Dengan memberi lampu hijau bagi koalisinya berhubungan dengan Israel, Arab Saudi ingin memastikan peta geopolitik di kawasan. Jika tekanan karena isu Palestina, Saudi bisa merengkuhnya tanpa harus kehilangan pegangan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Normalisasi hubungan diplomatik antara Bahrain dan Israel tak bisa lepas dari peran Arab Saudi, yang tak mungkin menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.
Normalisasi ini kian menyudutkan dan menjauhkan penyelesaian Palestina dari solusi dua negara, seperti diinginkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahrain mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA) yang lebih dahulu menormalisasi hubungan dengan Israel, yang juga ditandai penerbangan Jerussalem-Abu Dhabi.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan normalisasi hubungan Israel-Bahrain lewat Twitter setelah menelepon Raja Bahrain Pangeran Hamad bin Isa al-Khalifa dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, Jumat (11/9/2020). Sebelum ikut terbang dari Jerusalem ke Abu Dhabi, 30 Agustus 2020, Penasihat Keamanan Nasional AS, Robert O’Brien, menyebut Bahrain, Oman, dan Sudan akan segera menyusul berhubungan diplomatik dengan Israel.
Sebagai negara pulau kecil di kawasan Timur Tengah, dan melihat persaingan perebutan pengaruh di kawasan, rasanya sulit bagi Bahrain mengambil keputusan penting ini tanpa dukungan koalisi dekatnya. Peneliti pada Carnegie Endowment for International Peace, Zaha Hassan, mengatakan, langkah Bahrain yang mengganggu perjuangan Palestina ini tidak terlepas dari Arab Saudi. ”Langkah ini tidak dapat terjadi tanpa lampu hijau Saudi,” ujarnya (Kompas.id, 12/9/20200).
Lima hari sebelum Trump mengumumkan normalisasi hubungan Israel-Bahrain, Raja Arab Saudi Pangeran Salman bin Abdulaziz al-Saud menekankan kembali keadilan bagi Palestina. Dalam pembicaraan telepon dengan Trump, selain menyampaikan penghargaan terhadap langkah AS yang mengupayakan perdamaian, Raja Salman menyatakan keinginan kuat Arab Saudi mencapai solusi yang adil dan permanen terkait Palestina guna menghadirkan perdamaian sebagai titik awal perwujudan Inisiatif Damai Arab.
Raja Salman menyatakan keinginan kuat Arab Saudi mencapai solusi yang adil dan permanen terkait Palestina guna menghadirkan perdamaian sebagai titik awal perwujudan Inisiatif Damai Arab.
Namun, keinginan Raja Salman seperti terhapus dengan normalisasi itu. Muncul pertanyaan siapa yang mengontrol politik luar negeri Arab Saudi, Raja atau Putra Mahkota, Pangeran Mohammed Bin Salman? Ataukah isu Palestina tidak lagi menjadi arus utama politik luar negeri Arab Saudi?
Banyak yang menduga Arab Saudi tidak mungkin memulihkan segera hubungan diplomatik dengan Israel sebelum negara di sekitarnya sudah menjalin hubungan dengan Israel. Namun, sebagai salah satu negara utama di kawasan, Arab Saudi semakin gerah dengan Iran yang pengaruhnya kian mendalam di beberapa negara di kawasan. Musim Semi Arab 2011 membuat Arab Saudi mulai kehilangan pengaruh di Suriah, Irak, Yaman, dan Lebanon. Negara-negara itu kian dekat dengan Iran, padahal akibat sanksi ekonomi dari AS dan sekutunya, perekonomian Iran juga kian rapuh.
Dengan memberi lampu hijau bagi koalisinya berhubungan dengan Israel, Arab Saudi ingin memastikan peta geopolitik di kawasan. Jika tekanan karena isu Palestina, Saudi bisa kembali merengkuhnya tanpa harus kehilangan pegangan.