Di saat masyarakat berjuang melawan Covid-19, DPR menyetujui RUU Minerba menjadi undang-undang. RUU yang dinilai lebih menguntungkan pengusaha tambang itu dikhawatirkan justru memperparah kerusakan lingkungan.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Badai pandemi Covid-19 belum tahu kapan berakhir. Kini, publik terlibat ”perang” narasi. Mereka riuh berdebat soal narasi yang berasal dari Istana dalam dua titik waktu berbeda: ”perang melawan” Covid-19 pada Maret 2020 dan kemudian baru-baru ini, ”berdamai dengan” Covid-19.
Di tengah riuh dan kebingungan publik, mesin politik DPR bekerja. Para wakil rakyat Yang Terhormat itu bekerja dalam sunyi untuk mengegolkan revisi UU Mineral dan Batubara. Bekerja dalam sunyi dalam artian miskin perdebatan. Hasilnya: gol! Padahal, pembahasan RUU Minerba sempat ditunda pengesahannya oleh Presiden Joko Widodo, September 2019.
Selasa, 12 Mei 2020, Ketua DPR Puan Maharani mengetok palu dan mengesahkan revisi RUU Minerba. Nada pemberitaan miring terhadap pengesahan RUU Minerba. Coba lihat berita Kompas.com, ”RUU Minerba Disahkan, YLBHI Nilai DPR Khianati Konstitusi”. Lihat berita Tirto.id, 13 Mei 2020: ”RUU Minerba Dibahas Kilat, DPR Manjakan Oligarki Tambang dan Istana”.
Salah satu pasal yang dikritik adalah tidak ada kewajiban menutup keseluruhan bekas tambang
Salah satu pasal yang dikritik adalah tidak ada kewajiban menutup keseluruhan bekas tambang. Peneliti Publish What You Pay Indonesia (PWYPI), Aryanto Nugroho, menilai RUU Minerba membuat kewajiban perusahaan atas lubang bekas tambang menjadi kurang tegas dibandingkan UU Nomor 4 Tahun 2009. ”Lubang tambang itu ditutupnya berdasarkan persentase menurut peraturan perundang-undangan. Kalau dulu harus ditutup keseluruhan,” ujar Aryanto seperti dikutip Tirto.id.
Penutupan lubang tambang itu penting karena banyak kecelakaan terjadi di lubang tambang yang dibiarkan menganga. Catatan Harian Kompas, 18 Desember 2018, dalam kurun waktu 2011-2018, sebanyak 32 orang meninggal di bekas tambang batubara. Meski ada banyak cerita sedih soal bekas tambang, Malaysia sukses mengubah bekas tambang menjadi kota, seperti di Sunway City.
Spekulasi beredar. Revisi RUU Minerba dimaksudkan untuk memberikan karpet merah terhadap pengusaha tambang. Sejumlah pengusaha tambang yang kontraknya akan berakhir sepertinya bakal mendapatkan perpanjangan kontrak tanpa tender. Kewenangan pemerintah pusat mengatur perizinan pun kian besar.
DPR jalan terus. Kritik publik diabaikan. Wakil Ketua Komisi VII sekaligus Ketua Panja RUU Minerba Bambang Wuryanto menyampaikan sejumlah alasan pembahasan RUU Minerba tetap dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19. Pasalnya, RUU Minerba telah disiapkan sejak lama. Bahkan, daftar inventaris masalah (DIM) sudah disiapkan sejak 2016.
Dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, Haryatmoko menulis, de facto hukum bisa jadi kendaraan bagi kepentingan mereka yang kuat. Hukum menjadi alat legitimasi kepentingan mereka yang sedang berkuasa. Sementara bagi mereka yang lemah seakan hukum tak berdaya membela.
Bambang menyampaikan, pembahasan RUU Minerba merupakan tugas yang harus dijalankan DPR sebagai lembaga legislatif, yakni menyusun peraturan perundang-undangan. Bambang juga mengatakan, jika tidak puas, silakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Itulah hukum. ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat,” tulis Thrasymachus, filsuf Yunani kuno. Dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, Haryatmoko menulis, de facto hukum bisa jadi kendaraan bagi kepentingan mereka yang kuat. Hukum menjadi alat legitimasi kepentingan mereka yang sedang berkuasa. Sementara bagi mereka yang lemah seakan hukum tak berdaya membela.
Problem pada revisi UU Minerba ialah potensi kerusakan lingkungan akibat kerakusan manusia. Berbarengan dengan badai pandemi Covid-19, gereja Katolik menggelar doa dengan mengangkat kembali ensiklik Paus Fransiskus berjudul Laudato Si. Ensiklik itu merupakan seruan profetik Paus pada 18 Mei 2015. Lima tahun berlalu, ensiklik Paus Fransiskus rasanya masih relevan dengan kondisi kekinian.
Paus merespons kondisi bumi terkait perubahan iklim global, polusi, limbah, masalah air, hilangnya keragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia, dan ketimpangan global. Kehancuran lingkungan akibat kerakusan manusia menjadi keprihatinan dunia dan bisa menjadi krisis ekologi. Paus juga menyerukan pertobatan ekologi atas kerakusan dan keserakahan manusia yang menghancurkan bumi dan sumber daya hayati.
Mahatma Gandhi pernah mengatakan, dunia cukup untuk semua orang, tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Keserakahan orang untuk menghancurkan alam, menambang secara membabi buta, jelas akan menghancurkan ekologi dan akan menjadi bencana masa depan
Mahatma Gandhi pernah mengatakan, dunia cukup untuk semua orang, tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Keserakahan orang untuk menghancurkan alam, menambang secara membabi buta, jelas akan menghancurkan ekologi dan akan menjadi bencana masa depan. Kerakusan orang membuat perut bumi diaduk-aduk, hulu sungai dibabat. Bumi menjadi lautan sampah plastik.
Saya teringat ketika bercakap dengan Letjen TNI Doni Monardo, jenderal yang peduli lingkungan hidup dan memimpin pembersihan Sungai Citarum saat menjadi Panglima Kodam Siliwangi. Dia mengatakan, democracy, kedaulatan rakyat, saatnya diimbangi dengan ecocracy, kedaulatan lingkungan.
Drama politik yang mengejar hasil langsung, yang didukung perilaku penduduk konsumeristis, memaksa untuk menghasilkan pertumbuhan jangka pendek. ”Cara berpikir kekuasaan yang melihat jarak dekat memperlambat pencantuman agenda lingkungan yang berwawasan ke depan dalam agenda publik pemerintah. Kita lupa bahwa waktu lebih besar daripada ruang. Kebesaran politik terungkap ketika di masa yang sulit, orang bekerja berdasarkan prinsip utama dan memikirkan kesejahteraan umum jangka panjang. Sangat sulit bagi kekuasaan politik untuk mengemban kewajiban ini untuk pengembangan bangsa,” demikian Paus dalam ensikliknya.
Ketergesa-gesaan mengesahkan RUU Minerba semoga bukan hanya demi memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang, melainkan betul-betul demi politik luhur keberlanjutan masa depan bumi. Kalau tidak, bumi akan kian hancur.