Memperingati seratus hari meninggalnya Dr Arief Budiman, sekitar pertengahan Juli lalu kalangan yang dekat dengannya terdiri atas sebagian besar bekas-bekas muridnya menyelenggarakan webinar membahas buku
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Memperingati seratus hari meninggalnya Dr Arief Budiman, sekitar pertengahan Juli lalu kalangan yang dekat dengannya terdiri atas sebagian besar bekas-bekas muridnya menyelenggarakan webinar membahas buku yang diterbitkan kalangan ini, Kanan Kiri Arief Budiman. Itulah pengalaman pertama saya mengikuti apa yang disebut webinar.
Menyenangkan juga, melalui iPad saya bisa melihat Stanley Adi Prasetyo di Jakarta, Joss Wibisono di Amsterdam yang menjadi penyusun buku bersama Eri Sutrisno, Bintoro Gunadi di Vancouver, Mbak Leila dan Santi serta teman- teman lama di Salatiga. Tak ketinggalan pembicara pada diskusi itu, Maria Hartiningsih, wartawati yang saya kagumi. Kami tidak hanya berbicara, tetapi juga dadah-dadah seperti semasa kecil saya sering melambai-lambaikan tangan melihat truk lewat.
Buku ditulis 29 orang dalam pergaulan dengan Arief Budiman semasa yang bersangkutan mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, antara awal 1980-an dan pertengahan 1990-an. Meminjam istilah Prof Takashi Shiraishi yang menggambarkan radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926 sebagai zaman bergerak, bagi kalangan aktivis dan mahasiswa, tahun 1990-an adalah zaman bergerak—an age in motion. Bersama para pejuang dan aktivis lain Arief adalah pelaku utama pergerakan pada masa itu.
Meneladani Arief, para murid menulis lugas apa adanya tanpa bedak dan gincu. Mereka mengenang Arief sebagai dosen yang mengajarkan teori-teori rumit menjadi terang benderang laksana matahari siang hari, menggambarkan kebersahajaannya, suluh semangatnya, elan perjuangannya, kegelisahannya, sampai guyonannya. Arief, sosok egaliter yang bergaul akrab dengan mahasiswa, tidak hanya menjadi inspirasi mahasiswa-mahasiswa UKSW, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa kampus lain, baik di Salatiga maupun kota-kota lain.
Salah satu penulis buku ini, M Hanif Dhakiri, dulu aktivis mahasiswa IAIN Walisongo, Salatiga, mengenang guyonan masa itu, bahwa kampus kecil IAIN Salatiga yang Islam malah seperti kampus kiri. Para mahasiswa dikenangnya melahap buku-buku Marx, Engels, Lenin, Mao, Ali Syariati, Asghar Ali Engineer, dan Paulo Freire. Mereka terjun mengorganisasi petani, buruh, dan kaum miskin kota.
Judith Lim, mahasiswi yang rumahnya di Jalan Jenderal Sudirman dekat pasar, didatangi aparat, ayahnya diperingatkan supaya hati-hati. Mahasiswa-mahasiswa UKSW saat itu terbiasa dibayang-bayangi intel. Yang paling sering disatroni aparat militer adalah markas Yayasan Geni. Tidak ada penghuni Geni yang lepas dari pengawasan intel, tak terkecuali barangkali Gonzo yang tak tahu apa-apa—ia anjing piaraan Stanley.
Saya yang ketika itu sering wira-wiri ke Salatiga mengenang kegairahan intelektual yang ditularkan dosen-dosen selain Arief Budiman juga ada Ariel Heryanto, George Junus Aditjondro, Liek Wilardjo, John Ihalauw, Hendrawan Supratikno, dan masih banyak nama lagi yang tidak mungkin disebut satu per satu. Tidak semua mereka seiring sejalan, saat itu juga terjadi perbenturan.
Oleh Kiswara Santi yang kini tinggal di Bali, dikenang bagaimana sikap Arief Budiman di tengah gejolak yang kemudian membuat dia harus hengkang dari UKSW. Di taman kampus yang dijuluki mahasiswa Bukit Demokrasi, kepada para mahasiswa, Arief berpesan: ”Jangan bela saya. Kalian adalah mahasiswa-mahasiswi yang akan jadi kelompok cendekiawan. Kalian harus membela kebenaran dari mana pun dan kapan pun.”
Itulah cerita kecil dari zaman bergerak pada akhir abad ke-20 di kalangan mahasiswa dengan pergulatan pemikirannya, idealismenya, pemihakannya sebelum datangnya era milenial dengan kalangan muda sibuk menawarkan konten, hari ini coba-coba besok kaya raya. Beberapa kemudian diundang ke Istana.
Waktu itu saya menerima kabar berpulangnya Arief dari Joss Wibisono di Amsterdam, meneruskan kabar dari teman di Salatiga bahwa Arief Budiman dimakamkan di Ngebong. Wetan wit randhu alas sing gede kae, begitu pesan saya baca (Sebelah timur pohon randu hutan yang besar itu).
Kami hanya bisa termangu-mangu mengenang pemikirannya, perjuangannya, sikap anti-kemapanannya, termasuk romantisismenya. Untuk hal yang terakhir, Mbak Leila yang paling tahu. Arief meninggal pada saat merebak wabah korona sehingga kami anak buah tidak bisa ikut beramai-ramai mengantar ke peristirahatan terakhirnya, meski kami tahu bahwa sebagai pejuang dia biasa jalan sendirian.***