Tantangan berat dihadapi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Firli Bahuri. Kepercayaan publik kepada KPK merosot.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Tantangan berat dihadapi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Firli Bahuri. Kepercayaan publik kepada KPK merosot.
Jajak pendapat Kompas yang dirilis pada 23 Juni 2020 menunjukkan citra KPK berada di titik paling rendah dalam sejarah KPK. Sebanyak 44,6 persen responden memandang citra KPK baik. Padahal, sebelumnya, pada Mei 2017, adalah titik puncak citra KPK. Sebanyak 82,8 persen responden memandang citra KPK baik. Kepuasan publik pada upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi pun berada pada angka 35,5 persen. Sebaliknya, sebanyak 59,2 persen responden merasa tidak puas dengan kinerja KPK.
Turunnya kepercayaan publik kepada ”anak nakal” reformasi ini harus dicermati. Dalam sejarahnya, KPK pernah menjadi lembaga paling disegani publik. Semangat KPK memberantas korupsi di negeri ini diapresiasi oleh publik. Namun, seiring dengan dinamika politik yang berkembang, bangsa ini seperti kelelahan memberantas korupsi. Penyidik korupsi pun secara tidak sengaja—menurut jaksa yang menuntutnya—dilukai.
Narasi kemudian dikembangkan sekelompok elite politik, bahwa agresivitas pemberantasan korupsi dianggap mengganggu perekonomian. Langkah KPK menangkapi koruptor dianggap festivalisasi pemberantasan korupsi. Narasi pun terus dikembangkan. Terakhir, KPK dikonstruksikan telah dikuasai kelompok politik tertentu. Semua itu bermuara dengan revisi Undang-Undang (UU) KPK. Opini publik goyah dan revisi UU KPK berhasil digolkan.
Jika dilihat dari sejarahnya, revisi UU KPK menjadi titik awal menurunnya kepercayaan publik kepada KPK. Kondisi itu diperparah dengan kinerja pimpinan KPK yang gemar berkunjung ke lembaga negara untuk sama-sama berdiskusi bagaimana mencegah korupsi. Tiga operasi tangkap tangan coba dilakukan, ditanggapi dingin oleh publik.
Dari sisi penindakan hukum, semangat pemberantasan korupsi terus mengendur. Beberapa kali KPK kalah di pengadilan, khususnya di Mahkamah Agung. Misalnya, dalam kasus mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syarifuddin Tumenggung dan Direktur Utama PLN Sofyan Baasir. Beberapa terpidana korupsi pun mendapat pembebasan bersyarat. Pemberantasan korupsi boleh jadi akan memasuki masa kegelapan.
Keberhasilan komisi negara seperti KPK memang sangat tergantung pada kolaborasi 4M: man, momentum, media, dan money. Dari sisi anggaran (money), KPK tidak mempunyai masalah. Namun, tampaknya KPK mempunyai masalah pada man (manusia), yakni pimpinannya, momentum yang dibiarkan hilang, dan meredupnya dukungan media.
Situasi kebatinan ini akan menguntungkan koruptor. Apakah KPK akan mampu lahir kembali, sepenuhnya tergantung pada kinerja KPK dan dukungan elite politik nasional. Selama ini, KPK hanya mengandalkan dukungan publik yang mulai apatis. Pengungkapan tuntas kasus bekas Sekretaris Jenderal MA Nurhadi boleh jadi memulihkan kepercayaan publik.