Harmonisasi harus dilakukan terhadap lima UU terkait kebijakan otonomi daerah. Pemerintah dan DPR harus duduk bersama dan memahami roh setiap UU agar tidak salah mengisinya sehingga keputusan tidak keliru.
Oleh
Irfan Ridwan Maksum
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bersama pejabat Kementrian Dalam Negeri menyimak pembicaraan anggota Komisi II DPR saat rapat kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019). Rapat kerja perdana tersebut antara lain membahas rencana strategis Kementerian Dalam Negeri 2020-2024.
Presiden Jokowi meminta Mendagri Tito Karnavian menata hubungan pusat dan daerah.
Permintaan itu menyiratkan terdapat sejumlah soal dalam hubungan pusat-daerah di dalam NKRI. Menata hubungan pusat-daerah di Indonesia tentu dapat berbau filosofis-strategis, yang tak terlepas dari UUD (Pasal 18), dan organisasional kelembagaan yang tersebar di berbagai produk peraturan perundangan.
Setidaknya ada lima UU terkait pelaksanaan kebijakan otonomi: UU Pemda, UU Desa, UU Pilkada, UU Hubungan Keuangan Pusat Daerah (HKPD), dan UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Idealnya, kelima UU itu berjalan harmonis, kompak, dan sinergis agar masing-masing dapat berjalan efektif, terutama pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sebagai ujung tombak jalannya pemerintahan RI. Jika tidak, dapat dipastikan keefektifan pemerintahan terganggu.
Kelima UU tadi, dari kacamata kepentingan jalannya otda, dapat diringkas ke tiga arena: UU mengenai pemda, UU mengenai keuangan daerah, dan UU mengenai SDM daerah. Khusus mengenai pemda terdapat tiga UU berkaitan: UU Pemda, UU Desa, dan UU Pilkada. Keuangan daerah diatur di UU HKPD; SDM daerah di dalam UU ASN.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Rapat Dengar Pendapat Komite I DPD dengan sejumlah pakar otonomi daerah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Pengamatan akademis: ketiga lapangan masing-masing berparadigma. Dalam pemerintahan daerah, bangsa kita telah lama mengadopsi paradigma sistem prefektur terintegrasi. Sepanjang masa Hindia Belanda sistem ini dianut, dilanjutkan di masa pendudukan Jepang. Sistem ini tidak dianut di masa kemerdekaan (hanya di masa berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1957 yang diganti dengan UU No 18/1965).
Dalam pemerintahan daerah, bangsa kita telah lama mengadopsi paradigma sistem prefektur terintegrasi.
Saat itu, Indonesia juga menganut pilkada langsung yang menyulut pecah kongsi Bung Hatta dengan Bung Karno. Di luar masa itu, Indonesia menganut sistem prefektur. Sistem ini mengenal adanya wakil pemerintah.
Di dunia, sistem prefektur tidak dibarengi pilkada langsung. Pilkada langsung ataupun tak langsung, jika dipakai, untuk memastikan kepala daerah diterima masyarakat atau tidak, di samping harus penuhi kriteria lain untuk menjadi kepala daerah terpilih.
Konflik paradigma
Dari sudut pandang ini, konflik antara UU Pemda dan UU Pilkada terjadi. Secara akademis, konflik itu menyulut kegamangan pemerintahan di level peraturan perundangan dan di level praksis.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan dan membuka Rapat Koordinasi Nasional Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah dan Silaturahmi Nasional Bank Wakaf Mikro di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Pada sambutannya Presiden antara lain meminta pemerintah daerah membantu UMKM untuk bisa mengakses sektor keuangan seperti mendapatkan Kredit Usaha Rakyat.
Kegamangan ini tidak dapat membawa sistem efektif. Negara yang tidak menjalankan sistem prefektur pun tidak semua mengadopsi pilkada langsung sebagai satu-satunya kriteria penetapan kepala daerah terpilih.
Terkait desa, pemda merupakan bangun formal struktur negara yang jelas terakomodasi secara organisatoris. Desa dalam konsep the Founding Fathers adalah otonomi informal (kaki). Materi UU Desa menyistematiskan desa dalam struktur negara melalui sekretaris desa.
Desa dalam konsep the Founding Fathers adalah otonomi informal (kaki).
Perbenturan antara UU Pemda dan UU Desa tidak terasa di level paradigma, tetapi membawa struktur formal amat rumit, bahkan terbebani. Perbenturan yang terjadi adalah inkonsistensi pandangan mengenai desa dengan apa yang tertuang di kedua UU. Ini pun tak kalah rumit, membuat ranah praksis kelak bermasalah.
Perbenturan paradigmatis berikut adalah dengan UU ASN. Di dunia ini pengelolaan SDM pusat dan daerah selalu memperhatikan kotak besar organ negara yang terpisah karena dianutnya desentralisasi.
Kotak organ negara yang diperhatikan adalah adanya organ pemegang political authority. SDM negara terpisah jadi dua: lokal dan nasional jika terdapat desentralisasi. Akibatnya, terdapat tiga sistem besar paradigmatis pengelolaan SDM daerah.
Pertama, terpisah, jika kekuasaan penuh pengelolaan SDM dari A sampai Z ada pada daerah otonom. Pusat membuat code of conduct untuk dipatuhi. Pengawasan terhadap pelaksanaan code of conduct juga oleh elemen pusat.
Dalam sistem itu pegawai daerah tidak diperkenankan pindah antardaerah, apalagi menjadi pegawai pusat. Tidak ada unit di pusat yang mengelola manajemen teknis SDM daerah.
Akibatnya, terdapat tiga sistem besar paradigmatis pengelolaan SDM daerah.
Semua urusan manajemen SDM diatur dan diurus daerah otonom. Manajemen SDM pusat dalam sistem ini, dengan demikian, memiliki jalur tersendiri. Tampak UU ASN tak menganut sistem ini.
Urusan A ke Z dikelola unit itu, pemerintah pusat kembali membuatkan code of conduct dan pengawasannya. Pegawai pusat punya manajemen tersendiri dan badan pengelola tersendiri. Tampaknya UU ASN juga tidak menganut sistem ini.
Ketiga, sistem terintegrasi. Dalam sistem ini pegawai pusat dan pegawai daerah diatur dan diurus sebuah badan di bawah pemerintah pusat. Daerah otonom memiliki wewenang amat kecil dalam manajemen kepegawaian daerah.
Kembali UU ASN lebih condong menganut sistem ini dengan modifikasi adanya Komisi ASN dengan catatan, seolah-olah antara SDM daerah dan pusat tidak tegas. Siapa atasan manajemen SDM tidak diperhatikan.
PEMERINTAH PROVINSI BANTEN
Para aparatur sipil negara mengikuti upacara Hari Kesadaran Nasional di Serang, Banten, Senin (17/6/2019).
Sejauh mana wewenang daerah otonom? Daerah diminta membantu pengatur dan pengurus ASN di tingkat pusat walau tak melalui tugas pembantuan. Unit pengelola SDM di daerah seperti menjadi ”pesuruh”.
Unit pengelola SDM di daerah seperti menjadi ’pesuruh’.
Tak banyak diskresi daerah otonom. Dari sini dapat dikatakan, UU ASN tidak punya paradigma apa pun dari sudut kepentingan daerah otonom. Sungguh dapat merancukan otonomi daerah.
Terkait UU HKPD, dianut campuran paradigma yang menguatkan sumber keuangan sendiri dalam daerah otonom dengan paradigma yang mengandalkan kemampuan pengelolaan pelayanan publik tanpa memperhatikan sumber keuangannya dari mana.
Dibenturkan dengan UU Pemda, soalnya lebih teknis dalam jalur instrumen pemerintahan. Sepanjang instrumen yang dibuat masuk akal, ia dapat mendorong harmoni dan sinergi kedua UU.
Yang jadi soal: termuatnya sistem pembagian urusan yang mengandalkan ultra vires doctrine dalam UU Pemda. UU HKPD beraliran memungkinkan block grant, terlebih untuk praktik otonomi khusus. Kesulitan muncul mengukur kebutuhan uang daerah yang riil menuruti materi kedua UU.
Benturan terjadi di level pelaksanaan UU. Ia dapat beraroma pelanggaran hukum, sampai ketakefektifan pemerintahan yang korbannya masyarakat banyak. Benturan itu sistemis.
Harmonisasi harus dilakukan. Bukan soal bunyi pasal saja, melainkan sejak paradigma dalam kelima UU itu. Pemerintah dan DPR harus duduk bersama dan memahami roh setiap UU agar tidak salah mengisinya sehingga keputusan tidak keliru.
Harmonisasi harus dilakukan. Bukan soal bunyi pasal saja, melainkan sejak paradigma dalam kelima UU itu.
(IRFAN RIDWAN MAKSUM, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi UI; Ketua Klaster Democracy and Local Governance)