Mengapa Pemain Sepak Bola Sering Terjerat Kasus Kekerasan Seksual?
Vonis Dani Alves karena pemerkosaan memunculkan pertanyaan mengapa pesepak bola kerap terjerat kasus kekerasan seksual?
Seperti olahraga pada umumnya, sepak bola mengandung nilai-nilai kehidupan. Salah satunya ialah penghormatan terhadap sesama manusia. Namun, tak sedikit pesepak bola yang justru mencederai nilai itu, termasuk dengan melakukan pelecehan dan bahkan pemerkosaan terhadap perempuan. Mengapa hal tersebut kerap terjadi?
Dani Alves menjadi pesepak bola terbaru yang terjerat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Kantor kejaksaan Spanyol menuduh pesepak bola Brasil ini melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan berusia 23 tahun pada malam 30 Desember 2022 di klub malam Sutton, Barcelona. Bekas pemain Barcelona ini kemudian divonis hukuman penjara 4,5 tahun oleh Pengadilan Tinggi Catalunya, Kamis (22/2/2024).
Sebelumnya, pesepak bola Brasil lain, Robinho, juga terjerat kasus kekerasan seksual dan divonis sembilan tahun penjara oleh Mahkamah Agung di Roma, Italia, pada 2022. Robinho kalah banding atas kasus pemerkosaan yang terjadi pada 2013 di sebuah klub malam di Milan, Italia, saat dia masih memperkuat AC Milan.
Baca juga: Dani Alves, dari Podium Juara ke Sel Penjara
Ada pula bekas gelandang Manchester City dan Sunderland, Adam Johnson, yang menghabiskan 3 tahun penjara. Pesepak bola Inggris ini dinyatakan bersalah karena melakukan aktivitas seksual dengan seorang anak perempuan berusia 15 tahun pada Maret 2016.
Lalu, bekas striker Manchester City dan Sheffield United, Ched Evans, divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara karena memperkosa seorang perempuan berusia 19 tahun pada 2011. Namun, lewat pengadilan ulang pada Oktober 2016, vonis itu dibatalkan dan dia diputuskan tidak bersalah.
Pada 2023, pemain Manchester United, Mason Greenwood, tersandung kasus kekerasan seksual terhadap kekasihnya pada Januari 2022. Dia didakwa atas percobaan pemerkosaan, penyerangan yang menyebabkan luka fisik, serta perilaku pengendalian dan pemaksaan.
Pemain yang kini dipinjamkan ke tim Spanyol, Getafe, ini ditahan, tetapi kemudian dibebaskan dengan jaminan. Awalnya, persidangan dijadwalkan digelar 27 November 2023. Namun, kemudian Crown Prosecution Service (CPS) mengumumkan bahwa proses pidana dihentikan.
Baca juga: Robinho Batal ke Santos karena Kasus Pemerkosaan
Greenwood bebas bukan karena dinyatakan tidak bersalah, tetapi karena kasusnya tidak pernah dibawa ke pengadilan. Menurut CPS, itu terjadi antara lain karena bukti-bukti baru terungkap dan para saksi kunci menarik kembali kerja sama mereka.
”Kami punya kewajiban untuk menjaga kasus ini terus dalam peninjauan. Dalam kasus ini, kombinasi dari mundurnya saksi-saksi kunci dan materi baru yang muncul berarti tak ada lagi prospek hukuman yang realistis,” ungkap CPS seperti dikutip Sky Sports.
Setahun sebelumnya, bekas pemain Manchester City, Benjamin Mendy, didakwa total sembilan tuduhan kasus pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan. Namun, pada 2023, Mendy bebas dari semua dakwaan.
Pesepak bola elite lainnya, seperti Cristiano Ronaldo, Neymar Jr, dan Karim Benzema, juga pernah terjerat kasus kekerasan seksual. Namun, mereka kemudian bebas dari tuduhan.
Meski demikian, hal itu tak mengubah fakta bahwa pesepak bola kerap tersandung kasus kekerasan seksual. Mengapa hal itu sering terjadi?
Baca juga: Mengikis Kekerasan Seksual dengan Sepak Bola
Pesepak bola ialah bagian dari olahraga yang merupakan mikrokosmos atau dunia kecil yang menjadi cerminan masyarakat. Ini pula berarti olahraga adalah mikrokosmos pelecehan dan penyerangan seksual.
Jackson Katz, pendiri program pencegahan kekerasan jender di bidang olahraga dan militer Mentors in Violence Prevention (MVP), mengatakan, kekerasan seksual adalah masalah global yang dimiliki semua masyarakat. Dalam wawancara dengan Soccer Stories, Katz menekankan bahwa kultur sepak bola tidak kebal akan masalah tersebut.
Sarah McMahon, Associate Professor di Rutgers University School of Social Work dan Chancellor’s Scholar for Violence Prevention, pernah menulis dalam jurnalnya yang terbit pada 2007, ”Understanding Community-Specific Rape Myths”, olahraga dianggap sebagai tempat berkembang biaknya pelecehan dan penyerangan seksual. Ini tak lepas dari idealisasi maskulinitas dan kekerasan yang melekat dalam budaya olahraga.
Perbincangan mengenai kekerasan seksual oleh pesepak bola atau oleh atlet pria secara umum telah berlangsung lebih dari dua dekade. Berbagai penelitian pun telah dipublikasikan untuk mencari tahu penyebab atlet kerap terjerat kasus kekerasan seksual.
Banyak dari penulis ini, seperti Lois Bryson (1987) dan Bruce Kidd (1990), berpendapat, budaya olahraga dapat menumbuhkan kekerasan terhadap laki-laki dan perempuan lain melalui gagasan maskulinitas yang didefinisikan secara sempit yang mencakup dominasi, agresi, dan daya saing.
Baca juga: Alves dan Akhir Keglamoran PSG
Michael Messner (1994) berargumen, institusi olahraga pun menyediakan arena bagi kekerasan yang disetujui secara positif. Menurut M Nelson (1994) dan C Walsh (1991), banyak atlet diajarkan untuk menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Melanggar aturan terkadang merupakan strategi untuk menang dan pelanggaran akan mendapat tepuk tangan dari penggemar jika pelanggaran tersebut memberikan hasil yang diinginkan dan memberikan keuntungan atas lawan.
Dalam mempertimbangkan karakteristik atlet, jenis aktivitas olahraga dan jumlah keterlibatannya juga turut berpengaruh. Penelitian yang diketuai Sandra L Caron pada 1985, ”Sex-Role Orientation and Attitudes Towards Women”, menunjukkan atlet olahraga beregu memiliki skor maskulinitas yang lebih tinggi dalam inventarisasi peran jenis kelamin. Mereka juga kurang egaliter dalam memandang peran perempuan dibandingkan rekan-rekan atlet yang berada dalam olahraga individual.
Pada 1998, Caron kembali melakukan penelitian yang kali ini melibatkan 104 mahasiswa laki-laki berusia rata-rata 20,3 tahun yang kuliah di Universitas Maine, Amerika Serikat. Sebanyak 55 orang di antaranya berpartisipasi dalam satu atau lebih olahraga terorganisasi (klub atau universitas) di tingkat perguruan tinggi, sementara 86 orang lainnya terlibat dengan olahraga di sekolah menengah atas.
Caron menemukan, adanya hubungan signifikan antara agresi seksual dan sikap mendukung pemerkosaan. Selain itu, profesor hubungan keluarga dan seksualitas manusia di Fakultas Pendidikan dan Pembangunan Manusia Universitas Maine ini juga menemukan hubungan sigifikan antara daya saing dan agresi.
Baca juga: Pencarian Tak Bertepi Timnas Brasil
Temuan ini menunjukkan bahwa laki-laki yang sangat kompetitif, khususnya mereka yang sangat berorientasi pada kemenangan, lebih agresif secara seksual terhadap perempuan. Kemenangan—baik di lapangan atau di ranjang—sangat penting bagi para pria ini.
Namun, karena tingkat respons penelitian itu hanya 52 persen, maka penelitian tersebut tidak dapat menjadi bahan untuk generalisasi. Walakin, aspek-aspek tertentu seperti maskulinitas, daya saing, dan agresi menjadi kata kunci untuk menjelaskan soal jeratan kekerasan seksual.
Lantas, bagaimana seharusnya tindakan klub tempat para atlet ini bernaung?
”Hal pertama yang harus dilakukan klub adalah melawan machismo (maskulinitas berlebihan),” kata Clara Serra, profesor di Pusat Penelitian Teoritis, Jender, dan Seksualitas di Universitas Barcelona, dikutip dari El Pais.
Serra menambahkan, klub harus terlibat dalam masalah mendasar yang tidak dapat diselesaikan dengan menyalahkan orang tertentu. Klub perlu menempatkan hal tersebut sebagai masalah sosial dan bekerja sama dalam memerangi machismo, ketidaksetaraan, dan situasi terisolasi yang dialami perempuan.
Klub-klub lebih memilih untuk mengakhiri kerja sama dengan pesepak bola maupun pelatih yang terjerat kasus kekerasan seksual. Klub Brasil Corinthians, misalnya, memecat Alexi Stival atau dikenal dengan nama Cuca setelah tekanan dari penggemar dan tim putri lantaran pernah terlibat pemerkosaan pada 1980-an.
Protes dari tim Manchester United putri juga menjadi salah satu alasan utama yang menghalangi klub untuk mempekerjakan kembali Greenwood. Adapun tanggapan Corinthians mengenai Cuca, atau Pumas mengenai Alves, sebenarnya tanggapan sebagian besar klub dalam situasi seperti ini.
Namun, para ahli berpendapat bahwa respons tersebut tidak sepenuhnya efektif jika tidak dibarengi dengan strategi yang lebih luas. Menurut Serra, pengusiran individu tertentu tidak menyelesaikan masalah. ”Mengeluarkan pemain yang dibebaskan di pengadilan adalah tindakan yang timpang jika tidak dibarengi dengan perlawanan terhadap maskulinitas berlebihan,” kata Serra.