Atlet Binaraga Willi Ramadhita Disanksi Tiga Tahun karena Doping
Zat terlarang doping kembali digunakan atlet Indonesia. Zat itu terkandung dalam suplemen penurun berat badan.
Oleh
EMILIUS CAESAR ALEXEY
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seorang atlet binaraga Indonesia terjerat masalah penyalahgunaan doping dan terkena sanksi larangan berlomba selama tiga tahun. Atlet bernama Willi Ramadhita itu dilarang mengikuti lomba binaraga di tingkat apa pun, dari 19 Januari 2014 sampai 19 Januari 2017.
Ketua Umum Indonesia Anti-Doping Organization (IADO) Gatot S Dewa Broto dalam siaran pers, Jumat (5/4/2024), di Jakarta mengatakan, kasus itu bermula saat Willi mengikuti Kejuaraan Nasional Binaraga dan Fitness pada 16 Desember-17 Desember 2022. Seusai lomba, diambil sampel untuk pemeriksaan doping dan dikirim ke Laboratorium Antidoping di Bangkok.
Dari pemeriksaan sampel pertama terdapat anomali karena satu indikator (rasio T/E) memperlihatkan ada konfirmasi penyalahgunaan doping, tetapi indikator lain (hasil IRMS) menyatakan negatif. Oleh karena itu, IADO mengambil lagi sampel Willy di luar kompetisi, mengikuti rekomendasi APMU (Athlete Passport Management Unit), untuk memastikan anomali itu.
Hasilnya, pada 8 November 2023, laboratorium di Bangkok menyatakan ditemukan zat anabolic androgenic steroids (AAS), yang termasuk ke dalam kualifikasi zat terlarang di dalam Prohibited List 2023, dari sampel Willi.
Yang bersangkutan seharusnya diberi sanksi selama 4 tahun. Namun, karena mengakui perbuatannya saat persidangan, hukumannya berkurang 1 tahun.
Berdasarkan hasil itu, IADO menuntut Willi dalam persidangan pada 19 Januari 2024, yang dilakukan oleh Komite RM (Result Management). Komite RM sepenuhnya mandiri dan tidak dicampuri proses persidangan dan keputusannya oleh pimpinan IADO.
Dalam proses persidangan, Willi mengakui menggunakan zat terlarang tersebut tanpa konsultasi dengan dokter ataupun pelatihnya. Zat itu dikonsumsi untuk menurunkan berat badan karena akan mengikuti suatu pentas tertentu.
Willi sebenarnya memiliki hak untuk banding selama 21 hari sejak salinan keputusan sidang dikirimkan IADO pada 28 Februari 2024. Namun, ia tidak mengajukan banding.
”Yang bersangkutan seharusnya diberi sanksi selama 4 tahun. Namun, karena mengakui perbuatannya saat persidangan, hukumannya berkurang 1 tahun,” kata Gatot.
Setelah keputusan bersifat final, IADO memberi tahu Persatuan Binaraga dan Fitness Indonesia (PBFI) sebelum mengumumkan keputusan tersebut dan PBFI menyetujuinya. Langkah itu dilakukan sebagai bagian kehati-hatian karena menyangkut masa depan atlet yang terlibat.
Menurut Gatot, atlet Indonesia perlu lebih berhati-hati dalam mengonsumsi obat, suplemen, makanan, dan minuman olahan agar tidak terjerat kasus penyalahgunaan doping. Di sisi lain, IADO akan terus meningkatkan intensitas aktivitasnya agar potensi pelanggaran doping dapat diminimalkan.
IADO akan meningkatkan edukasi ke semua induk organisasi olahraga dan atlet. Edukasi menjadi penting karena kasus doping bisa terjadi bukan semata-mata karena penyalahgunaan zat yang terlarang, tetapi karena menolak diperiksa dan menolak memberikan sampel.
”Kasus doping bisa terjadi bukan karena telah mengonsumsi zat terlarang, tetapi bisa juga karena menolak untuk diambil sampelnya, tidak bersedia dihubungi IADO tentang status keberadaannya, dan atau memprovokasi atlet lain untuk menolak pengambilan sampel,” kata Gatot.