Tiga minggu lagi Indonesia akan memperingati 75 tahun kemerdekaannya. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk memberi pendapat atas rentetan masalah struktural dasar yang dihadapi negara ini dalam tiga fase politiknya
Oleh
Jean Couteau
·4 menit baca
Tiga minggu lagi Indonesia akan memperingati 75 tahun kemerdekaannya. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk memberi pendapat atas rentetan masalah struktural dasar yang dihadapi negara ini dalam tiga fase politiknya: 1945-1966, 1966-1998, dan 1998-sekarang.
Periode 1945-1965. Ini adalah fase utopis antikapitalis, fase perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan ekonomi. Begitu diumumkan, kemerdekaan ditentang dengan jaringan kepentingan kapital Belanda, yang menuntut agar hak-haknya dipulihkan seperti sediakala. Setelah Belanda bertekuk lutut secara politik, perlu hampir 10 tahun lagi untuk melepaskan Indonesia dari sisa cengkeraman ekonominya.
Elite terdidik, yang merupakan sisi terbaratkan elite-elite tradisional, meyakini bahwa dengan mengerahkan segala sumber daya nasional, dapat dibangun suatu tatanan sosial ala Indonesia, marhaenisme, yang akan menjamin kemandirian bangsa. Sejumlah faktor bertumpuk untuk menggagalkan upaya utopis ini.
Pertama, konsep negara belum selesai karena berbenturan dengan utopia lain: baik utopia komunis, yang beranggapan bahwa tatanan sosial harus dirombak total demi tercapainya keadilan sosial, maupun utopia agamais, yang ingin menyusun negara berdasarkan tafsir kitab suci.
Kedua, kecuali ketika dilakukan dengan kasar, seperti di negara-negara komunis, pembangunan tidak pernah muncul dari keputusan pemerintah apa pun tanpa disertai pelaku pasar. Para pemegang modal tak termotivasi, selain jaringan internasionalnya terputus, pemilik kapital berhadapan dengan ketidakpastian politik.
Akibatnya, biarpun marhaenisme ala Indonesia dikumandangkan dengan nyaring, nyatanya onderdil kian langka, bank-bank kian enggan mengambil risiko, dan rakyat lapar. Sosialisme nasional ala Indonesia akhirnya tumbang, seperti sosialisme ala Mesir, India, Yugoslavia, Tanzania, dan lain-lain.
Ya, ”realitas” telah berbicara, dengan senapan sebagai alatnya dan jaringan kapital sebagai latar strukturalnya. Kesimpulannya, Orde Lama sukses dalam hal kebangsaan dan kedaulatan. Gagal dalam hal ekonomi: ekonomi tidak tumbuh tanpa kapital. Adapun secara sosiologis, yang mengemuka hanyalah kelompok borjuis negara.
Periode 1966-1998. Inilah fase realisme kapitalistis, yang dimulai pada September 1965 dengan pekikan kematian di tempat yang sebelumnya sepi. Seusai itu, realitas cepat menyelusup kembali: untuk ”membangun” harus ada dana dan dana menuntut adanya return of investment atau keuntungan. Oleh karena itu, kapital asing yang tadinya diusir dipanggil kembali.
”Imperialisme mengekang negara,” seru kaum kiri. Memang, kaum borjuis negara, kini berjubah komprador, kian berkerumun di bawah naungan tentara. Lalu, dari Bank Dunia, mengucurlah dana investasi menjadi pertambangan dan pengeboran minyak. Begitu uangnya menetes keluar, segera dilahap komprador, yang mengunci segala bisnis yang dapat dikunci dalam bidang impor, ekspor, prasarana, perkebunan, dan lain-lain.
Para komprador dengan cepat menjadi konglomerat. Lalu secara berturutan, selaras sirkulasi kapital kian pesat, lahirlah kaum pebisnis baru—kaum kapitalis menengah yang bersih—di segala bidang: garmen, angkutan, otomotif, permebelan, dan lain-lain. Hal ini pada gilirannya memunculkan penunjang sosialnya: kelas menengah yang besar. Di situ datanglah sandiakala Orde Baru: harus berhadapan dengan kritik yang kian tepat dan kian banyak, hingga bedil tidak lagi mampu menanggulangi. Lalu tumbang.
Kesimpulannya, realisme ekonomi Orde Baru relatif berhasil meskipun dibayar terlampau mahal dari sudut kemanusiaan, dan meskipun ciri kompradoris rezim telah menghambat pengembangan otonomi teknologi bangsa. Namun, secara struktural ekonomi Indonesia telah menjadi modern.
Fase 1998 berlangsung sampai sekarang. Seusai utopia, dan setelah realisme, kini diharapkan datanglah rasio dan humanisme demokratis. Namun, tugas reformasi berat. Harus mengoreksi berbagai ketimpangan struktural yang terlahir dari rezim sebelumnya. Amat sulit karena kelas sosial teratas masih berakar pada konglomerat-komprador rezim Orba.
Apabila dulu sang pendiri mengunci bidang bisnis, kini penerusnya cenderung mengunci pemilihan umum. Oleh karena itu, tidak mudah menerapkan kebijakan perpajakan yang adil. Hal ini berdampak panjang terhadap alokasi dana pembangunan dan redistribusi kekayaan nasional.
Pada fase kita ini, ciri-ciri kapitalisme sejatinya berbeda. Ia tidak lagi langsung menumbangkan pemerintah-pemerintah dengan bantuan tentara. Ia sudah menguasai medan. Tak diragukan lagi, bahkan sampai ke China, ciri produktifnya yang tiada taranya. Namun, kapital tidak mudah dikelola. Apabila terlalu dituntut, ia lari—dan lupakanlah dinamisme ekonomi bagi bangsa.
Jadi, masalah rangkap: bagaimana negara dapat memicu kapital agar ia produktif dan bagaimana mengekangnya agar ia distributif. Reformasi ini wajib berhasil oleh karena aneka radikalisme berwajah seram tetap menghantui kita.
Menghadapi badai korona, semoga kapal negara tetap dinakhodai dengan bijak dan tangkas.