dan khawatir tentang defisit fiskal dan utang fiskal mungkin di tahun 2022,” ujar Baid dalam telekonferensi DBS Macroeconomic Insights: Recovering from Covid-19, Kamis (15/10/2020).
Indonesia termasuk 10 besar negara berpendapatan menengah rendah dengan utang tertinggi pada 2018 dan 2019. Total utang Indonesia pada 2018 sebesar 379,59 juta dollar AS, sedangkan pada 2019 sebesar 402,08 juta dollar AS.
Hampir semua negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia, akan mengalami tren kenaikan defisit anggaran dan utang pemerintah pada periode 2019-2021. Mayoritas negara memiliki rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) di atas 40 persen, bahkan beberapa negara di atas 60 persen PDB, seperti China, India, dan Malaysia.
Taimur mengatakan, tidak ada negara di Asia yang memiliki rasio utang terhadap PDB serendah Indonesia. Rasio utang Indonesia diperkirakan sekitar 40 persen PDB atau lebih rendah. Ketertarikan investor untuk membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan Pemerintah Indonesia juga terus berlanjut.
Mengutip data Kementerian Keuangan, rasio utang Pemerintah Indonesia per Agustus 2020 sebesar 34,53 persen PDB atau setara Rp 5.594,93 triliun. Pemerintah memproyeksikan rasio utang tahun 2020 naik ke kisaran 37-38 persen PDB.
”Indonesia akan mengalami defisit besar yang menyebabkan lonjakan utang. Namun, secara komparatif belum terlihat tanda-tanda mengkhawatirkan. Indonesia akan mampu membiayai semua utangnya,” ujar Taimur.
Mengelola risiko
Mengonfirmasi data Bank Dunia, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengatakan, Bank Dunia merilis data total utang luar negeri Indonesia, termasuk swasta. Dari total 402,08 juta dollar AS, porsi utang pemerintah sebesar 29,8 persen.
”Sisanya merupakan utang swasta. (Porsi utang pemerintah) Jauh jika dibandingkan dengan rerata negara sesama kategori BBB Fitch, sebesar 51,7 persen,” kata Masyita.
Pemerintah menjamin pengelolaan utang dilakukan secara hati-hati dan terjaga. Kendati mengalami tren peningkatan, mayoritas utang pemerintah bertenor jangka panjang sehingga risiko fiskal dapat dikelola dengan baik. Porsi utang jangka panjang sebesar 88,4 persen.
Masyita menuturkan, risiko fiskal jangka panjang masih terjaga karena porsi utang valuta asing turun menjadi 29 persen per 31 Agustus 2020 sehingga efek nilai tukar bisa dikelola lebih baik. Selain itu, profil jatuh tempo utang cukup aman dengan rata-rata jangka waktu jatuh tempo 8,6 tahun per Agustus 2020.
”Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukannya strategi aktif, meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman,” ujarnya.
Gita Gopinath, Economic Counsellor and Director of Research IMF, dalam keterangan tertulis, menambahkan, peningkatan utang sebaiknya diprioritaskan untuk pengeluaran yang bersifat kritis, seperti kesehatan dan bantuan sosial untuk penduduk miskin. Negara-negara berkembang akan kesulitan mengelola krisis karena biaya pinjaman tinggi.
Kelompok negara berkembang membutuhkan dukungan berkelanjutan dalam bentuk hibah internasional dan pembiayaan lunak serta keringanan utang dalam beberapa kasus. Jika tidak mampu membayar, utang harus segera direstrukturisasi untuk mengurangi risiko keuangan dalam menghadapi krisis akibat Covid-19.