Gelar sarjana tidak hanya mengurangi beban Rifda, tetapi juga bisa menjawab kekhawatirannya jelang Olimpiade.
Oleh
KELVIN HIANUSA, REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
Pesenam nasional Rifda Irfanaluthfi tidak punya banyak waktu merayakan gelar sarjana yang sudah dinanti sekian lama. Hanya keesokan hari seusai acara wisuda, Kamis (7/3/2024), dia sudah kembali berlatih di GOR Radin Inten, Jakarta, untuk mempersiapkan diri ke Olimpiade Paris 2024.
Tidak tanggung-tanggung, dua sesi latihan pada pagi dan sore hari langsung dilahap pesenam 24 tahun tersebut. Rifda, didampingi yuniornya, Ameera Rahmajanni, menjalani sesi ringan itu dengan santai dan gembira. Berkali-kali dia tertawa lepas saat mengobrol bersama Ameera.
Suasana hati Rifda tampak sedang baik. Tepat sehari sebelumnya, dia baru saja merayakan raihan titel sarjana pendidikan. Dia lulus dari Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga Universitas Negeri Jakarta setelah berjuang kurang lebih enam setengah tahun terakhir.
Saat ditanya soal perasaan setelah lulus, Rifda berkata, biasa-biasa saja. Namun, dia tidak memungkiri, satu beban yang selama ini membebani pundaknya telah terangkat. Seperti diketahui, atlet asal DKI Jakarta tersebut sedang fokus mempersiapkan diri untuk tampil di Olimpiade pada Juli nanti.
Apalagi, sang pelatih, Eva Novalina Butar Butar, terus memintanya agar cepat lulus. ”Kak Eva ingin aku bisa fokus (latihan) karena kalau masih kuliah, kan, ada bimbingan dan lain-lain. Ngebantubangetsih (setelah lulus). Jadi satu hal sudah terselesaikan, lebih meringankan (beban),” ujarnya seusai latihan sore.
Rifda menjalani kuliah sejak masih di fase emas karier, tahun 2017, sampai mendekati masa pensiun. Dia menghabiskan waktu cukup lama karena harus berbagi fokus antara latihan dan kuliah, termasuk cuti untuk Asian Games Jakarta-Palembang 2018.
Tantangan terakhirnya adalah menentukan judul skripsi. Peraih emas di SEA Games 2017, 2019, dan 2021 itu berkali-kali mengganti judul. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan perjalanan karier dalam skrispinya dengan judul ”Jalan Terjal Menuju Olimpiade”.
Rifda menceritakan perjalanan panjang sejak masuk pemusatan latihan nasional pada 2015 hingga bisa lolos Olimpiade. Dia juga mewawancarai banyak orang penting dalam kariernya, seperti Eva dan kedua orangtua. Salah satu yang paling menarik, ada ritual khusus darinya yang mirip dengan kisah serial The Queen’s Gambit.
”Rifda sering dibilang bisa lebih cepat jadi gerakannya dibandingkan orang lain. Itu karena ritual visualisasi. Lagi mandi, di tempat tidur, itu selalu mikirin gerakan. Jadi memorinya terus diasah, tidak hilang. Walaupun nanti feeling gerakan hilang, tidak lama ngembaliin tekniknya,” tambahnya.
Tekad menaklukkan cedera
Skripsi itu tidak hanya mengembalikan banyak memori penting dalam kariernya, tetapi juga bisa memberikan dorongan pada Rifda agar tetap berjuang di penghujung kariernya. Dia sudah terlalu jauh untuk berhenti. Adapun dia sedang butuh motivasi lebih untuk menatap Paris walaupun sudah meraih tiket Olimpiade sejak tahun lalu.
Pada Kamis sore, Rifda belum berlatih gerakan akrobatik. Dia baru berlatih sprint dan awalan lompatan dengan menggunakan bantuan alat penyangga lutut. Sang ”ratu senam” itu masih dalam pemulihan seusai cedera lutut yang didapatkan di Kejuaraan Dunia pada Oktober 2023 saat memastikan lolos Olimpiade.
”Baru minggu ini Rifda mulai latihan sprint. Secara medis semua sudah oke. Saya bertanya ke dia, mungkin yang masih bisa jadi masalah itu traumanya. Saya mau masuk gigi 2, mulai ngegas, harus melihat kondisinya dulu. Siap atau tidak. Dokter sendiri selalu sarankan untuk fokus penguatan kaki,” kata Eva.
Meskipun demikian, menurut Eva, pemulihan Rifda sudah berjalan sesuai rencana untuk bisa tampil di Paris. ”Berharap Mei kita scan lagi, lalu langsung try out ke Kejuaraan Asia. Paling tidak di sana kami ingin melihat dia bisa tampil sejauh apa. Setelah itu lanjut training camp di Belanda untuk persiapan sebelum ke Paris,” ujarnya.
Bagi Rifda, cedera bukan hal baru. Dia sudah menghadapi berbagai macam cedera sepanjang karier. Namun, cedera kali ini ternyata cukup mengganggu pikirannya. Dia terbebani ekspektasi di Paris dalam ajang tertinggi selama kariernya. ”Apalagi, ekspektasi masyarakat kita, kan, kalau atlet Olimpiade harus emas,” tuturnya.
Suara-suara negatif tersebut berkecamuk di kepalanya. Dia ingin memberikan yang terbaik, tetapi harus terkendala dengan cedera yang cukup berat. Belum lagi, Rifda berkata, kemungkinan penampilan tersebut akan menjadi penutup kisahnya sebagai atlet nasional. Dia ingin mengakhiri perjalanan dengan berkesan.
Ngebantu banget sih (setelah lulus). Jadi satu hal sudah terselesaikan, lebih meringankan (beban).
Terlepas dari segala tantangan, Rifda berkomitmen sepenuhnya untuk turun di Paris. Dia akan berjuang semaksimal mungkin kembali ke kondisi terbaik dalam empat bulan ke depan. Saat ini, lututnya sudah tidak sakit lagi ketika latihan. Dia akan mulai berlatih gerakan akrobatik beberapa pekan ke depan.
Komitmen itu didorong dengan dukungan tim di sekelilingnya. Rifda senang karena didampingi tim yang berisikan lima orang untuk menunjang performanya. Tim pendukung terdiri dari dokter, terapis, nutrisionis, pelatih fisik, dan analis performa. Dia tidak pernah didukung tim seperti itu pada tahun-tahun sebelumnya.
Pada akhirnya, Rifda telah menyelesaikan satu per satu misi dalam hidupnya. Setelah sarjana yang diraih dengan perjuangan panjang nan berliku, dia fokus menuntaskan misi untuk menjadi pesenam pertama asal Indonesia yang tampil di Olimpiade.
Titel sarjana itu membuktikan sekali lagi, Rifda adalah sosok ambisius dan persisten yang selalu menyelesaikan apa yang telah dimulai. Adapun terdapat satu pelajaran yang selalu terbukti satu dekade ke belakang. ”Jangan bertaruh dengan Rifda. Saat diragukan, dia akan bangkit dan membuktikan sebaliknya.”