Kasus Joko Tjandra seakan kembali menegaskan masih adanya masalah dalam sistem hukum di negeri ini.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Jumat pagi, 17 Juli 2020, advokat senior menghubungi saya. Dia mengatakan, kasus Joko Tjandra harus dijadikan momentum pembersihan birokrasi sistem hukum. Bahkan, ia menyarankan perlunya pertobatan pelaku yang berada dalam ekosistem peradilan. Dia tampak geregetan dengan tingkah polah buronan Joker—demikian Joko Tjandra sering disebut—yang telah mempermalukan wajah hukum di negeri ini. Pengacara Joker memfasilitasi pengurusan KTP-el Joker, menghubungi Lurah Grogol Selatan Asep Subahan, dan mengurus peninjauan kembali di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada kesempatan berbeda, pada hari yang sama, purnawirawan jenderal TNI berkomentar juga soal Joker, ”Seru, seperti Bengawan Solo, airnya mengalir ke mana-mana.” Bagi dia, masalah Joker bukan kasus baru. Sudah berjalan 13 tahunan. Jadi, aparat penegak hukum pada zamannya pasti tahu. ”Kasus Joker tidak hanya masalah nasional, tetapi juga internasional. Jadi, aparat penegak hukum setinggi apa pun pangkatnya pasti tahulah,” tulisnya.
Semakin lama, misteri kasus Joker semakin terkuak. Sayangnya, terkuaknya kasus Joker bukan melalui penyelidikan komprehensif, melainkan melalui pembocoran berbagai dokumen.
Semakin lama, misteri kasus Joker semakin terkuak. Sayangnya, terkuaknya kasus Joker bukan melalui penyelidikan komprehensif, melainkan melalui pembocoran berbagai dokumen. Dokumen dan surat bocor atau tepatnya dibocorkan. Bocornya dokumen tersebut patut diduga berasal dari dalam organisasi sendiri. Artinya, sedang ada masalah dalam organisasi tersebut. Setelah dokumen KTP-el Joker bocor, kemudian menyusul paspor, menyusul surat jalan, dan menyusul surat cek kesehatan Joker terkait Covid-19.
Langkah cepat dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menonaktifkan Lurah Grogol Selatan Asep Subahan. Kemudian langkah sigap Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis yang menonaktifkan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo. Langkah sigap itu penting untuk memulihkan kepercayaan publik pada sistem hukum Indonesia.
Sudah menjadi obrolan warung kopi, hukum Indonesia bisa dibeli. Jika butuh kutipan, mungkin bisa dibaca dari Gary Goodpaster dalam Tim Lindsey dalam Law Reform In Developing and Transitional States tahun 2007. Kutipannya demikian, ”Today, the Indonesian legal system cannot be trusted—indeed, cannot be used to render honest decision—but may be trusted to protect corrupt activities. By all accounts, the Indonesian legal system…is wretched (sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya—sungguh, tidak bisa digunakan untuk memberikan keputusan jujur—tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan korup.” Pada tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 126 negara berdasarkan World Justice Project, Rule of Law Index.
Kasus Joker akan membuktikan itu semua. Apakah semua dokumen yang dipegang Joker sebagai bagian dari judicial corruption, tentunya harus dibuktikan. Jika memang uang bisa membeli semuanya, bisa membeli keadilan, bisa membeli hukum, runtuhlah sistem hukum Indonesia. Dan ini tentunya tidak boleh terjadi. Jejak Joker telah begitu nyata.
Sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya—sungguh, tidak bisa digunakan untuk memberikan keputusan jujur—tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan korup.
Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Presiden Joko Widodo punya tanggung jawab tetap menegakkan sistem hukum. Presiden Jokowi harus memerintahkan Kepala Polri, Jaksa Agung, serta Menteri Hukum dan HAM untuk menuntaskan kasus Joker. Siapa pun yang terlibat harus diungkap ke publik. Penanganan kasus Joker ini tak cukup dengan perintah membentuk tim pemburu koruptor.
Terlalu banyak persoalan di sana. Sebut saja soal data kependudukan buronan. Seorang buronan yang seharusnya ditangkap bisa membuat KTP-el, membuat paspor, mendapatkan surat jalan, dan surat sehat. Ini misteri. Bagaimana bisa terjadi nama Joko Tjandra bisa hilang dari data red notice Interpol. Bagaimana mungkin seseorang meninggalkan Indonesia menuju Malaysia tanpa tercatat sama sekali.
Organisasi advokat perlu berbenah. Kegiatan pembelaan klien memang diatur dalam UU Advokat. Dalam Pasal 15 UU Advokat ditulis, ”Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.
Adapun dalam Pasal 16 ditulis, ”Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”. Kata kuncinya adalah ketaatan pada kode etik dan itikad baik dalam menjalankan profesinya. Advokat adalah officium nobile (profesi terhormat).
Penyakit dalam sistem hukum Indonesia tak kunjung sembuh karena hilangnya kejujuran. Kejujuran menjadi barang langka di kalangan elite. Keadilan seakan diperjualbelikan pedagang
Penyakit dalam sistem hukum Indonesia tak kunjung sembuh karena hilangnya kejujuran. Kejujuran menjadi barang langka di kalangan elite. Keadilan seakan diperjualbelikan pedagang. Meskipun demikian, kejujuran bisa ditemukan pada sosok kecil seperti Mujenih dan Egi yang menemukan uang Rp 500 juta di KRL dan menyerahkannya kepada petugas KRL. Bangsa ini rindu pada sosok jujur dan bersih seperti Kapolri Hoegeng Iman Santosa. Saat Hoegeng pensiun dan memberi tahu ibunya, ibunya mengatakan, ”Kalau kamu jujur melangkah, kami masih bisa makan nasi sama garam. Itu yang bikin kita kuat semua.”
Bangsa ini juga rindu dengan advokat Yap Thiam Hien. Saya ingat ucapan Yap, ”Jika Saudara ingin menang perkara jangan pilih saya sebagai pengacara Anda karena kita pasti kalah. Tapi jika Saudara merasa cukup puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau jadi pengacara Saudara.”