Mantra Penjinak Hujan
Manusia dan dunia menjadi sepasang subyek, yang sering kali merintis jalan terjal paradoksal. Mantra penjinak hujan, tak lain adalah bentuk mediasi manusia dan alam semesta, yang kian menguatkan keberadaan keduanya.
Manusia selalu menempatkan dirinya dalam ketegangan paradoksal. Hujan bisa berarti dua sisi. Bagi warga Jakarta, yang dalam dua bulan terakhir selalu didera banjir, hujan berarti bencana. Mendung di langit menjadi isyarat ketakutan, bahkan tak jarang memicu kepanikan seisi kota. Sementara bagi orang-orang Alor, hujan selalu berarti berkah semesta. Di pulau yang termasuk gugusan kepulauan Nusa Tenggara ini, hujan hanya turun dengan intensitas kecil di bulan Desember–Maret.
Karakter paradoksal itu pulalah yang mendorong manusia untuk selalu tak berhenti bertanya dengan segala keterbatasannya. Dalam serba keterbatasannya itu, manusia ingin menguasai alam semesta yang tiada batas.
Masyarakat agraris merespons alam dengan menggunakan kekuatan batin untuk menjinakkan hujan. Kata menjinakkan bisa berarti menolak kehadiran hujan ataupun memohon kehadirannya. Dalam menjalani laku penjinakan hujan, manusia ”agraris” menggunakan ritual sebagai medium menghubungkan diri dengan Tuhan dan kemudian ”menyampaikan” keinginannya.
Di Pura Penataran Sasih Desa Pejeng, Bali, tersimpan sebuah benda kuno bernama nekara berukuran besar. Benda ini wujudnya menyerupai dandang yang terbuat dari perunggu. Karena ditemukan di Pejeng, lewat buku berjudul D’Amboinsche Rariteitkamer, seorang naturalis Belanda abad ke-17, Rumphius, menyebutnya sebagai ”Bulan dari Pejeng”.
Penyebutan itu berkaitan dengan legenda masyarakat Pejeng, bahwa nekara itu bagian dari bulan yang jatuh di desa mereka. Konon, dulu ada beberapa bulan mengambang di langit. Karena ulah seseorang, sepotong bulan jatuh di Pejeng dengan tetap memancarkan sinarnya. Bulan itulah yang kemudian oleh masyarakat setempat disimpan di sebuah pura.
Menurut catatan arkeologis, nekara merupakan benda ritual yang dilahirkan 2.000 tahun lalu ketika dunia memasuki zaman perunggu. Nekara difungsikan sebagai genderang pemanggil hujan. Oleh sebab itu, hampir selalu ditemukan di dekat sumber mata air seperti danau atau tepian sungai. Masyarakat Pejeng menempatkan ”Bulan dari Pejeng” di Pura Panataran Sasih, sebagai bagian penghormatan mereka terhadap benda-benda ritual yang disakralkan. Benda berukuran tinggi 186,5 sentimeter dan garis tengah bidang pukul 160 sentimeter ini sejak November 2019 telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
”Pejeng dari dulu dikenal sebagai pusat pemerintahan Bali Kuno,” kata K Landras Syaelendra, penulis yang berasal dari Pejeng. Di daerah ini, banyak ditemukan benda-benda arkeologis seperti arca-arca kuno serta candi-candi peninggalan masa lalu. Bahkan, arkeolog besar Profesor Soejono dan Soekanto Atmojo kemudian menggagas pendirian Museum Gedong Arca di Desa Pejeng sejak tahun 1950. Museum ini menyimpan peninggalan-peninggalan arkeologis sejak zaman batu, zaman perunggu, sampai masa sejarah abad ke-8 sampai ke-15.
Baca juga: Oleander Mekar di Musim Wabah
Sampai kini kita juga mendapati nekara-nekara yang dipergunakan sebagai belis atau mahar perkawinan dalam tradisi masyarakat Alor. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai moko. Dalam upacara adat perkawinan, seorang lelaki harus menyerahkan moko pusaka kepada pihak perempuan sebagai belis. Lantaran moko adalah benda pusaka yang langka, maka harganya konon bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Tanpa moko, perkawinan dalam adat Alor tidak akan pernah sah. Walau belakangan terdapat usaha-usaha modernisasi terhadap belis, tradisi ini masih terus dianut sampai kini.
Moko, menurut antropolog Cora Dubois, berfungsi sebagai penanda status sosial keluarga di Alor. Semakin banyak memiliki moko, status sosial keluarga bersangkutan semakin tinggi. Selain itu, pada zaman dulu, moko digunakan sebagai alat tukar perdagangan. Para pedagang China membawa moko dari Dongson, Vietnam utara, untuk ditukar dengan komoditas lokal berupa buah kenari. Tentu saja fungsi utamanya, sebagaimana juga nekara, dipergunakan sebagai genderang dalam ritual pemanggil hujan. Kini di Museum Daerah 1.000 Moko di Kota Kalahabi, Alor, kita bisa melihat berbagai benda arkeologis yang terkait dengan tradisi moko.
Dalam rangka ”menundukkan” alam, manusia juga berusaha menguasai mantra-mantra penjinak hujan alias pawang hujan. Dalam tradisi Bali dikenal istilah ”tukang terang”, ia yang menjalankan ritual sebagai pengusir hujan. Tidak sembarangan orang yang bisa melakukan ritual penerang. Biasanya mereka berasal dari orang-orang yang disebut balian (dukun), yang memiliki kekuatan batin untuk melakukan komunikasi dengan alam semesta.
Selain menggunakan mantra-mantra yang biasanya dirahasiakan, seorang balian juga membutuhkan sarana ritual yang secara keseluruhan disebut banten. Salah satu sarana yang paling populer berupa sapu lidi yang diberi cabai merah pada bagian ujungnya. ”Sebenarnya intinya untuk mengundang kehadiran Ida Bethara Surya sebagai pemberi terang dunia,” kata Ngurah Artha, salah satu juru terang di Denpasar.
Sebagai juru terang Ngurah tak sembarangan menerima order. Ia hanya akan bersedia jikalau ”penerangan” itu digunakan untuk melaksanakan yadnya, seperti upacara-upacara di pura atau ngaben. ”Kalau digunakan untuk tujuan profan, seperti menggelar konser musik, saya menolak,” kata Ngurah. Penolakannya itu, kata Ngurah, sebagai bagian dari upayanya untuk tidak melawan alam. ”Saya lebih baik disuruh mendatangkan hujan daripada mengusir hujan,” katanya.
Lewat peneliti budaya I Wayan Westa, saya berhasil mendapatkan salah satu mantra penerang yang terdapat dalam buku Nerang Ujan karya I Nyoman Gede Bandesa K Tonjaya. Mantra itu berbunyi begini:
//Ah, Sira megha ngemu udan/Aranira Wisnu Komara/Makesiar ring nyalia/Dumu nging gua galang/Sanghyang Reka, Seleng, Meleng, Surya Candra/Siuh-ih-lap-ser…//
Sebagai mantra, kalimat-kalimat itu tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa lain karena akan mengurangi daya magisnya. Mantra ”sakti” ini, intinya memohon ke hadapan Dewa Surya Candra (Dewa Matahari dan Bulan) agar awan-awan yang menyimpan mendung dipindahkan angin ke lokasi yang jauh.
Pada diri Ngurah Artha sebenarnya terdapat peran yang ambigu. Satu sisi ia menjadi balian penerang, tetapi pada sisi lain ia menjalani peran bersama-sama dengan petani memohon hujan. Di situlah manusia selalu menjalani perannya secara paradoks.
Dalam perkembangan sains dan teknologi modern, peran ini dijalankan oleh lembaga seperti BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Di musim seperti sekarang, lembaga ini telah melakukan proses cloud seeding atau penyamaian awan dengan garam atau natrium klorida (NaCl). Penyemaian yang telah dilakukan di wilayah Jabodetabek itu diperlukan untuk mengurangi curah hujan di Jakarta dan sekitarnya.
Baca juga: Kelicikan sebagai Parasit
Hasilnya cukup mengejutkan. Setelah banjir mengepung Jakarta, Bekasi, dan Tangerang pada 1 Januari 2020, curah hujan seolah berkurang secara drastis. Menurut data BBPT, dengan penyemaian awan hujan bisa dikurangi sampai 44 persen, bahkan ”dipindahkan” dari langit Jakarta ke Selat Sunda.
Sebaliknya, ketika terjadi musim kemarau panjang yang dibarengi kebakaran hutan di daerah Sumatera dan Kalimantan, BPPT melakukan penaburan kapur tohor aktif (CaO) di awan sebagai bahan kimia perangsang berkumpulnya awan hujan. Beberapa kali upaya itu berhasil dengan baik sehingga turut andil memadamkan api di daerah sekitar Palembang, Sumatera Selatan.
Sesungguhnya sejak kehadiran manusia di dunia, ia sudah menjadi paradoks. Kasus hujan dan kemarau hanya satu sisi paling ekstrem dalam upaya manusia menjalin ”komunikasi” dan kemudian ”penaklukan” manusia terhadap kecenderungan alam. Sisi paradoks itu, dalam bahasa universal, sesungguhnya adalah upaya melakukan intervensi terhadap siklus alam semesta. Bukan tidak mungkin intervensi akan berakibat pada perubahan siklus alam yang mengakibatkan degradasi lingkungan.
Sejak masa agraris, zaman industri, serta revolusi industri 4.0 sekarang ini, manusia tidak berhenti berupaya menaklukkan alam. Penaklukan sebenarnya telah menjadi naluri paling purba yang dirangsang oleh keinginan untuk survive di dunia. Bahkan ketika agama-agama diturunkan ke bumi, manusia tetap ingin survive baik di alam marcapada (dunia nyata) maupun mayapada (dunia maya). Pada beberapa agama bahkan dunia maya yang direpresentasikan dengan nirwana jauh lebih penting ketimbang hidup di marcapada.
Sejak masa klasik yang ditandai dengan kehidupan dalam dunia wayang, manusia sudah merindukan surga sebagai target utama dari hidupnya. Tak segan-segan tokoh seperti Bima dan Semar (Tualen), sebagai manusia matah (mentah) secara fisik bisa pergi ke surga. Di surga mereka bahkan bisa membuat tawar-menawar dengan para dewa untuk tujuan tertentu seperti kepantasannya berada di surga atau neraka.
Secara eksistensial kecenderungan sifat-sifat paradoksal dari manusia sebenarnya semakin membuktikan bahwa keberadaannya dibutuhkan di dunia. Tanpa kehadiran manusia, yang memiliki rasa ingin tahu besar, dunia juga tidak akan diketahui keberadaannya. Maka, manusia dan dunia menjadi sepasang subyek, yang sering kali merintis jalan-jalan terjal yang paradoksal. Mantra-mantra seperti penjinak hujan tadi, tak lain adalah bentuk-bentuk mediasi antara manusia dan alam semesta, yang justru semakin menguatkan keberadaan keduanya.