Indonesia sebagai poros maritim dunia dan yang “dituakan” dalam komunitas ASEAN, sudah selayaknya memainkan smart maritime diplomacy dengan mengedepankan diplomasi maritim kooperatif dan diplomasi maritim persuasif.
Oleh
MARSETIO
·4 menit baca
Indonesia bersama negara-negara ASEAN akan terus berupaya menjaga dan mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang damai, stabil dan sejahtera sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo pada Sidang Umum PBB (23/9/2020), bahkan didorong ke arah yang lebih luas: kawasan Indo-Pasifik melalui ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Pidato Presiden itu relevan untuk mengurai permasalahan di Laut China Selatan maupun di Laut China Timur yang berpotensi menggoyahkan stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara.
ASEAN Outlook on Indo-Pacific yang diputuskan pada KTT ASEAN Juli 2019 di Bangkok, merupakan penegasan posisi ASEAN dalam menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik dengan mengedepankan dialog dan kerja sama inklusif di bidang maritim, ekonomi, konektivitas, serta pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Upaya yang dapat dilakukan Indonesia antara lain adalah melakukan diplomasi maritim yang bebas aktif pada penyelesaian permasalahan di Laut China Selatan, Laut China Timur maupun meminimalkan terjadinya kerawanan di Kawasan Indo-Pasifik.
Salah satu potensi konflik di Kawasan Asia Tenggara saat ini adalah permasalahan di Laut China Selatan yang laksana bara dalam sekam. Konflik itu muncul sebagai akibat klaim tumpang tindih China dengan sejumlah negara Asia Tenggara. China secara sepihak membuat peta dengan sembilan garis putus-putus, mencakup hampir 90 persen perairan tersebut sebagai wilayah kedaulatan China.
Salah satu potensi konflik di Kawasan Asia Tenggara saat ini adalah permasalahan di Laut China Selatan yang laksana bara dalam sekam.
Konflik semakin eksplosif dalam beberapa waktu belakangan ini dengan kehadiran Amerika Serikat melalui freedom of navigation and operation (FONOP). Tidak ketinggalan, kapal-kapal perang Inggris, Kanada, Australia, Jepang, India, dan Filipina bersama Amerika Serikat bermanuver di sana. China menanggapinya dengan manuver serupa, bahkan melebar hingga ke Selat Taiwan di Kawasan Laut China Timur.
Situasi panas di Laut China Selatan merupakan salah satu gambaran nyata atas tidak diindahkannya prinsip-prinsip Piagam PBB dan hukum internasional. Presiden Joko Widodo dalam pidato di PBB menyampaikan keprihatinannya terkait masih terjadinya pengingkaran terhadap kedaulatan dan integritas wilayah di tengah belum meredanya pandemik Covid-19. Indonesia sebagai poros maritim dunia kiranya dapat memainkan perannya di sana melalui diplomasi maritim yang merupakan salah satu pilar Kebijakan Kelautan Indonesia seperti diamanatkan oleh Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2017.
Diplomasi maritim dalam penyelesaian permasalahan di Laut China Selatan maupun di Indo-Pasifik dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama multilateral. Pentingnya kerjasama multilateral sudah disampaikan Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Myanmar tahun 2014.
Saat itu Presiden mengajak semua pihak untuk bekerjasama di bidang kelautan guna menghilangkan sumber konflik antara lain sengketa wilayah, pelanggaran kedaulatan, perompakan maupun pencurian ikan di laut. Ajakan kerjasama itu kembali disinggung Indonesia dalam pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN, 2015 di Kinabalu, Malaysia.
Dalam diplomasi maritim dikenal tiga pendekatan yakni diplomasi maritim kooperatif, diplomasi maritim persuasif, dan diplomasi maritim kursif (Christian Le Miere, 2014). Aktor negara yang terlibat dalam permasalahan di Laut China Selatan dalam berbagai kesempatan menggunakan tiga pendekatan tersebut yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing aktor negara. Dalam batas-batas tertentu, Indonesia juga memainkan diplomasi maritim persuasif bahkan kursif dalam menegakkan hak berdaulatnya di Zona Ekonomi Esklusif Indonesia di Kawasan Laut China Selatan.
Diplomasi maritim dalam penyelesaian permasalahan di Laut China Selatan maupun di Indo-Pasifik dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama multilateral.
Mengatasi permasalahan di Laut China Selatan, bahkan juga di Indo-Pasifik, Indonesia sebagai poros maritim dunia dan yang “dituakan” dalam komunitas ASEAN, sudah selayaknya memainkan smart maritime diplomacy dengan mengedepankan diplomasi maritim kooperatif dan diplomasi maritim persuasif melalui perkuatan kerjasama ASEAN. Diplomasi maritim sesungguhnya merupakan salah satu bagian dari misi dan misi Presiden Joko Widodo saat pertama kali terpilih sebagai Presiden RI periode pertama tahun 2014.
Diplomasi maritim juga merupakan bentuk pelaksanaan politik luar negeri untuk mengoptimalisasi potensi kelautan Indonesia dalam upaya memenuhi kepentingan nasional dalam kerangka hukum internasional. Kawasan ASEAN yang damai, stabil dan sejahtera sejatinya dapat tercapai bila potensi konflik di Laut China Selatan diminimalkan bila tidak mungkin dihilangkan.
Harapan atas idaman tersebut akan semakin lengkap bila potensi kerawanan di Indo-Pasifik yang melibatkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik juga dapat diminimalkan melalui diplomasi maritim dengan Indonesia sebagai penjurunya
(Marsetio Guru Besar Universitas Pertahanan; Kepala Staf Angkatan Laut 2012-2015)