”Ambivert", Lebih Baik?
Jadi, ketika mencoba memahami kompleksitas kepribadian seseorang, rasanya sulit melihat perilaku manusia hanya terbagi ke dalam dua kategori berbeda.
Beberapa klien yang berkonsultasi menganggap dirinya seorang yang introvert, karena itu sering bermasalah. Benarkah seorang yang ekstravert lebih berhasil dalam kehidupan? Bagaimana sesungguhnya kontroversi introversi-ekstraversi ini? Mari kita simak pandangan beberapa ahli.
Pembahasan introversi-ekstraversi telah lazim dalam literatur psikologi selama ratusan tahun. Banyak teori menggabungkan tingkat ekstraversi-introversi individu sebagai faktor kunci yang menopang kepribadian dan dianggap penting dalam memahami orang lain maupun diri sendiri.
Introvert-Ekstravert
Carl Jung (1921) menciptakan istilah tersebut sekitar satu abad yang lalu, menggabungkan istilah Latin ekstra (berarti ’di luar’), dan verte (berarti ’berputar’). Jadi seorang ekstravert ’berbalik ke luar’.
Jung mengemukakan perbedaan utama dari introversi-ekstraversi adalah dari sumber dan arah ekspresi energi seseorang. Ia mendefinisikan ekstraversi sebagai ”perubahan lahiriah libido” dan introversi sebagai ”perubahan batin libido” (libido di sini berarti nafsu makan dan motivasi untuk melakukan sesuatu, bukan murni seksual saja).
Singkatnya, seorang introvert berpikir, merasakan, dan bertindak ke dalam, jadi subyek adalah faktor pendorong utama. Ekstravert, di sisi lain, mengarahkan minat mereka keluar ke lingkungan sekitarnya, mereka berpikir, merasakan, dan bertindak dalam kaitan dengan faktor-faktor eksternal daripada subyektif.
Luke Smillie (2020), seorang associate professor untuk psikologi kepribadian di The University of Melbourne, mengatakan bahwa memang prototipe introvert adalah seorang yang tenang dan pendiam, yang memilih tingkat stimulasi dan aktivitas sosial yang lebih rendah. Berlawanan dengan pandangan umum, introvert tidak selalu reflektif, kontemplatif, atau intelektual. Beberapa introvert kebetulan memiliki karakteristik ini, tetapi bukan itu yang membuat mereka menjadi introvert. Pada dasarnya ekstravert adalah kebalikan dari seorang introvert, kurang tenang, kurang pendiam. Ekstravert adalah orang yang banyak bicara, mudah bergaul, ramah, aktif dalam berperilaku, dan dominan secara sosial.
Ambivert
Dalam kenyataan, yang lebih banyak terjadi adalah seperti orang berikut ini.
”Saya benar-benar menikmati ditemani orang lain, tetapi saya suka bersantai di rumah atau membaca buku sambil minum secangkir teh panas. Saya dapat melakukan tugas sendiri atau dalam kelompok, dan saya menikmati keduanya secara setara. Beberapa orang berpikir saya pendiam, sementara yang lain berpikir saya suka bicara dan cerewet. Saya bisa tersesat dalam pikiran saya sendiri semudah saya dapat kehilangan diri saya dalam percakapan. Kadang-kadang saya skeptis tentang memercayai orang lain, tetapi lain kali saya bisa langsung saja bicara” (diambil dari The Psychefiles, 2019).
Jadi, ketika mencoba memahami kompleksitas kepribadian seseorang, rasanya sulit melihat perilaku manusia hanya terbagi ke dalam dua kategori berbeda.
Adam Grant (2013), seorang psikolog dari Amerika, berfokus pada individu-individu yang tidak terlalu ekstravert atau sangat introvert, yang disebut ”ambivert”.
Sementara orang ekstravert menikmati kebersamaan dan interaksi dengan orang lain dan introvert menikmati kesendirian, ambivert dicirikan sebagai ambivalen tentang situasi sosial, terkadang menikmati kebersamaan dengan orang lain, tetapi juga menikmati saat sendirian.
Jung, yang merupakan pelopor ambivert sebagai konsep, mengklaim bahwa kita masing-masing memiliki preferensi terhadap apa yang ingin kita lakukan, tetapi kita juga memiliki kapasitas untuk menjadi introvert dan ekstravert. Mayoritas orang, meskipun cenderung ke satu sisi spektrum, biasanya beroperasi menggunakan sifat dan preferensi dari kedua sisi itu.
Temuan Adam Grant (2013) tidak terlalu mengejutkan jika kita menganggap bahwa ekstraversi-introversi adalah sebuah kontinum, bukan pilihan biner, dan jika kita berasumsi bahwa ciri kepribadian ini terdistribusi secara normal, yaitu seperti kurva berbentuk lonceng. Artinya, sekitar dua pertiga orang (67 persen) berada/tersebar di tengah, yang dapat diklasifikasikan sebagai ambivert. Ini mungkin memecahkan masalah lama tentang mengapa ketika orang mengikuti tes kepribadian dan diklasifikasikan sebagai introvert atau ekstravert, mereka sering merasa seperti ”saya bukan salah satu dari itu atau yang lain”.
Smillie pun sepakat pada pandangan bahwa ekstraversi-introversi adalah sebuah spektrum. Ada dimensi berkelanjutan di mana orang dapat bervariasi, dari introversi di satu ujung/kutub hingga ekstraversi di sisi kutub lain. Seperti hampir semua karakteristik psikologis, perbedaan antara ekstraversi dan introversi lebih bersifat kontinu daripada perbedaan kategoris. Mereka bisa terletak di suatu tempat di tengah-tengah—tidak terlalu introvert atau terlalu ekstravert—dan mungkin dapat terasa seperti menjadi bagian dari keduanya.
Lebih sukses
Pengetahuan bahwa ekstravert biasanya memiliki kehidupan yang lebih bahagia dan lebih kaya secara sosial daripada introvert, tidak berarti seorang introvert memiliki kehidupan yang menyedihkan dan kesepian. Ternyata orang ekstravert bukanlah yang paling sukses.
Adam Grant (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa para ambivert adalah wiraniaga paling sukses, lebih daripada ekstravert, karena ambivert dapat melihat dari semua sisi. Mereka sangat berempati dan memenuhi kebutuhan orang lain sekaligus tidak melupakan pekerjaan dan kepentingan pribadi mereka sendiri.
Grant mengatribusikan kesuksesan penjualan seorang yang ambivert dengan kombinasi berbicara dan mendengarkan (ekstravert terlalu banyak berbicara, introvert terlalu sedikit).
Hasil temuannya mengenai kepemimpinan ternyata lebih terkait pada keterampilan sosial yang baik. Orang yang ekstravert, introvert, ataupun ambivert yang terampil secara interpersonal akan menjadi pemimpin yang lebih baik (walaupun penelitian menunjukkan bahwa orang ekstravert lebih mendapatkan keuntungan dalam hal mencapai posisi kepemimpinan).
Michael Alcee (2020), seorang psikolog klinis, pembicara dan penulis, memberikan ilustrasi tokoh berikut ini.
Seorang pria yang sangat soliter dan sering kali melankolis, Abraham Lincoln, berkembang pesat dalam berdebat, berbagi cerita dengan teman-teman hingga larut malam, dan mengucapkan kata-kata yang masih bergema dalam kesadaran kolektif kita.
Dia bisa menarik rasa sakitnya sendiri untuk menghadapi penderitaan bangsa yang terpecah. Sebagai seorang ambivert yang berkembang dengan baik, dia dapat menahan kompleksitas dan kontradiksi untuk berdiri tegak di belakang kata-kata yang sangat dibutuhkan negaranya saat itu.
Oprah Winfrey sebagai seorang ambivert pemersatu juga telah membantu Amerika. Dia mengangkat acara bincang harian yang ekstravert untuk menyajikan lebih dari sekadar hiburan dan menjadi kendaraan hebat untuk memperkuat suara orang-orang yang tidak bersuara. Klub bukunya yang sangat populer dan berpengaruh, suatu aktivitas introvert klasik, dan majalah yang menyuarakan lintas generasi tentang bagaimana membawa kebanggaan dan rasa sakit kita dengan kemanusiaan yang luar biasa. Namun, dengan cara ekstravert yang klasik itu, dia juga tahu bagaimana membuat penonton berdiri mengaguminya.
Jika kita tidak dapat mengakui kompleksitas dan nuansa diri kita yang introvert dan ekstravert—ambivert kita—bagaimana kita bisa melakukannya untuk masalah yang lebih sulit dan sarat beban?
Jadi, alih-alih hanya mengecek teman mana yang ekstravert dan introvert, bagaimana apabila memberikan lebih banyak ruang untuk para ambivert? Kita membutuhkan mereka di masa-masa sekarang lebih dari sebelumnya. Demikian Alcee menutup pemaparannya.