Kala Indonesia Tersudut Doping
Pernahkah terbayang oleh kita, jika tahun depan atlet-atlet terbaik Indonesia yang memenangi pertandingan, tapi saat pengalungan medali tak disertai lagu Indonesia Raya dan bendera yang berkibar bukan Merah-Putih?

Heryunanto
Pernahkah terbayang oleh kita, jika tahun depan atlet-atlet terbaik Indonesia seperti Eko Yuli Irawan, LM Zohri, dan sederet atlet bulutangkis yang kita miliki memenangi pertandingan, tapi saat pengalungan medali tak disertai lagu Indonesia Raya dan bendera yang berkibar bukan Merah-Putih?
Tentunya hal itu sangat mengiris hati. Lantas, mengapa hal itu bisa saja terjadi? Pada 7 Oktober 2021, Badan Anti-Doping Dunia (WADA) mengumumkan Korea Utara, Thailand dan Indonesia dinyatakan tidak patuh.
Ketidakpatuhan yang ditujukan kepada Indonesia ialah karena Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) tak menerapkan program pengujian yang efektif. Apa sebenarnya yang terjadi dan masihkah ada upaya yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Sanksi apa saja?
WADA dibentuk pada 10 November 1999 sebagai badan independen internasional dengan kegiatan utama seperti penelitian ilmiah, pengembangan kapasitas anti-doping dan melakukan monitoring terhadap The World Anti-Doping Code (The Code). Indonesia salah satu negara anggota WADA. Puncaknya, pada 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden No 101 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Menentang Doping dalam Olahraga.
Saya melihat bahwa WADA ini tampak seperti lembaga yang sangat “sepele” di mata masyarakat dan (mungkin) di mata para atlet dan negara.
Saya melihat bahwa WADA ini tampak seperti lembaga yang sangat “sepele” di mata masyarakat dan (mungkin) di mata para atlet dan negara. Padahal, eksistensi mereka (WADA) sangat memengaruhi ekosistem olahraga di suatu negara. Apabila sebuah negara terkena sanksi WADA akibat melanggar salah satu aturan yang tercantum di The Code, maka akan ada konsekuensi ringan hingga yang paling berat, terhadap negara anggota yang melanggar tersebut.
Bentuk sanksi
Merujuk Article 5.4 International Standard Testing and Investigation, setiap organisasi anti-doping yang memiliki otoritas pengujian (termasuk LADI) harus mengembangkan dan menerapkan rencana distribusi pengujian yang ‘efektif’, cerdas, dan proporsional.
Berdasarkan surat yang dikeluarkan WADA pada 15 September 2021, LADI tak menerapkan distribusi pengujian yang efektif, sehingga WADA mengonfirmasi dan memasukkan LADI ke dalam daftar tak patuh (non-compliance).
Apa konsekuensi dan sanksi akibat ketidakpatuhan tersebut? Untuk sanksi yang “berpotensi” dikenakan kepada Indonesia, kita dapat merujuk pada Article 11.1 International Standard Code Compliance (ISCC) by Signatories tentang Potential Consequences for Non-Compliance with the Code.

Ketua Umum PB PON Jawa Barat Ahmad Heryawan (tengah) bersama dengan Kepala Bidang Kesehatan PON Jabar Alma Luchyati (kanan), Sekertaris Umum PB PON Ahmad Hadadi (kedua dari kanan), Wakil Ketua Umum KONI K Inugroho (kedua dari kiri), Mantan Koordinator Result Management LADI 2012-2015 Cahyo Adi (kiri) saat pengumuman kasus doping dalam PON - Peparnas Jabar 2016 di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (9/1).
Siapa saja yang termasuk dalam kategori “signatories” (pihak-pihak yang menandatangani) di sini? Mereka adalah federasi-federasi internasional (seperti BWF, FIFA, FIBA dan lain-lain), organisasi penyelenggara ajang olahraga besar (major event organizations/MEOs), komite olimpiade nasional (seperti Komite Olimpiade Indonesia/KOI), komite paralimpiade nasional (National Paralympic Committees/NPCs), organisasi anti-doping nasional (seperti LADI) dan organisasi lainnya yang memiliki relevansi dalam dunia olahraga.
Sanksi yang mungkin saja dikenakan kepada Indonesia adalah, pertama, dilakukan penarikan pendanaan (funding) yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan tertentu atau partisipasi dalam program tertentu, oleh WADA kepada Indonesia melalui LADI.
Kedua, perwakilan dari Indonesia sebagai signatory dinyatakan tak memenuhi syarat untuk jangka waktu tertentu untuk memegang jabatan atau posisi sebagai anggota dewan/komite atau badan lain dari penandatangan lain (atau anggotanya) atau asosiasi penandatanganan.
Ketiga, negara penandatangan (dalam hal ini Indonesia) dinyatakan tak memenuhi syarat untuk menjadi tuan rumah atau tuan rumah bersama Olimpiade dan/atau Paralimpiade serta tak diberikan hak untuk menjadi tuan rumah kejuaraan dunia dan/atau ajang internasional lain.
Hal ini yang menjadi ancaman nyata bagi Indonesia, sebab dalam waktu dekat banyak sekali ajang internasional yang akan diadakan di Indonesia, seperti Piala Dunia Sepakbola U-20, FIBA World Cup 2023, Moto GP series Mandalika dan ajang lainnya.
Persoalan ini juga tengah dihadapi oleh Rusia pasca dijatuhkannya sanksi kepada mereka akibat manipulasi data doping.
Persoalan ini juga tengah dihadapi oleh Rusia pasca dijatuhkannya sanksi kepada mereka akibat manipulasi data doping. Beberapa even olahraga internasional yang sebelumnya diselenggarakan oleh Rusia digantikan oleh negara lain, sebut saja seperti 2022 World Wrestling Championships yang sebelumnya direncanakan akan digelar di Rusia dan akhirnya dipindahkan ke Serbia.
Namun masih ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan Indonesia, yakni merujuk Article 11.1.1.5 ISCC yang pada intinya menyatakan apabila negara penandatangan (Indonesia) telah ditetapkan sebagai tuan rumah/tuan rumah bersama dalam ajang internasional (sebelum sanksi dijatuhkan), maka negara itu diberikan hak untuk menilai apakah secara hukum dan praktis memungkinkan untuk mundur dan menetapkan ulang acara itu ke negara lain.
Jika secara hukum dan praktis memungkinkan, penandatangan harus melakukannya. Menafsirkan pasal ini tentu harus melalui prosedur ketat dan biasanya akan dibawa ke meja Pengadilan Arbitrase Olahraga (Court of Arbitration for Sport) untuk ditindaklanjuti.
Konsekuensi keempat yang akan didapat oleh Indonesia adalah para atlet masih dapat bertanding dalam sejumlah kejuaraan internasional namun tak diperkenankan untuk menggunakan bendera nasional dan lagu nasionalnya.
Kerugian negara
Baca juga : Indonesia Terancam Sanksi WADA, Badan Antidoping Dunia
Berkenaan dengan status tuan rumah yang sudah diberikan kepada Indonesia dalam sejumlah even internasional dalam waktu dekat, tentunya telah menelan banyak anggaran negara. Miliaran bahkan triliunan rupiah digelontorkan untuk mempersiapkan sejumlah arena pertandingan dan sarana pendukung lain (seperti jalan, pemukiman dan lainnya). Dana APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tentu banyak sekali tersedot oleh pembangunan tersebut.
Apakah negara dirugikan apabila status tuan rumah dicabut atau digantikan oleh negara lain? Sebagai anggota DPR RI yang melaksanakan fungsi pengawasan, saya melihat Indonesia tak mengalami kerugian apabila ditinjau dari sudut kemanfaatan jangka panjang.
Sanksi dari WADA memang berpotensi membuat Indonesia kehilangan status tuan rumah pada sejumlah event, namun arena yang sudah dibangun dapat digunakan berkali-kali pasca sanksi tersebut berakhir. Kerugian yang sesungguhnya kita dapatkan ialah hilangnya integritas (loss of integrity).
Pemerintah seharusnya memiliki manajemen yang baik dalam mengurus hal penting seperti ini, terlebih Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya tak pernah mendapat status non-compliance.
Dengan disematkannya status tidak patuh (non-compliance) kepada Indonesia oleh WADA, maka sejatinya kita telah kehilangan integritas dalam dunia olahraga. Beragam alasan yang terucap dari Kementerian Pemuda dan Olahraga atas keterlambatan pengiriman sampel doping sesuai test distribution planning (TDP) adalah bentuk abai dan lalai yang harus dipertanggungjawabkan.

Hinca IP Pandjaitan
Alasan-alasan seperti kondisi pandemi Covid-19, kepadatan jadwal akibat persiapan PON Papua dan proses penggantian kepengurusan LADI, tidaklah dapat diterima. Pemerintah seharusnya memiliki manajemen yang baik dalam mengurus hal penting seperti ini, terlebih Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya tak pernah mendapat status non-compliance. Presiden Jokowi bisa memanggil Menteri Pemuda dan Olahraga, LADI dan pihak terkait untuk menuntaskan masalah buruknya manajemen anti-doping di Indonesia saat ini.
Hinca IP Pandjaitan , Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Plt Ketua Umum PSSI Tahun 2016