Darurat atas Darurat Pancasila
Memilih MPR langsung oleh rakyat adalah manifestasi hak demokratis, tetapi memilih presiden langsung justru mengkhianati prinsip permusyawaratan dan perwakilan.
Pandangan Franz Magnis-Suseno di dalam tulisannya, ”Keluar dari Darurat Pancasila” (Kompas, 25/9/ 2020), menanggapi tulisan saya, ”Darurat Pancasila” (7/9/2020), menunjukkan sisi persamaan sekaligus perbedaan.
Bahwa ”kehidupan sosial politik kian keras, sangar, bengis, vulgar, kriminal dan korup; bahwa demokrasi kita jauh dari memuaskan; bahwa partai-partai politik tidak bermutu; bahwa DPRD-DPRD dan bahkan DPR dipandang sebagai rawan korupsi”—kita sepenuhnya sepakat. Akan tetapi, dalam memaknai apa itu ”darurat Pancasila” terbentang ruang perbedaan cukup tajam sehingga tawaran jalan keluar juga berbeda jauh.
Baca juga : Darurat Pancasila
Perbedaan pandangan itu tampaknya karena perbedaan sudut pandang dalam melihat persoalan (dan ini wajar). Romo Magnis melihat keadaan darurat Pancasila dari perilaku buruk aktor politik dan anak bangsa, sementara saya melihatnya dari sudut pandang legal-konstitusi yang memengaruhi perilaku aktor-aktor politik.
Dikatakan, bahwa bukan ”nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan dan keadilan dan digantikan nilai-nilai materialisme anti-Tuhan, keserakahan, ketakpedulian, individualisme dan egoisme yang merupakan ”darurat Pancasila”, melainkan ”kelakuan para politisi tak sesuai” (Pancasila). Pertanyaannya: bukankah kelakuan tidak terpisahkan dari nilai-nilai?
Akan tetapi, dalam memaknai apa itu ”darurat Pancasila” terbentang ruang perbedaan cukup tajam sehingga tawaran jalan keluar juga berbeda jauh.
Mencuat pula pertanyaan serius apa itu anti-Tuhan? Pertanyaan, yang setidaknya sebagian sudah terjawab bahwa ”ada orang beragama membawa diri dengan cara yang justru membuat banyak orang merasa lebih baik tak ber-Tuhan daripada ber-Tuhan seperti mereka”. Orang yang merasa lebih baik tak ber-Tuhan inilah yang ”anti-Tuhan”.
Tentu, orang beragama yang membuat banyak orang merasa lebih baik tak ber-Tuhan itu bukan orang beragama yang dilukiskan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Masih banyak orang beragama yang justru membuat banyak orang merasa lebih baik ber-Tuhan dalam kedamaian perbedaan keyakinan daripada tak ber-Tuhan.
Baca juga : Keluar dari Darurat Pancasila
Matinya gotong royong?
Apakah ”individualisme” itu baik atau buruk? Tergantung dari sudut pandang dan konteks. Apabila Romo Magnis melihatnya dalam praktik kehidupan sehari-hari, saya melihat dari sudut pandang nilai-nilai dalam praktik demokrasi, khususnya ajang pemilihan presiden.
Bahwa, sejak proklamasi Indonesia menjadi ”negara modern dengan sistem pendidikan yang fokus pada prestasi dan ranking individual... yang hanya bisa hidup kalau mempunyai tempat kerja individual—sekurang-kurangnya gerobak dorong di jalan”, sepenuhnya sepakat jika dipandang sebagai hak individu sebagai warga. Ini adalah hak demokratis yang dijamin UUD 1945.
Akan tetapi, jika ”individualisme” dijadikan sebagai asas kehidupan politik, khususnya dalam memilih pemimpin—melalui model pemilihan langsung sebagai produk Amendemen UUD 1945 tahun 2002—terbentang masalah serius. Mengapa serius karena individualisme menggantikan asas ”permusyawaratan dan perwakilan” sebagai asas dasar Pancasila.
Bukankah cara kerja masa kini berupa kolaborasi dan co-working merupakan peluang tumbuhnya nilai gotong royong dalam tafsir baru?
Dalam pemilihan langsung, asas permusyawaratan dan perwakilan digantikan cara-cara pertarungan menang/kalah, mesin politik, pencitraan, politik uang, dan kuasa oligarki. Bahkan, di tubuh partai sudah tak bekerja cara musyawarah, digantikan sikut-menyikut sesama kawan demi hasrat kekuasaan individualis.
Tentang nilai gotong royong yang dipandang tak relevan lagi dengan kehidupan berbangsa dan bernegara tentu sangat menyedihkan. Jika, ”60 tahun lalu Prof Koentjaraningrat sudah menulis bahwa praktik-praktik gotong royong sudah mati”, tentu ini masalah serius.
Baca juga : Pancasila dan Sosialisme Soekarno
Apabila praktik gotong royong dimaknai membersihkan gorong-gorong, menyapu jalan, atau membangun rumah bersama-sama tanpa pamrih dalam model masyarakat paguyuban (gemeinschaft), mungkin sudah mati. Pertanyaannya, apakah kita hanya menyerah kalah dalam apatisme menghadapi ”kematian gotong royong” ini? Bukankah cara kerja masa kini berupa kolaborasi dan co-working merupakan peluang tumbuhnya nilai gotong royong dalam tafsir baru? (Mulas, 2017).
Kita diwarisi sistem demokrasi Pancasila dengan fondasi gotong royong serta asas permusyawaratan/perwakilan. Yudi Latif (2011) menyebut model demokrasi ini ”demokrasi permusyawaratan”, yang dilandasi nilai-nilai kebudayaan yang berakar pada gagasan ”ketuhanan yang berkebudayaan”. Syaiful Arif (2016) menyebutnya ”demokrasi deliberatif”.
Prinsip dasar demokrasi permusyawaratan adalah sila kerakyatan, di mana rakyat dapat memanifestasikan kekuasaan dengan menyampaikan gagasan di dalam ruang deliberatif-permusyawaratan, yang diaktualisasikan melalui sistem perwakilan. Pemilihan langsung individualistik sebagai produk Amendemen UUD 1945 tahun 2002 menghancurkan fondasi deliberasi ini.
Baca juga : Pancasila
Di Amerika Serikat sudah sejak tahun 1868-an dilakukan riset-riset terhadap pemilih, khususnya tes literasi, karena kekhawatiran terhadap para pemilih yang tak memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai tentang kandidat yang dipilih (ignorant voter).
Berdasarkan riset, persentase ”pemilih tak tahu apa-apa” ini sangat tinggi, bisa mencapai 80 persen. Mereka tidak memiliki informasi tentang pendidikan, kapasitas, dan kapabilitas kandidat. Kekosongan pengetahuan ini diisi oleh kerja media dan komunikasi politik dalam membangun ”pencitraan” kandidat, yang sarat manipulasi psikologis sehingga sangat wajar jika banyak negara menolak sistem pemilihan langsung murni ini (Brennan, 2016).
Pemilihan langsung individualistik sebagai produk Amendemen UUD 1945 tahun 2002 menghancurkan fondasi deliberasi ini.
Amerika Serikat sendiri—sebagai negara liberal dengan nilai individualisme sangat kental—tak menggunakan sistem pemilihan langsung murni ini. Kandidat presiden Amerika yang menjadi pemenang pada popular vote tidak serta-merta menjadi pemenang pemilu. Berdasarkan konstitusi AS, pemenang sesungguhnya ditentukan oleh elector (semacam perwakilan), yaitu sekelompok orang terpilih dari setiap negara bagian, yang memutuskan pemenang berdasarkan pilihan rakyat sehingga masih bekerja sistem perwakilan.
Indonesia—yang berdasarkan Pancasila—justru menghapus asas permusyawaratan dan perwakilan ini melalui Amendemen UUD 1945 tahun 2002, dan menggantinya dengan pemilihan langsung.
Baca juga : Harga Mati (?)
Mitos refeodalisasi
Perlu dicatat bahwa usulan Forum Guru Besar ITB untuk mengembalikan fungsi dan peran MPR memberi fungsi dan peran proporsional pada kaum agamawan; cendekiawan; Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan bala tentara cadangan; raja, sultan, dan pemangku adat, serta kaum profesional melalui Amendemen ke-5 UUD 1945 bukan untuk mencabut hak rakyat dan menggantikannya dengan sistem feodalisme.
Tak ada tempat bagi Feodalisme! Sebaliknya, ini adalah upaya konstitusional ”mengembalikan hak demokratis rakyat” yang telah ”dimanipulasi” di dalam sistem pemilihan langsung agar sesuai UUD 1945 asli, yaitu melalui sistem permusyawaratan dan perwakilan.
Baca juga : Refleksi 75 Tahun Pancasila
Mengapa ”dimanipulasi”? Pertanyaan esensialnya terkait dengan konsep ”rakyat” (demos). Rakyat adalah komponen negara yang berasal dari komponen bangsa, dalam bingkai negara-bangsa (nation-state). Namun, siapa rakyat? Mereka adalah sebuah ”garis besar”, sosok samar-samar, generalisasi dari multiplisitas tanpa batas jelas—siapa pun! (Nancy, 2000).
Mereka adalah orang-orang yang ”tak memiliki kualifikasi untuk mengatur” (Ranciere, 2010). Partai merekrut ”sosok siapa pun” ini menjadi konstituen demi mendapatkan kekuasaan. Rakyat memanifestasikan ”kedaulatannya” di bilik suara. Keluar dari bilik suara, mereka tak memiliki kuasa apa-apa—inilah ilusi kedaulatan rakyat.
Keluar dari bilik suara, mereka tak memiliki kuasa apa-apa—inilah ilusi kedaulatan rakyat.
Sebaliknya, komponen bangsa sosoknya lebih jelas dan historis. Merekalah para agamawan; cendekiawan; TNI dan bala tentara cadangan; raja, sultan, dan pemangku adat, serta kaum profesional, beserta semua majelis, anggota, dan umatnya. Mereka manifestasi prinsip Bhinneka Tunggal Ika di dalam negara majemuk berbasis multikulturalisme. Mereka wakil historis bangsa multikultural.
Memberi mereka posisi proporsional dalam mengelola negara-bangsa bukan berarti memberi ruang dalam pertarungan kekuasaan melalui mesin partai, melainkan memberi fungsi dan peran sebagai wakil rakyat untuk menegakkan asas permusyawaratan/perwakilan dalam merawat prinsip multikulturalisme. Apabila MPR pada masa lalu hanya dijadikan sebagai rubberstamp, yang salah bukan MPR sebagai sistem, melainkan rezim pada waktu itu yang mengebiri MPR. Kita tak bisa serta-merta menuduhkan kegagalan aktor pada kegagalan sistemnya.
Karena itu, mari pikirkan format sistem MPR yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Memberi fungsi kaum agamawan secara ”proporsional” bukan berarti menyeret mereka ke dalam sistem kepartaian, melainkan keterwakilan formal di dalam MPR. Tentang kaum cendekia, apakah semua mereka adalah ”penjual diri pada penguasa?” Masih banyak kaum cendekia idealis, yang pikiran-pikiran mereka layak didengar sebagai wakil rakyat.
Bahwa darurat Pancasila ”kiranya tidak akan bisa diatasi dengan suatu refeodalisasi” tak terbantahkan. Namun, diselesaikan dengan ”secara konsekuen dan konsisten meneruskan garis demokratis yang diwujudkan oleh MPR pilihan rakyat (pemilihan langsung?) pertama kita” (1999), justru itulah prima causa kegaduhan dan keterbelahan bangsa.
Ini karena fungsi MPR telah tergradasi, dikalahkan gelembung kekuatan partai, yang membangun medan pertarungan politik keras atas nama rakyat. Memilih MPR langsung oleh rakyat adalah manifestasi hak demokratis, tetapi memilih presiden langsung justru mengkhianati prinsip permusyawaratan dan perwakilan. Apabila gotong royong telah mati, jika asas permusyawaratan telah hancur lebur, apa gunanya lagi Pancasila?
Yasraf Amir Piliang
Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB