Dimensi Politik UU Sapu Jagat
Terkait isu UU Sapu Jagat pemangku kepentingan lain juga harus diperhatikan suara dan aspirasinya. Mereka adalah kelompok-kelompok kepentingan yang bisa menjelma menjadi kelompok-kelompok penekan (pressure groups).
Politik meniscayakan kontestasi gagasan dan kepentingan antar-aktor pemangku kepentingan. Manakala fokus utama UU Sapu Jagat untuk melejitkan pertumbuhan investasi guna mempermantap pertumbuhan ekonomi, maka gagasan utamanya beririsan dengan studi pembangunan politik (political development).
Pembangunan politik tak semata terfokus pada strategi pembangunan, tetapi juga meniscayakan analisis kekuatan-kekuatan politik secara luas. Dalam konteks inilah dimensi politik UU Sapu Jagat bertaut antara gagasan, kontestasi dan titik-titik temunya.
Tinjauan strategi atau politik pembangunan dan analisis kontestasi antaraktor yang berkepentingan dalam sistem politik yang demokratis, karenanya menjadi hal yang tak terelakkan. Dengan kata lain, yang perlu diperhatikan gagasan dan kontestasi kepentingan antar-aktornya. Jangan lupa pula refleksi jangka panjang dan perspektif perbandingannya dengan pengalaman negara lain.
Pembangunan politik tak semata terfokus pada strategi pembangunan, tetapi juga meniscayakan analisis kekuatan-kekuatan politik secara luas.
Sudah jelas secara gagasan, UU Sapu Jagat dimaksudkan agar Indonesia bisa melejit pertumbuhan ekonominya sedemikian rupa, sehingga tidak terjebak dalam labirin perangkap pendapatan menengah (middle income trap). Niat mulia ini berkonteks ekonomi politik.
Semua sepakat, Indonesia yang belakangan ini oleh Amerika Serikat dicoret dari daftar negara berkembang, harus mampu mengelak dari perangkap pendapatan menengah. Inilah yang memicu pemerintah mencari cara terbaik agar kebijakan perekonomiannya efektif.
Manakala ditarik ke isu pembangunan politik secara luas, ia mengingatkan pada rumus trilogi pembangunan yang populer semasa Orde Baru. Pesannya, agar pertumbuhan ekonomi melejit tinggi, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dilakukan, fondasinya stabilitas nasional yang dinamis.
Rumus itu tidak terlampau salah, kendati untuk ukuran zaman kita, stabilitas politik identik demokrasi. Negara tidak boleh lagi bertindak semaunya yang justru mencerminkan kecenderungan tindakan otoriter.
Dalam lingkup politik pembangunan, gagasan dan langkah yang dilakukan pemerintah mendorong terbentuknya UU Sapu Jagat, dalam derajat tertentu dapat dipahami. Ikhtiar untuk mengajukan sejumlah RUU Sapu Jagat merupakan langkah politik yang tidak salah. Ini karena sistem politik di Indonesia memungkinkan itu.
Bahwa suatu produk perundang-undangan harus melalui proses pembahasannya dengan lembaga legislatif. Baik pemerintah maupun para anggota legislatif merupakan aktor-aktor formal penentuan produk legislasi. Dan dapat dipahami pula mengapa pemerintah optimistis, karena peta kepolitikan lembaga legislatif pasca-Pemilu 2019, kondusif. Dari sisi dukungan kepolitikan formal, dapat dikatakan pemerintah sedang berada “di atas angin”.
Baik pemerintah maupun para anggota legislatif merupakan aktor-aktor formal penentuan produk legislasi.
Kontestasi kepentingan
Namun demikian, masalah ini tentu tidak sekadar bertumpu pada pemerintah dan lembaga legislatif semata-mata. Pemangku kepentingan lain juga harus diperhatikan suara dan aspirasinya. Mereka tergolong ke kategori kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang dalam isu UU Sapu Jagat ini bisa menjelma menjadi kelompok-kelompok penekan (pressure groups) yang tidak kalah ramai ketika menuntutkan aspirasinya, dibandingkan dengan apa yang terjadi di lembaga legislatif.
Maka, dimensi politik proses pembahasan hingga pengesahan RUU Sapu Jagat akan melibatkan pula kontestasi antarkelompok kepentingan, yang satu sama lain memperkuat tekanan-tekanan kepentingannya. Misalnya dalam konteks RUU Cipta Kerja, ragam kelompok kepentingan telah mengemuka, di mana satu sama lain memiliki titik tekan aspirasi yang berbeda.
Yang berkepentingan tentu tidak semata-mata diametral kelompok pengusaha versus buruh, tetapi juga irisan-irisannya yang luas. Dalam skala tertentu, resistensi pemerintah daerah yang kewenangannya tengah “ditertibkan” oleh pemerintah pusat dalam hal kebijakan investasi, juga perlu dihitung. Belum lagi aspirasi-aspirasi lain, misalnya antara lain dari kelompok pelestari lingkungan hidup, pegiat hak asasi manusia, hingga pelaku usaha kecil menengah.
Dalam konteks inilah, pemerintah dan lembaga legislatif tidak boleh dikesankan eksklusif atau menutup diri. Pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang mendukungnya di lembaga legislatif, harus sabar dan rajin berdialog dalam suasana yang demokratis.
Membuat kebijakan setingkat perundang-undangan dalam iklim kepolitikan demokratis, tentulah berbeda dibanding, katakan, semasa semiotoritarian Orde Baru. Sikap dan tindakan semua pihak, terutama para aktor formal penentu kebijakan, harus terbingkai dalam paradigma demokrasi deliberatif atau permusyawaratan yang baik dan bermartabat.
Mengingat tulisan ini menilik dimensi politik, maka aspek dinamika politik jangka menengah dan panjang juga perlu menjadi perhatian. Politik bukanlah hal yang statis, melainkan dinamis (owah gingsir). Pemerintah yang sekarang mendapat amanah, yakni yang terpilih melalui Pilpres 2019, periodisasinya berakhir pada 2024. Dan, kelak akan ada rezim pemerintahan baru.
Pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang mendukungnya di lembaga legislatif, harus sabar dan rajin berdialog dalam suasana yang demokratis.
Keberhasilan kebijakan ekonomi politik yang didukung UU Sapu Jagat, tentu akan menjadi warisan penting bagi pemerintahan selanjutnya. Namun, apabila "sapu jagatisasi" perundang-undangan kali ini tak optimal, meninggalkan ragam ketidakpuasan dari ragam spektrum kelompok kepentingan, maka tentu bisa jadi beban.
Kepentingan nasional
Upaya terobosan di ranah hukum melalui UU Sapu Jagat yang dilakukan Presiden Jokowi, tentu tak lepas dari konteks eksperimen yang tak berdiri sendiri. Ia terkait pengelolaan beragam kepentingan pemangku kepentingan. Politik, apalagi yang terkait dengan kebijakan bidang ekonomi, memang meniscayakan eksperimen-eksperimen yang seringkali tidak mudah (vivere pericoloso).
Ikhtiar pelejitan pertumbuhan ekonomi di era demokrasi dan pasar bebas dewasa ini, adakalanya jauh lebih sulit ketimbang semasa iklim demokrasi yang disurutkan pada masa lampau. Ragam asumsi yang dibangun, bisa ambyar karena faktor perkembangan eksternal, yakni situasi perekonomian global dan regional.
Karenanya, dimensi politik juga erat kaitannya dengan perkembangan politik dan perekonomian negara-negara lain. Secara umum, kita bisa belajar dari mewabahnya virus korona yang menghantam perekonomian China, serta hal-hal lain dalam skala global dan regional, ketika RUU Sapu Jagat tengah dibahas di lembaga legislatif.
Kita juga harus mampu menimbang skala kepentingan aktor-aktor luar negeri, apakah negara atau non-negara. "Sapu jagatisasi" perundang-undangan tentu tak boleh mengorbankan kepentingan nasional yang lebih luas, hanya karena untuk mengejar pertumbuhan investasi.
Ujung dari tulisan ini ialah harapan agar politik hukum sapu jagat dalam rangka melejitkan pertumbuhan investasi ini, benar-benar selaras dengan kepentingan nasional. Niat baik pemerintah ini, jangan sampai malah kelak jadi bumerang, justru karena meninggalkan potensi tabrakan kepentingan antaraktor yang tak terkelola dan meningginya potensi disintegrasi.
(M Alfan Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Pengurus Pusat HIPIIS)