Ubah Sikap, Indonesia Tolak Perpanjangan Sanksi pada Iran
Indonesia bergabung dengan 12 anggota DK PBB untuk menentang Amerika Serikat. AS dinilai telah kehilangan hak karena keluar secara sepihak dari kesepakatan yang disetujuinya pada 2015.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Indonesia menolak keinginan AS untuk memperpanjang embargo senjata atas Iran. AS kehilangan hak setelah keluar secara sepihak dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan 12 anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengubah sikap dalam menanggapi keinginan Amerika Serikat terhadap Iran. Indonesia ikut menolak dari sebelumnya abstain terhadap usulan AS untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. Selepas penolakan tersebut, Iran bersiap membeli senjata dari Rusia.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kamis (27/8/2020), di Jakarta, mengatakan, AS meminta embargo diperpanjang dalam kerangka pengembalian sanksi. Kepada Indonesia, sebagai Ketua DK PBB, AS menyampaikan usulan itu, Jumat lalu. ”Ketua DK juga menerima surat terpisah dari 13 negara anggota DK PBB,” ujar Retno.
Indonesia bersama 12 negara anggota menolak memberlakukan pembalikan sanksi terhadap Iran. Sekutu AS di DK PBB, yakni Inggris, Perancis, dan Jerman, juga ikut menolak usulan AS. Hanya AS dan Dominika yang sepakat dengan perpanjangan embargo. Penolakan itu membuat DK PBB gagal mencapai konsensus sehingga tidak bisa bertindak lebih jauh.
Wakil Tetap RI di PBB Dian Triansyah Djani telah menyampaikan hal itu kepada Wakil Tetap AS di PBB Kelly Craft. ”Saya menyesal anggota dewan ini telah kehilangan arah dan kini bersama teman teroris,” kata Craft selepas ia menerima penjelasan Djani.
Menurut Retno, Indonesia sebagai Ketua DK PBB telah bertindak sesuai prosedur. Setelah ada permintaan AS, Indonesia berkonsultasi dengan anggota DK PBB dan hasilnya mereka berbeda pandangan dengan AS.
Berubah sikap
Sikap Indonesia dan para sekutu AS berbeda dibandingkan dengan dua bulan terakhir. Saat AS hanya mengusulkan perpanjangan embargo, Indonesia dan para sekutu AS hanya memilih abstain dalam pemungutan suara. Setelah dua kali gagal mengusulkan resolusi untuk memperpanjang embargo, AS mencoba cara baru yang direspons dengan penolakan.
Pada 20 Agustus 2020, Menlu AS Mike Pompeo meminta DK PBB menghidupkan lagi mekanisme penjatuhan kembali sanksi seperti diatur dalam Resolusi DK PBB Nomor 2231. DK PBB mengeluarkan resolusi itu untuk mengesahkan kesepakatan nuklir Iran 2015 atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan on Action/JCPOA).
Resolusi itu memang mengatur bahwa seluruh sanksi terhadap Iran, termasuk embargo senjata, akan diberlakukan lagi. Prosedur itu tak bisa dibatalkan dengan cara apa pun, termasuk veto dari anggota tetap DK PBB.
Trik AS tersebut tetap gagal karena ditolak DK PBB. China, Rusia, Jerman, dan Perancis berkali-kali menyatakan bahwa AS tidak bisa menggunakan mekanisme itu. Sebab, AS telah keluar secara sepihak dari JCPOA pada Mei 2018 dan karena itu kehilangan hak yang diatur dalam kesepakatan nuklir Iran tersebut.
Deputi Wakil Tetap Perancis untuk PBB Anne Gueguen setuju AS bukan lagi termasuk para pihak di JCPOA sehingga tidak bisa menggunakan mekanisme di kesepakatan itu. Ia dan anggota DK PBB dari Eropa yakin hanya dialog yang bisa dipakai guna mendorong Iran kembali mematuhi JCPOA.
Sejak AS keluar sambil memberlakukan serangkaian sanksi, Iran memutuskan mengurangi komitmennya pada kesepakatan. Iran juga mengaktifkan lagi sejumlah reaktor dan meningkatkan produksi senyawa radioaktif. Rusia dan China menyalahkan AS atas perkembangan di Iran tersebut.
Keputusan AS kembali mengenakan aneka sanksi terhadap Iran dinilai membuat Teheran tidak melihat ada keuntungan mematuhi JCPOA. Apalagi, sejak JCPOA disepakati, perwakilan Eropa di kesepakatan itu tidak kunjung memulihkan hubungan ekonomi dengan Iran. Sebab, mereka khawatir ikut terkena sanksi.
Washington mengancam untuk mengenakan sanksi kepada siapa pun yang bertransaksi dengan Iran. Sanksinya terutama berupa larangan memakai dollar AS dan memanfaatkan sistem kliring AS. Larangan itu menakutkan karena hampir 70 persen transaksi global menggunakan dollar AS.
Sistem kliring AS memproses lebih dari separuh transaksi global. Dengan demikian, masuk ke daftar sanksi AS sama saja terputus dari sistem keuangan global.
Kejutan Iran
Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, Teheran siap berdialog dengan Washington. Syaratnya, AS terlebih dulu meminta maaf kepada Iran dan kembali ke JCPOA. ”Kebijakan tekanan maksimum AS terhadap Iran telah dikalahkan,” ujarnya selepas mendengar kabar keputusan DK PBB untuk menolak keinginan AS.
Sebelum DK PBB membahas usulan Pompeo, Iran juga membuat keputusan mengejutkan. Teheran mengumumkan bersedia dua reaktornya diperiksa pengawas Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Reaktor yang diperiksa ditentukan oleh IAEA.
Badan Atom Iran dan IAEA juga sepakat tidak ada tuntutan selain pemeriksaan dua reaktor. Pemeriksaan itu untuk memastikan kepatuhan Iran pada Kesepakatan Keselamatan Menyeluruh dan Protokol Tambahan.
Kejutan lain datang dari Wakil Perdana Menteri Rusia Yury Borisov. Dilaporkan, Iran telah menyampaikan keinginan untuk membeli sejumlah persenjataan Rusia setelah pencabutan embargo senjata. Rusia telah menyiapkan daftar persenjataan yang bisa dibeli Iran.
Embargo senjata terhadap Iran akan berakhir pada Oktober 2020. Embargo itu bagian dari pelaksanaan resolusi DK PBB Nomor 2231. Sejak beberapa bulan terakhir, AS bersama sejumlah negara Arab dan Israel berusaha menggalang dukungan untuk memperpanjang embargo terhadap Iran.
Sejumlah analis menduga Iran akan membeli jet tempur Sukhoi Su-30, pesawat latih Yak-130, tank T-90, sistem pertahanan udara S-400, dan sistem pertahanan pesisir Bastian dari Rusia jika embargo dicabut.
Pembelian besar-besaran itu bagian dari upaya Iran meningkatkan persenjataan yang sudah usang dan kalah canggih dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dua negara pesaing utama di kawasan.
Sejak 1979, AS sudah bolak-balik mengenakan embargo senjata terhadap Iran. Bahkan, Washington menyita miliaran dollar AS uang yang dibayar Iran ke AS untuk impor senjata yang disepakati sebelum Revolusi 1979. Senjata pesanan Iran tidak kunjung dikirim, sedangkan uang pembayarannya tidak pernah dikembalikan. (AP/REUTERS/RAZ)