Bangsa ini jelas membutuhkan investasi. Namun, harus dipahami, investasi tidak akan bisa bekerja tanpa ada keterlibatan kaum pekerja, terlebih saat pandemi tak kunjung bisa terkendali.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pemerintah dan DPR, Senin (5/10/2020), akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang digarap dengan mekanisme omnibus.
Dengan kekuatan mayoritas di parlemen, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan koalisinya—minus Partai Demokrat yang walk out dan Partai Keadilan Sejahtera—apa pun keinginan koalisi pemerintah, mudah digolkan. Kerja politik seperti itu sudah dibaca sejak keberhasilan pemerintah dan DPR merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun, serta pemilu kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember 2020. Pengambilan keputusan di tingkat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin dari Partai Golkar.
Kita tidak berharap pola ”mumpung berkuasa” atau ”mumpung mayoritas” menjadi strategi pengambilan keputusan politik yang meninggalkan rakyat. RUU Cipta Kerja yang dibahas dengan mekanisme omnibus—satu UU yang merevisi sejumlah UU—adalah eksperimen konstitusional yang dilakukan Presiden Jokowi. Dengan mekanisme seperti itu, sistematika RUU Cipta Kerja tidak mudah dipahami.
RUU Cipta Kerja bukan hanya membahas soal substansi ketenagakerjaan, melainkan juga merambah sejumlah aturan lain, termasuk produk halal, tenaga nuklir, tata ruang, soal imigrasi, hak paten, hak adat, dan sejumlah substansi lain. RUU Cipta Kerja memberikan gambaran corak UU yang kapitalistik, resentralisasi, tetapi juga etatisme.
Kesuksesan pemerintah dan DPR mengesahkan sejumlah RUU boleh jadi merupakan perwujudan corak demokrasi kaum elite, bukan demokrasi yang partisipatoris. Partai politik dan pemerintah merasa berhak menentukan serta merumuskan apa saja sesuai dengan kehendak kaum elite. Pola pendekatan politik kekuasaan yang diterapkan jauh dari prinsip musyawarah mufakat, sila keempat Pancasila. Jauh dari prinsip negosiasi di antara berbagai kepentingan. Rakyat hanya dikonstruksikan sebagai konsumen politik belaka.
Praktik demokrasi kaum elite jauh dari praktik politik yang pernah dijalankan Presiden Jokowi. Dalam sebuah debat calon presiden, Presiden Jokowi mendefinisikan demokrasi secara sederhana, yakni mendengar suara rakyat. Praktik itu bukan hanya diucapkan, melainkan sudah dipraktikkan Presiden Jokowi saat menjadi Wali Kota Solo ketika berunding memindahkan sebuah pasar di Solo melalui proses yang panjang dan sabar. Pertanyaannya, mengapa pendekatan dialog yang sudah dilakukan Presiden Jokowi selama ini, kini berubah?
Keberatan elemen masyarakat sipil, organisasi buruh, dan masyarakat adat adalah realitas politik. Bangsa ini jelas butuh investasi. Namun, harus dipahami, investasi juga tidak akan bisa bekerja tanpa ada keterlibatan kaum pekerja, terlebih saat pandemi tak kunjung bisa terkendali. Di tengah pandemi, ketidakpuasan masyarakat sipil yang merasa aspirasinya tidak didengar, tanpa mengganggu stabilitas politik, bisa mengajukan keberatannya ke MK.