Hingga saat ini, belum semua substansi undang-undang selaras dengan semangat dan moralitas konstitusi. Masih ada substansi undang-undang yang harus dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Setiap 18 Agustus, bangsa ini memperingati Hari Konstitusi, sesuai tanggal pengesahan UUD 1945. Perayaan hari nasional itu pertama kali dilakukan pada 2008.
Untuk tahun ini, seperti dilaporkan harian ini, peringatan Hari Konstitusi, antara lain, diisi dengan pidato Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang meminta semua pihak, terutama eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk lebih konsekuen menerapkan semangat konstitusi. Secara jernih dan dengan itikad baik, perlu evaluasi apakah konstitusi benar-benar mewujud dalam semua regulasi dan kebijakan negara. Dalam terpaan pandemi Covid-19, Hari Konstitusi bisa menjadi titik membangkitkan semangat berbagai elemen bangsa (Kompas, 19/8/2020).
Konstitusi tak bisa dipisahkan dari Proklamasi Kemerdekaan karena dalam konstitusi dinyatakan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, serta adil dan makmur. Pancasila sebagai dasar negara juga ditetapkan dalam konstitusi pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, yang diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UUD 1945 adalah sumber hukum yang tertinggi. Perundang-undangan di bawahnya, termasuk ketetapan MPR, UU/peraturan pemerintah pengganti UU, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah, seharusnya sejalan dengan konstitusi.
Namun, hingga saat ini, belum semua substansi UU selaras dengan semangat dan moralitas konstitusi. Masih ada substansi UU yang harus dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain, karena diskriminatif, melanggar hak asasi manusia dan kebebasan warga negara, serta tak sejalan dengan demokratisasi. Ada juga perda yang masih tak sejalan dengan UUD 1945. Konstitusi memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji materi UU terhadap UUD.
UU, juga perda, adalah produk politik dan hasil kesepakatan eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu, pasti ada kepentingan politik, bahkan kepentingan sesaat, yang bisa memengaruhi hasil kesepakatan itu, berupa UU atau perda. Di sisi lain, tidak mungkin membuat UU atau perda dengan tanpa melibatkan politisi, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Kepentingan pribadi, kelompok, atau partai politik membuat kualitas atau materi perundang-undangan pun buruk.
Tahun 2019, MK menerima 85 perkara pengujian UU serta 37 perkara dari tahun 2018. Setiap tahun, tidak kurang dari 70 UU dipersoalkan oleh masyarakat ke MK karena dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945. Ada sejumlah UU yang sering diuji ke MK, seperti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diuji hingga 18 kali. UU Pemilu pasti sarat kepentingan (sesaat) dari politisi atau partai politik.
Sembilan negarawan yang menjadi hakim konstitusi adalah manusia yang bisa saja berbuat salah. Konstitusi dapat diubah. Konstitusi berasal dari kata constituer, dalam bahasa Perancis, yang berarti membentuk. Konstitusi adalah dasar pembentukan negara. Politisi seharusnya mengutamakan dasar itu dan bukan kepentingannya saat membuat perundang-undangan.