Selama pandemi ini banyak orang merasa cepat tua. Lihat, rambut saya mulai putih, seorang teman mengirimkan fotonya. Dari awal Maret wanita yang sangat memperhatikan penampilan itu mengaku tidak lagi ke salon untuk mengecat rambut. Teman yang lain mengaku depresi tidak tahu kapan pandemi akan berakhir sambil bertanya masihkah bumi mengelilingi matahari.
Banyak hal yang sifatnya sehari-hari berubah karena wabah. Di lingkungan yang saya kenal, mereka yang biasa makan di luar beralih makan di rumah, mengandalkan masakan sendiri atau makanan yang bisa dipesan via online. Bisnis makanan yang bisa dipesan secara online meningkat, dilakukan banyak orang yang bisa memasak masakan apa saja kecuali yang enak.
Supremasi teknologi digital telah memberikan semua yang diimpikan orang, antara lain kepraktisan. Untuk berbincang-bincang tidak perlu ketemu cukup di rumah dengan berbagai aplikasi yang tidak perlu disebut namanya karena semua orang jauh lebih tahu daripada saya.
Semua orang membagi ilmu apa saja, termasuk yang tidak diketahuinya, dipandu moderator, diumumkan jauh hari sebelumnya. Bukan zamannya mengunjungi orang begitu saja, berbincang seenaknya, ngopi sambil mengangkat kaki dari malam sampai pagi.
Yang perlu diorkestrasi sekarang hanyalah citra. Marah dan senyum pun jangan-jangan perlu geladi bersih sebelumnya di bawah bimbingan pakar penampilan. Rakyat dianggap cuma butuh hiburan, bukan kebenaran. Buronan berkeliaran seenaknya difasilitasi mereka yang dengan tanpa merasa dosa mempermalukan negara. Untuk persatuan bangsa telah tersedia musuh bersama, tidak memerlukan inovasi baru karena ada barang yang tidak pernah kedaluwarsa: komunisme.
Selain terhadap kepraktisan, sejak lama makhluk bernapas bernama manusia terobsesi oleh kecepatan. Sudah lama itu dicapai ketika bumi menjadi rata dan segala hal bisa berlangsung dan didapat dengan seketika. Saya pernah mendengar seorang motivator mengajak orang menjadi kaya dengan segera sambil berucap bahwa dirinya tidak pernah baca novel. Buat apa, buang-buang waktu saja, ucapnya. Waktu baginya rupanya sebegitu berharganya sampai merasa tidak perlu lagi menghayati maknanya.
Ibarat berjalan, dia mengendarai kendaraan super cepat, menjadikan sekeliling cuma bayangan bergerak tak terlihat detailnya. Ini yang membuat semua orang merasa bisa melakukan apa saja karena semua terlihat mudah belaka. Kerja laboratorium puluhan tahun untuk meneliti vaksin terkalahkan oleh kerja cepat membuat kalung yang dibayangkan seperti azimat sakti mampu menundukkan segala virus. Kalau gagal? Anggaplah sebagai minyak kayu putih, jawab manusia itu enteng.
Kecepatan telah mendamparkan orang pada kesepian—the solitude of speed—yang pada gilirannya membuat banyak orang jadi agak kurang waras. Menjaga kewarasan bukanlah hal mudah di zaman ini. Dengan banjir bandang informasi, banyak orang menjadi news-aholic, mengonsumsi semua informasi sampai mabuk.
Informasi yang membanjir sebagian besar dibikin oleh pers masa kini yang mendefinisikan kepentingan publik berdasarkan perkiraan keingintahuan orang atas segala hal, kecuali hal yang penting, hakiki, dan substansial. Yang membikin juga tak tahu apa mandat hidupnya. Mereka menyajikan apa yang mereka sebut fakta dengan mengutip unggahan di Instagram, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya.
Terhadap kemajuan teknologi media, banyak orang akan berucap: semua, kan, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Siapa sudi percaya kepada McLuhan dengan ucapannya yang berkali-kali saya kutip: the medium is the message. Atau siapa peduli dengan hasil penelitian Nicholas Carr yang menyebut bahwa media digital dengan hyperlinks-nya memerosotkan daya tangkap otak kita.
Manifesto mengajak untuk diet informasi akan diketawakan orang sampai terguling-guling. Bagaimana kita tahu orangtua kita mati kalau tak terhubung oleh teknologi informasi, begitu alasannya. Mereka tidak percaya akan adanya meta-informasi bahwa Yang Kuasa secara tak terduga mampu membisikkan sesuatu pada umatnya. Dunia online menggantikan apa saja, kemungkinan nanti bernapas pun online.
Teman yang saya sebut di atas mengirim beberapa foto lagi sambil berucap: lihat, rambut saya sudah putih semua. Kepadanya saya bilang, itu urusan kecil, tidak perlu dipikirkan. Yang penting jangan karena rambut putih hilang kewarasan apalagi kemanusiaan.