Indonesia, selaku Presiden Dewan Keamanan PBB, menyatakan AS tak berhak mengajukan usulan sanksi baru pada Iran. Ketegasan Indonesia ini patut diapresiasi.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Menjelang pengujung bulan Agustus ini, nama ”Indonesia” disebut-sebut media internasional berkat sikap tegas dan lugas Wakil Tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani di forum Dewan Keamanan (DK) PBB di New York, AS, 25 Agustus lalu. Sebagai Presiden DK PBB, posisi yang dijabat secara bergiliran setiap bulan oleh 15 anggota DK PBB, Dian menegaskan bahwa DK PBB ”tidak dalam posisi mengambil tindakan lebih lanjut” atas permintaan AS untuk menerapkan kembali seluruh sanksi PBB terhadap Iran terkait kesepakatan nuklir 2015. Dengan penegasan itu, ambisi AS memanfaatkan PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada Iran berantakan.
Seperti dijelaskan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, yang dikutip harian ini, Jumat (28/8/2020), tindakan itu diambil sesuai prosedur setelah berkonsultasi dengan anggota DK PBB lainnya. Dari konsultasi tersebut, sebanyak 12 negara anggota DK PBB menolak permintaan AS. Dari 15 anggota, hanya Republik Dominika, tentu saja bersama AS, yang mendukung langkah Washington. Negara mitra AS, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman, juga menolak langkah AS.
Sesuai kesepakatan nuklir tahun 2015, jika ada pemberitahuan bahwa Iran melanggar kesepakatan tersebut, Presiden DK PBB secara prinsip harus menyiapkan draf resolusi.
Meski demikian, keputusan yang diambil Indonesia sebagai Presiden DK PBB tidak sekadar hanya ”ketuk palu”. Butuh ketegasan dan kelugasan dalam melawan tekanan dan kesewenang-wenangan AS yang ingin memaksakan sikapnya saat Indonesia mengambil keputusan itu. Sesuai kesepakatan nuklir tahun 2015, jika ada pemberitahuan bahwa Iran melanggar kesepakatan tersebut, Presiden DK PBB secara prinsip harus menyiapkan draf resolusi.
Tak sulit memahami mengapa 12 anggota DK PBB dan Indonesia menolak usulan AS. Sikap AS di bawah pemerintahan Donald Trump sejak mundur dari kesepakatan nuklir Iran, Mei 2018, menggambarkan kesewenang-wenangan, dan penolakan pada platform multilateral dalam penyelesaian masalah internasional. Kesepakatan nuklir 2015 disepakati Iran dan enam negara: AS di era pemerintahan Barack Obama, China, Inggris, Jerman, Perancis, dan Rusia, dengan maksud agar Iran menghentikan program senjata nuklir dengan imbalan pelepasan sanksi-sanksi internasional.
Kini, setelah keluar dari kesepakatan nuklir yang dikuatkan melalui resolusi DK PBB nomor 2231 itu dan tahu bahwa embargo senjata pada Iran akan berakhir 18 Oktober 2020, AS menggunakan mekanisme dalam kesepakatan yang dikenal dengan istilah ”snapback”. Di mata 13 anggota DK PBB penolaknya, karena sudah keluar, AS sudah tak lagi mempunyai dasar hukum untuk menggunakan mekanisme dalam kesepakatan nuklir Iran. Sebelumnya AS juga gagal mengupayakan perpanjangan embargo senjata pada Iran melalui DK PBB pada 14 Agustus lalu; AS mungkin terus mencari jalan menjatuhkan sanksi kepada Iran melalui DK PBB. Pekan ini, Indonesia dikenang berperan menghadang kesewenang-wenangan AS memorakporandakan multilateralisme.