Tensi Tinggi di ZEE Natuna
Terkait dengan irisan sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang diklaim China di wilayah ZEE di Laut Natuna Utara, bermakna "zero" bagi Indonesia.
Kedaulatan Indonesia di laut teritorial Natuna aman, sementara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna mengalami tensi tinggi.
Dua minggu terakhir, belahan Kepulauan Riau diwarnai maraknya kapal-kapal asing yang hadir di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna. Beberapa kapal nelayan China berkawal coast guard melakukan pencurian ikan di laut ini.
Selang beberapa hari terulang pelanggaran di laut Natuna oleh tiga kapal nelayan Vietnam melakukan hal serupa. Tak berapa lama datang lagi 49 kapal nelayan China dengan enam coast guard di ZEE ini yang berhasil diusir kapal-kapal TNI AL.
Selama ini, ZEE di Natuna utara tak lepas dari incaran nelayan asing, sehingga pencurian ikan bukanlah hal baru.
ZEE di Natuna
Masih terekam kuat ketika China protes berat saat Kemenko Kemaritiman merilis peta baru NKRI, termasuk penggantian nama Laut China Selatan (LCS) di Natuna menjadi Laut Natuna Utara (14/7/2017). Penggantian nama laut ini resmi dimaknai sebagai penegasan sikap RI di ZEE yang berbatasan dengan LCS.
Masih terekam kuat ketika China protes berat saat Kemenko Kemaritiman merilis peta baru NKRI, termasuk penggantian nama Laut China Selatan (LCS) di Natuna menjadi Laut Natuna Utara (14/7/2017).
ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara ini memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu berdasarkan UNCLOS 1982 dan juga UU No 5 Tahun 1983. Indonesia meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) tahun 1985, dan ini berarti Indonesia tunduk dengan semua klausul yang ada di dalamnya.
Klausul yang menjelaskan ketentuan ZEE di konvensi ini tercantum lengkap di Bab V Pasal 55–75 (dokumen UNCLOS 1982).
Definisi ZEE di Bab V ”Zona Ekonomi Eksklusif” Pasal 55 tentang Rezim Hukum Khusus Zona Ekonomi Eksklusif sebagai berikut: ”Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini”.
Lalu tarikan garis ZEE diukur sepanjang 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut teritorial yang diukur (Pasal 57).
Perihal Hak-Hak dan Kewajiban Negara lain di ZEE dicantumkan panjang di Pasal 58. Di Poin 1 Pasal 58 ditulis “Di zona ekonomi eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini, kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini.”
Poin ini mengizinkan negara lain berlayar, melintas di udara, dan melakukan kegiatan asalkan sesuai dengan dan menaati aturan hukum internasional serta sepengetahuan/seizin dari negara pantai (seperti Indonesia).
Penting juga menyimak poin 3 dari pasal ini “Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini di zona ekonomi eksklusif, Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Bab ini.”
Pasal ini mendukung Indonesia sebagai negara pantai menjalankan hak berdaulatnya, yang harus juga ditaati negara lain yang meratifikasinya.
Indonesia juga berlandaskan UU No 5/1983 tentang ZEEI. Isinya mencakup aturan-aturan hukum dan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diikuti. UU dengan inti penjelasan ditulis di Bab 2 (ZEEI) dan Bab 4 (Kegiatan-Kegiatan di ZEEI).
Bab 2 berisi dorongan persetujuan antara RI dan negara lain terkait batas ZEE yang terus diupayakan, kecuali sudah tercapai kesepakatan.
Bab 4 tentang semua aktivitas di ZEEI harus mengikuti aturan dan memperoleh izin dari Pemerintah RI. Baik UNCLOS maupun UU No 5/1983 menguatkan kehadiran Indonesia secara legal di ZEE termasuk di Natuna.
Apa makna ZEE bagi Indonesia? RI sebagai negara pantai memiliki hak berdaulat untuk mengelola sumber daya alam di ZEE dan landas kontinen (di atas, di dalam, dan di bawah dasar laut).
Laut ZEE memang bukan laut di bawah kedaulatan RI seperti halnya laut teritorial. Namun RI memiliki hak berdaulat terhadapnya untuk mengelola, memanfaatkan, dan melindungi kekayaan hayati maupun non hayati yang terkandung di ZEE bagi kesejahteraan rakyat.
Indonesia memiliki kedaulatan penuh di laut teritorial (12 mil), sedangkan di ZEE (200 mil) memiliki hak berdaulat. Kedaulatan dan hak berdaulat inilah yang harus dipahami oleh masyarakat bahwa dua hal ini memiliki pengertian berbeda.
Indonesia memiliki kedaulatan penuh di laut teritorial (12 mil), sedangkan di ZEE (200 mil) memiliki hak berdaulat.
ZEE Indonesia adalah hasil upaya perjuangan para pakar hukum laut internasional kita. Apa yang sudah diperjuangkan mereka di masa lalu (dimotori Mochtar Kusumaatmadja dan Hasjim Djalal) atas konsep Negara Kepulauan (laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen), sehingga diterima dalam UNCLOS 1982 merupakan sebuah perjuangan panjang, gigih, dan tak kenal mundur dalam setiap sidang di forum internasional. Lalu tinggal kita yang harus pertahankan, kelola dan manfaatkan ini semua demi kesejahteraan rakyat.
Klaim China
Terkait dengan irisan sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang diklaim China di wilayah ZEE di Laut Natuna Utara, bermakna "zero" bagi Indonesia. Mengapa?
Pertama, Indonesia bukan menjadi pihak yang berkonflik (claimant states) di LCS, seperti empat negara ASEAN lain. Karenanya, Indonesia memang tak perlu melakukan tuntutan, karena hak mengelola di ZEE Indonesia ini sudah sesuai dengan aspek hukum laut (baik UNCLOS 82 maupun UU No 5/1983).
Kedua, wilayah irisan China itu bersifat lemah dari sisi legal. Betul, China sudah meratifikasi UNCLOS 1982, namun ini dirasa China tak cukup untuk melandasi klaim atas historic rights dan rezim bagi gugus kepulauan yang diklaimnya (di LCS) yang jauh dari daratan China. Sehingga, China merujuk pada General International Law untuk menaungi klaim historic right.
Pakar hukum laut internasional yang juga mantan Ambassador at large (duta besar keliling) Prof Hasjim Djalal, justru menanyakan pada pihak China terkait klaim nine dash line, apakah itu sebagai klaim atas laut teritorial atau klaim atas historic right, dan sebagainya. Namun, sejauh ini jawaban yang diperoleh tak pernah jelas (dikemukakan pada diskusi CDCC 13/1/2020 dan artikel FPCI 6/1/2020).
Dijelaskan lebih lanjut, jika China menuntut itu sebagai laut teritorial harus pula dicantumkan titik-titik koordinatnya. Tentang ini juga tidak pernah diperoleh jawaban jelas.
Terkait dengan irisan sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang diklaim China di wilayah ZEE di Laut Natuna Utara, bermakna "zero" bagi Indonesia.
Ketiga, lintas kapal nelayan China yang dikawal coast guard justru jadi bukti bahwa kapal nelayan ini ‘berniat’ menangkap ikan di ZEE Indonesia. Apakah memang semua kapal nelayan China yang melaut di LCS selalu di kawal coast guard? Jika tidak, lalu mengapa yang melintas di ZEE Natuna dikawal coast guard? Sebuah pengawalan untuk kegiatan mencuri ikan?
Perlu diingat, November-Januari adalah musim angin utara, gelombang laut bisa mencapai ketinggian 4-6 meter. Tentu saja nelayan di Natuna mengurangi aktivitas melaut.
Musim ini jadi kesempatan nelayan asing dengan kapal bertonase tinggi menyusup di ZEE Natuna. Namun kondisi ini tak menyimpulkan bahwa nelayan Natuna tak hadir, tetapi sebaliknya mereka pantang surut menembus tingginya ombak.
Negara memang harus senantiasa hadir di ZEE sekaligus memberi rasa aman bagi nelayan lokal dari kejaran kapal-kapal asing yang menyusup.
Ke depan, perkuat kehadiran nelayan-nelayan lokal dengan kapal-kapal bertonase lebih tinggi, karena ZEE di Laut Natuna Utara akan selalu menjadi zona bertensi tinggi selama masih ada pihak-pihak yang abai dengan UNCLOS’82. Bertensi tinggi karena geografis Natuna bersebelahan dengan lokus sengketa Laut China Selatan.
Negara memang harus senantiasa hadir di ZEE sekaligus memberi rasa aman bagi nelayan lokal dari kejaran kapal-kapal asing yang menyusup.
(Awani Irewati Peneliti Ahli Utama, Kajian Perbatasan Antarnegara di P2P LIPI)