Seandainya Soeratin Sosrosoegondo Tahu…
Apakah program naturalisasi pemain mengkhianati perjuangan para pendiri PSSI?
Semua pemain tim nasional Indonesia dan Pelatih Shin Tae-yong mengunggah foto dan pesan yang kompak di akun Instagram pribadi mereka, Jumat (5/1/2024). Hanya bek sayap kiri, Shayne Pattynama, yang absen membuat unggahan serupa dan tidak muncul di foto bersama karena tengah izin kembali ke Belanda demi menemani ibunya yang tengah sakit.
Dalam pesan itu, skuad ”Garuda” mengingatkan kepada publik untuk berhenti membandingkan antara pemain lokal dan keturunan. Meskipun berbeda latar belakang, tempat kelahiran, dan pengalaman pembinaan sepak bola, semua pemain memiliki misi yang serupa untuk membantu timnas Indonesia berjaya, terutama di Piala Asia 2023, yang menjadi debut turnamen mayor bagi semua pemain asuhan Shin.
”Tidak masalah dari mana asal-usul kami karena kami selalu bersatu, baik di dalam maupun di luar lapangan. Saat tim kami mengalami kekalahan, kita semua merasakannya dan, saat tim menang, itulah kemenangan bagi kita semua. Sebagai pemain, mengenakan jersei Merah Putih bukan hanya kebanggaan, melainkan juga suatu kehormatan bagi kami,” demikian pesan itu.
Dari 26 pemain yang didaftarkan Shin sebagai skuad Piala Asia 2023, terdapat delapan pemain keturunan atau naturalisasi. Artinya, 31 persen duta Indonesia di pesta sepak bola terakbar Asia tahun ini tidak lahir di Tanah Air dan punya setengah darah non-Indonesia.
Baca Juga: Tolok Ukur Ideal Menilai Shin Tae-yong
Jika dijabarkan status proses mereka bisa membela Garuda, kedelapan pemain itu bisa dipisahkan dalam tiga kategori. Pertama, pemain yang murni memilih menjadi warga negara Indonesia sebelum memegang paspor negara lahir atau tumbuh kembangnya. Elkan Baggott adalah pemain yang masuk dalam kategori itu.
Pengaruh dari ibunya yang berasal dari Indonesia menjadi penyebab utama keputusan Baggott. Ia memegang kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia pada awal November 2021.
”Saya siap memberikan permainan terbaik untuk membantu tim mengejar hasil maksimal di Piala Asia. Kami mempersiapkan diri sebaik mungkin,” ujar Baggott yang sudah membela tim Garuda sejak Piala AFF 2020, Desember 2021-Januari 2022.
Faktor keturunan
Kedua, pemain yang memilih menjalani proses naturalisasi karena memiliki garis keturunan, baik dari orangtua maupun kakek-nenek. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan FIFA tentang Kelayakan Bermain bagi Perwakilan Tim, garis keturunan untuk naturalisasi maksimal sampai kakek atau nenek sehingga tidak bisa lebih dari dua generasi di atas pemain bersangkutan.
Baca Juga: Masih Ada Waktu Tim ”Garuda” Berbenah
Empat pemain memegang paspor dan KTP Indonesia melalui kategori itu. Mereka adalah Jordi Amat, Ivar Jenner, Rafael Struick, dan Justin Hubner.
Kategori ketiga adalah berhak menjalani proses naturalisasi setelah bermukim minimal lima tahun di Indonesia. Marc Klok menjadi satu-satunya pemain andalan timnas Indonesia saat ini yang mengalami naturalisasi tanpa memiliki hubungan keturunan. Klok sejatinya memiliki darah Indonesia, tetapi garis keturunan pemain yang datang ke Indonesia pada 2017 itu lebih dari kakek/nenek.
Merujuk posisi pemain, hanya posisi kiper dan penyerang sayap yang tidak memiliki pemain naturalisasi. Trio kiper Indonesia di Qatar 2023 adalah pemain yang dididik klub Indonesia. Begitu pun pemain yang disiapkan mengisi posisi penyerang sayap, seperti Egy Maulana Vikri, Marselino Ferdinan, Witan Sulaeman, dan Dendy Sulistyawan, mengawali karier dari tim-tim sepak bola dalam negeri.
Percaya bakat lokal
Shin berpeluang menurunkan delapan pemain naturalisasi sebagai pemain inti. Namun, juru taktik asal Korea Selatan itu menegaskan, kedatangan pemain keturunan untuk melengkapi skuad Garuda yang disusunnya dari pemilihan pemain lokal, baik dari Liga 1 Indonesia maupun kompetisi luar negeri. Pemain keturunan bukan untuk menggusur pemain hasil pembinaan Indonesia.
Pada laga kedua melawan Libya, 5 Januari lalu, Shin mulai menurunkan tim terbaik dan susunan formasi utama. Alih-alih menurunkan seluruh pemain keturunan, Shin hanya menempatkan lima pemain naturalisasi sejak sepak mula.
Baca Juga: Dilibas Libya, Keraguan Memayungi Pemain Naturalisasi
Shin mencoba memanfaatkan keunggulan intelegensi pemain naturalisasi untuk bermain di luar posisi murni mereka, misalnya Justin Hubner yang tampil sebagai gelandang bertahan yang sejatinya bermain sebagai bek tengah di tim Inggris, Wolverhampton Wanderers yunior.
Sandy Walsh, yang berposisi bek sayap kanan di klub Belgia, KV Mechelen, juga dicoba Shin sebagai gelandang bertahan. Keahlian kedua pemain itu menyalurkan operan pendek dan umpan panjang serta berduel fisik di lapangan tengah menjadi dasar Shin memberikan mereka tugas anyar bersama Garuda.
Kami akan berjuang dan bekerja sangat keras bersama untuk menghadapi laga-laga sulit di fase grup. Saya pikir kami punya peluang bersaing.
”Kami akan berjuang dan bekerja sangat keras bersama untuk menghadapi laga-laga sulit di fase grup. Saya pikir kami punya peluang bersaing,” kata Hubner.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir menganggap kekuatan timnas sudah komplet setelah Hubner bergabung dan bisa bermain untuk Garuda di panggung Asia. Ia berharap skuad Indonesia bisa tampil maksimal untuk memberikan kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
”Tugas berada di tangan Pelatih Shin untuk meramu tim inti demi tampil terbaik. Sebab, persaingan di Grup D tidak ringan,” ujar Erick.
Baca Juga: Eksperimen Gagal Shin Tae-yong
Komitmen besar yang telah ditunjukkan pemain naturalisasi tetap menghadirkan pro dan kontra. Padahal, pemain-pemain keturunan itu banyak melakukan pengorbanan untuk membela Garuda, terutama rela menempuh perjalanan lebih dari 20 jam dari Eropa untuk mendapatkan cap timnas Indonesia.
Selain itu, mereka juga perlu menyesuaikan diri dengan gaya dan kultur sepak bola Indonesia yang berbeda dibandingkan dengan negara tempat mereka tumbuh besar. Kontra pun hadir seiring kecaman terhadap ”jalan pintas” federasi untuk mengejar prestasi dibandingkan menguatkan program pembinaan. Anggapan mencederai latar belakang pendirian PSSI sebagai organisasi perjuangan melawan kolonialisme juga mengemuka.
Rojil NB Aji, sejarawan Universitas Negeri Surabaya, menilai, program naturalisasi saat ini memiliki konteks ruang dan waktu yang berbeda dengan kondisi sepak bola di era kolonial. Pada masa kolonial, lanjutnya, sepak bola menjadi ajang perlawanan karena diskriminasi orang-orang kolonial Belanda terhadap bumiputera, sedangkan saat ini tidak perlu lagi sikap itu. Alhasil, naturalisasi itu tidak bisa disimpulkan menyalahi spirit PSSI sebagai alat perjuangan bangsa.
Setelah Indonesia merdeka, tambahnya, sepak bola menjadi alat perjuangan meneguhkan kedaulatan dan eksistensi di dunia internasional. Selain itu, seiring perkembangan zaman, konsep nasionalisme pun kian dinamis seiring mobilitas masyarakat yang melintasi batas.
Baca Juga: Lolos 16 Besar Piala Asia, Target Indonesia Sudah Realistis?
”Meskipun sifatnya instan, naturalisasi pada akhirnya menjadi solusi untuk memberikan simbol imaji konkret bagi nasionalisme dalam olahraga, terutama sepak bola, demi mengejar prestasi,” kata Rojil yang menulis buku Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia Era Soekarno 1950-1965.
Entah apa yang akan dikatakan pendiri dan ketua umum perdana PSSI, Ir Soeratin Sosrosoegondo, seandainya ia tahu sembilan dekade setelah dirinya membentuk PSSI, timnas Indonesia mengandalkan kehadiran pemain keturunan....