Memprediksi 8 Besar Liga Champions dari Titik Penalti
Ada banyak pelajaran dari kemenangan penalti Arsenal dan Atletico yang bisa menjadi penentu di sisa turnamen.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Belum pernah ada adu penalti lagi di babak gugur Liga Champions sejak final antara Real Madrid dan Atletico Madrid pada 2016. Sampai akhirnya tiba babak 16 besar musim ini, sekitar sewindu berselang. Dua laga dalam dua hari beruntun harus ditentukan lewat drama adu tos-tosan setelah imbang selama 210 menit.
Bagi Jan Oblak, kiper Atletico, adu penalti tidak lebih dari sekadar permainan lotre. Semua tergantung dari keberpihakan ”dewi fortuna”. ”Jika pemain menembak sempurna, tidak mungkin dihentikan. Saya beruntung menghentikan dua tembakan hari ini,” ujarnya usai laga versus Inter Milan, Kamis (14/3/2024).
Kami sudah punya rencana untuk bergerak ke arah mana, tergantung penendang. Anda mempelajari mereka, sebaliknya juga dengan mereka.
Oblak tetap meyakini hal itu. Padahal, menurut Squawka, dia berjasa menjadikan Atletico sebagai tim pertama yang menang tiga kali adu penalti di Liga Champions. Sang kiper agaknya belajar banyak dari kekalahan di final 2016. Dia gagal mengantar Atletico juara setelah tidak mampu menghalau satu pun penalti pemain ”El Real”.
Sehari sebelum kelolosan Atletico, Arsenal terlebih dulu memastikan langkah ke perempat final lewat adu penalti. Kiper David Raya menjadi pahlawan versus Porto dengan dua penyelamatan sekaligus. Sebelum adu tos-tosan berlangsung, dia berbincang dengan pelatih kiper Inaki Cana yang memegang kertas ”contekan”.
Berbeda dengan Oblak, Raya tidak terlalu percaya ”dewi fortuna”. Baginya, semua tentang persiapan. ”Kami sudah punya rencana untuk bergerak ke arah mana, tergantung penendang. Anda mempelajari mereka, sebaliknya juga dengan mereka. Kredit pantas diberikan untuk departemen kiper. Usahanya terbayar,” jelasnya.
Oblak tidak salah, tetapi Raya juga benar. Kedua faktor tersebut, persiapan dan keberuntungan, sangat menentukan dalam adu penalti. Namun, kutipan dari publik figur dunia Oprah Winfrey mungkin lebih tepat mewakili itu, ”Keberuntungan adalah persiapan yang bertemu dengan kesempatan”.
Teori kesuksesan penalti Arsenal dan Atletico
Terlepas dari persoalan keberuntungan, Arsenal dan Atletico seperti sudah memiliki rumus rahasia untuk berjaya dalam adu tos-tosan. Mereka menggunakan strategi serupa yang cukup unik. Bisa dilihat dari pendekatan masing-masing kiper, Raya dan Oblak, yang memakai pola pergerakan sama.
Raya selalu bergerak ke sisi kiri gawang dari empat percobaan penalti lawan, sementara Oblak selalu bergerak ke arah kanan. Mereka sama-sama berhasil menebak tembakan lawan sebanyak tiga kali. Raya bahkan menepis tendangan ketiga Porto dari Marko Grujic walaupun tetap masuk ke gawang.
Raya dan Oblak seolah sudah berhitung. Mereka mungkin bisa menangkis satu atau dua tembakan jika terus bergerak ke arah sama. Para penendang biasanya lebih bervariasi dalam arah tembakan. Di sisi lain, pergerakan sama tersebut juga bisa memberikan efek psikologis untuk para penendang lawan.
Harry Kane, penyerang Bayern Muenchen, pernah berkata, para kiper saat ini jauh lebih pintar berstrategi dengan perkembangan teknologi. ”Karena itu, saya lebih memilih menendang sekencang mungkin agar bola tetap masuk walaupun arahnya tertebak,” ujar pemain yang mencatat kesuksesan penalti sampai 86 persen itu.
Di sisi lain, Arsenal dan Atletico juga menggunakan rumus yang sama untuk para penendang. Mereka, khususnya Arsenal, berupaya mengambil tendangan lebih lama setelah peluit berbunyi. Harapannya, para pemain bisa menenangkan diri terlebih dulu dan tidak menendang saat jantung sedang berdetak kencang.
Arsenal yang mencetak seluruh percobaan penalti, menurut The Athletic, mencatatkan rerata 7,9 detik dari peluit sampai tembakan. Di antara penembak Porto, hanya Pepe Aquino (9,8 detik) yang melampaui rerata itu dan mengeksekusi dengan sempurna. Sisanya di bawah 7 detik dan tembakannya terbaca oleh Raya.
Atletico mencatat rerata jarak 5,6 detik, lebih lama ketimbang Inter 4,4 detik. Menariknya, tiga pemain berjarak lebih dari 6 detik mampu mencetak gol. Empat dari enam penendang di bawah jarak 6 detik gagal mengeksekusi. Tiga di antara itu pemain Inter, termasuk Lautaro Martinez (2,8 detik) yang tendangannya jauh melampaui mistar gawang.
Trik penalti tersebut bukan hanya kebetulan. Arsenal sudah mempraktikkan itu sepanjang musim ini, termasuk ketika menang adu penalti versus Manchester City di Community Shield. Seluruh pemain mereka melakukan tembakan setidaknya 7 detik usai peluit berbunyi. Adapun 17 kali penalti Arsenal selalu masuk sejak awal musim.
Keseruan drama penalti seperti di babak 16 besar sangat mungkin menjadi penentu lagi. Mengingat, sebanyak delapan tim peserta tersisa merupakan perwakilan terbaik dari negara masing-masing. Delapan besar kali ini bisa dikatakan paling sengit dalam beberapa tahun ke belakang. Margin pembeda antartim sangat tipis.
Menariknya lagi, tim-tim tersebut memiliki para penjaga gawang dan penendang terbaik. Bayern Muenchen, misalnya, punya kiper veteran Manuel Neuer yang sudah berpengalaman menghadapi penalti. Manchester City memiliki penyerang Erling Haaland yang mencatatan kesuksesan penalti hingga 91,1 persen.
Ada pelajaran dari kemenangan Arsenal dan Atletico pada tengah pekan lalu. Mereka sama-sama berjaya di kandang, saat adu penalti dilangsungkan di sisi tribune tuan rumah, di depan pendukung mereka sendiri. Mungkin, tim yang akan menjadi tuan rumah pada laga kedua di babak berikutnya akan mendapatkan berkah serupa. (AP/REUTERS)