Pergerakan pemulihan kegiatan ekonomi bisa naik turun bagaikan huruf W ataupun huruf U dan drastis seperti huruf V, bergantung kerja keras, keterpaduan, dan kualitas kebijakan ekonomi para menteri kabinet pemerintah.
Oleh
Anwar Nasution
·6 menit baca
Wabah virus korona yang tengah berlangsung memorakporandakan sisi penawaran dan sisi permintaan perekonomian nasional. Dampak itu semakin besar bilamana krisis tersebut sekaligus mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi Indonesia sehingga merangsang pelarian modal.
Untuk mengatasi krisis ini diperlukan kebijakan ekonomi yang tepat, kerja keras yang terpadu, serta pengeluaran APBN dan dunia usaha yang bertambah besar untuk dapat mengatasi kemerosotan, baik pada sisi penawaran maupun permintaan. Pada sisi penawaran, terjadi kemerosotan produksi dan ancaman kebangkrutan dunia usaha, termasuk UMKM dan jasa. Karena merupakan penyerap utama tenaga kerja, insentif keuangan juga diperlukan dunia usaha skala besar.
Kesulitan dunia usaha menyebabkan angka pemutusan hubungan kerja dan pengangguran meningkat. Pekerja kehilangan mata pencaharian dan meningkatkan kemiskinan. Dari sisi permintaan, golongan masyarakat miskin perlu bantuan agar bisa membeli keperluan kehidupan pokoknya.
Sektor jasa, termasuk hotel dan penginapan, restoran, kedai kopi, transportasi, dan pedagang eceran, sangat terpukul. Penurunan penjualan pedagang eceran punya dampak ganda pada pemasok barang jualannya. Sementara pembatasan keluar rumah dan melakukan perjalanan semakin menurunkan permintaan tersebut.
Dalam keadaan seperti ini, dirasakan betapa lemahnya fundamental ekonomi kita, sistem pajak, penghasilan devisa, dan kelemahan pokok dalam industri keuangan nasional. Penerimaan pajak dan ekspor industri manufaktur banyak yang tak terurus selama ini. Pemerintah tak punya surplus anggaran dan surplus neraca pembayaran luar negeri untuk membelanjai keperluan pengeluaran yang meningkat.
Sudah tiga perempat abad usia kemerdekaan Indonesia, tetapi rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) sangat rendah, sebesar 10 persen, atau hanya separuh dari rata-rata di negara-negara berkembang yang sepantar dengan Indonesia. Sejak kita merdeka, defisit APBN selalu dibelanjai dengan bantuan dan pinjaman luar negeri serta oleh pencetakan uang atau penjualan SUN langsung dari Kementerian Keuangan ke Bank Indonesia.
Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, 1966-1998, seluruh defisit APBN hanya dibelanjai dari sedekah atau hibah dan pinjaman lunak dari konsorsium negara-negara donor Barat (IGGI). Defisit APBN yang dibelanjai oleh sedekah dan pinjaman IGGI itu yang disebut Orde Baru sebagai anggaran belanja atau APBN berimbang. Setelah IGGI dibubarkan mulai awal Orde Reformasi, pembelanjaan defisit APBN beralih ke pinjaman dari nonIGGI, termasuk China yang syarat-syaratnya lebih mahal.
Sementara itu, ekspor Indonesia tetap bergantung pada bahan mentah, terutama minyak kelapa sawit dan batubara. Walaupun negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia belum mampu membuat Arab Saudi menjadi pasar bagi barang-barang keperluan umrah dan haji, seperti pakaian ihram, sandal, tasbih, dan kaligrafi.
Kecuali warung-warung kecil, tak ada restoran Padang, Banjar, dan Jawa Timur di Tanah Suci. Kecuali yang kecil-kecilan, tidak ada hotel ataupun penginapan dan toko milik orang Indonesia di Tanah Suci untuk melayani jemaah umrah dan haji yang ramai sepanjang tahun.
Satu-satunya pilihan bagi pemerintah dan dunia usaha untuk memobilisasi modal adalah dengan menjual surat utang atau saham ke luar negeri. Pilihan di dalam negeri tidak ada karena tak adanya surplus APBN dan neraca pembayaran luar negeri serta terbelakangnya pasar obligasi di dalam negeri.
Sekitar dua pertiga dari SUN di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah milik investor asing. Oleh karena itu, sama dengan pinjaman luar negeri, penjualan SUN di BEI dewasa ini sangat rawan pada pelarian modal, bergantung pada gejolak kurs rupiah dan perbedaan tingkat suku bunga antara di dalam dengan di luar negeri.
Penjualan langsung SUN oleh Kementerian Keuangan ke BI bukan pilihan yang tepat karena itu sama dengan pencetakan uang yang dapat memicu inflasi.
Praktik seperti ini dapat dipahami pada zaman revolusi karena perang kemerdekaan dan administrasi negara masih kacau. Pencetakan uang seperti ini telah menimbulkan inflasi yang sangat tinggi, di atas 650 persen setahun, pada 1965 dan 1966. Untuk memudahkan pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang, semua bank negara diintegrasikan ke BI pada tahun 1965 dan 1966.
Tingkat laju inflasi baru dapat diturunkan oleh Orde Baru setelah konsorsium negara-negara donor Barat mendirikan IGGI dan menyediakan hibah serta bantuan untuk menutup defisit APBN. Dengan tersedianya bantuan dari IGGI, tidak lagi diperlukan pencetakan uang oleh BI untuk menutup defisit APBN.
Mengikuti Jerman dan Uni Eropa (UE), tugas BI hanya tunggal, mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Ke dalam negeri, stabilitas rupiah diartikan sebagai tingkat laju inflasi yang rendah. Ke luar negeri, makna stabilitas rupiah adalah berupa stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Mengikuti Jerman dan UE, UU No 23/1988, UU No 3/2004, dan UU No 23/1999 melarang BI memberikan kredit ke pemerintah dan membeli SUN secara langsung. Jerman dan negara-negara di UE punya sejarah inflasi yang sangat panjang karena peperangan dengan negara tetangga.
Penjualan SUN secara langsung dari Kementerian Keuangan ke BI memerlukan revisi UU Keuangan Negara Tahun 2003 dan UU BI Tahun 1999. Perubahan disiplin fiskal dan tata cara kebijakan moneter seperti itu menimbulkan trauma pada masyarakat yang masih ingat kejadian 1965, 1966, serta krisis ekonomi 1997-1998 dan 2003-2004.
Pada masa konfrontasi bersenjata dengan Malaysia dan Singapura, banyak orang Indonesia yang menyimpan kekayaannya dalam mata uang Singapura dan ringgit Malaysia yang nilainya lebih stabil. Karena tak percaya pada rupiah, banyak transaksi di dalam negeri, seperti hotel dan restoran, serta jual beli dan sewa rumah dilakukan dalam standar dollar AS. Persepsi IMF dan dunia internasional juga perlu dipikirkan karena tingginya interaksi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia.
Pembenahan ekonomi
Pilihan yang tersedia adalah meningkatkan penerimaan, menggalakkan ekspor industri manufaktur, dan membangun industri keuangan. Penerimaan pajak dapat ditingkatkan melalui peningkatan audit pajak. Metode menghitung pajak sendiri (self assessment) juga memerlukan audit agar jangan terjadi penggelapan pajak.
Program amnesti pajak yang telah dilakukan berulang kali tak banyak hasilnya untuk meningkatkan jumlah wajib pajak apalagi penerimaan dan rasio pajak. Orientasi perekonomian perlu diubah menjadi berorientasi pada ekspor.
Kementerian Agama perlu ikut membantu membuka restoran, hotel, penginapan, dan pertokoan Indonesia di Tanah Suci. Industri tabungan dana pensiun, asuransi, dan bank tabungan pos perlu dikembangkan.
Untuk menampung industri padat karya yang terganggu di China akibat virus korona, pantai timur Sumatera, Pulau Jawa, serta Kalimantan Barat dan Timur dapat dikembangkan sebagai alternatif lokasi penampungan bagi industri padat karya yang tutup di China. Terganggunya produksi dan transportasi dari China telah mengganggu global supply chains atau jaringan produksi dan pengadaan barang dunia yang mengganggu produksi industri elektronik dan otomotif di seluruh dunia. Industri itu mencakup industri tekstil dan pakaian jadi, komponen dan suku cadang, serta perakitan industri elektronik dan otomotif.
Posisi Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sangat strategis terletak di titik silang lalu lintas dan perdagangan internasional yang sangat sibuk. Tenaga kerja dapat didatangkan dari Jawa. Sumatera dan Kalimantan sangat kaya akan tenaga listrik sumber daya air dan batubara.
Pembangunan kembali perekonomian, reformasi sistem perpajakan, dan pembangunan industri keuangan memerlukan kerja keras yang terpadu dan waktu setidaknya lima tahun. Presiden Joko Widodo juga perlu meningkatkan personel dan kualitas kerja para menterinya agar setidaknya sama dengan para teknokrat Orde Baru.
Pergerakan pemulihan kegiatan ekonomi bisa naik turun bagaikan huruf W ataupun huruf U dan drastis seperti huruf V, bergantung pada kerja keras, keterpaduan, dan kualitas kebijakan ekonomi para menteri kabinet pemerintahan.
(Anwar Nasution Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi UI)