Sepak bola putri menjadi pelabuhan mimpi, pelipur lara, bahkan sarana pemberdayaan perempuan di Tanah Air.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
Viny Silfianus nyaris menitikkan air mata saat teringat momen terberat sebagai pesepak bola putri. Viny terbayang laga pertama timnas sepak bola putri Indonesia pada babak penyisihan grup Piala Asia Putri 2022, yaitu melawan timnas Australia, di Stadion Mumbai Football Arena, India, Januari 2022. Dia menghadapi kapten timnas Australia sekaligus pemain yang berada dalam tiga besar nominasi Ballon d’Or Feminin dalam tiga tahun berturut-turut sejak 2021, yaitu Sam Kerr.
Setelah laga rampung, Viny ingin sekali berfoto dengan idolanya yang bermain di klub Chelsea Women tersebut. Akan tetapi, hal itu tidak pernah terwujud. Pemain yang memperkuat Persija Putri di Liga 1 Putri 2019 ini lantas memilih untuk mengabadikan momen bertemu Sam Kerr itu di dalam ingatannya saja.
Rasa malu, kecewa, dan sedih di dalam diri Viny mengalahkan keberanian untuk mengutarakan keinginannya berfoto bersama kepada Sam Kerr. Viny dan kawan-kawan menelan kekalahan 0-18 dari Sam Kerr dan timnya. Kekalahan ini merupakan rekor terburuk timnas putri Indonesia di ajang Piala Asia Putri. Rekor terburuk sebelumnya terjadi pada 1981, yaitu saat dikalahkan Taiwan 0-10.
”Setelah itu, kami dihujat habis-habisan di media sosial. Kami dibilang terlalu banyak main Tiktok. Bahkan, ada pemain yang sebenarnya tidak masuk tim, juga ikut di-bully. Sedih banget, sampai sekarang juga masih sedih kalau mengingatnya. Kami juga, kan, enggak mau kalah sebanyak itu, apalagi kami membawa nama Indonesia,” tutur Viny yang lantas mengalihkan pandangannya dengan mata berkaca-kaca.
Karena kekalahan itu, kata Viny, orang-orang seketika lupa bahwa penampilan timnas putri di panggung Piala Asia sebenarnya merupakan sejarah. Untuk pertama kalinya dalam 33 tahun, Indonesia kembali lolos Piala Asia Putri. Viny, yang baru berusia 21 tahun, bahkan belum lahir ketika terakhir kali sebelumnya Indonesia berlaga di Piala Asia, yaitu pada 1989 silam.
Di sisi lain, Viny juga semakin menyadari bahwa level permainan Indonesia dengan Australia jauh berbeda. Indonesia baru saja kembali berlaga di Piala Asia, sedangkan Australia adalah langganan Piala Dunia dan menempati peringkat keempat pada edisi 2023.
Para pemain Australia pun, termasuk Sam Kerr, bermain di salah satu liga terbaik Eropa. Sebaliknya, para pemain Indonesia bertahan dari satu kompetisi amatir ke kompetisi amatir lain. Tidak jarang pula mereka bermain di laga antarkampung (tarkam), terutama setelah vakumnya Liga 1 Putri sejak 2019.
Souraiya banyak menemukan perempuan, terutama anak-anak, yang kembali bersemangat lewat sepak bola setelah dipaksa menikah dini atau menjadi korban kekerasan seksual.
Meski mengalami momen buruk yang membuatnya sedih dalam waktu lama dan ketidakpastian nasib akibat tidak ada kompetisi regular, Viny tetap bertahan di sepak bola. Mimpi menjadi pesepak bola top, seperti Sam Kerr, membantunya terus berlatih dan menggeluti olahraga tersebut. Kapten tim sepak bola putri Jakarta untuk kualifikasi PON Aceh-Sumatera Utara 2023 ini bercita-cita mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia dan bermain bersama Sam Kerr di Chelsea.
”Ingin sekali, misalnya, jadi teman duetnya Sam Kerr di Chelsea. Dia sangat menginspirasiku untuk bisa main di Eropa. Aku juga masih bertahan di sepak bola karena rasanya sudah jadi bagian dari hidup aku. Kalau enggak main bola, aku merasa hampa. Sewaktu main bola, aku fokus di lapangan dan ada rasa senang karena enggak memikirkan kesedihan atau masalah di luar lapangan,” ucap Viny yang membawa tim sepak bola putri DKI Jakarta lolos ke PON Aceh-Sumatera Utara 2024.
Mengingat ayah
Hal serupa dirasakan pemain timnas putri Indonesia lainnya, Hanipa Halimatusyadiah Suandi. Menurut pemain yang pertama kali memperkuat timnas di AFF U-15 Girls Championship 2017, Laos, ini, sepak bola telah memberinya banyak hal. Sepak bola membuatnya bisa menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi tanpa membebani keluarga.
Sepak bola juga memberinya pengalaman bepergian ke banyak tempat di Indonesia ataupun luar negeri. Kalau bukan karena sepak bola, tutur Hanipa, rasanya tidak mungkin dia naik pesawat untuk pergi ke Laos membela timnas Indonesia atau mengunjungi Papua saat memperkuat tim Jawa Barat di Pekan Olahraga Nasional.
Selain itu, sepak bola pula membuat Hanipa merasa terhubung dengan sang ayah, Iwan Suandi. Sejak usia Hanipa 5 tahun, Iwan telah memperkenalkannya sepak bola. Iwan, yang saat itu merupakan pelatih sekolah sepak bola di Sukabumi, Jawa Barat, kerap mengajak Hanipa kecil bermain bola di lapangan depan rumah.
”Sepak bola membuat aku bahagia dan merasa aman. Apalagi, sekarang bapakku sudah enggak ada. Bapak adalah orang pertama yang mengajarkanku main bola saat kecil. Jadi, dengan main bola, aku merasa bisa dekat sama almarhum bapak. Lebih merasa ada hubungan personal sama sepak bola,” kata Hanipa yang baru saja mengantarkan tim Jawa Barat lolos PON Aceh-Sumatera Utara .
Merdeka di lapangan
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepak Bola Wanita (ASBWI) Souraiya Farina mengatakan, sepak bola putri memang tidak bisa dipandang hanya soal perempuan menendang bola. Sepak bola putri bukan pula sekadar permainan sepak bola perempuan selama 2 x 45 menit di lapangan.
Menurut Souraiya, sepak bola juga adalah wadah ”pembebasan” bagi perempuan. Souraiya banyak menemukan perempuan, terutama anak-anak, yang kembali bersemangat lewat sepak bola setelah dipaksa menikah dini atau menjadi korban kekerasan seksual. Sepak bola mengajarkan tentang kemampuan bekerja dalam tim, kepemimpinan, kekuatan mental, kepercayaan diri, hingga cara mengatasi kegagalan akibat kalah. Nilai-nilai itu dipetiknya berdasarkan pengalaman bekerja sama dengan LSM untuk memberdayakan anak-anak perempuan melalui sepak bola.
”Mereka yang pernah mengalami diskriminasi, trauma, atau hal-hal buruk dalam hidupnya kembali berani bicara dan percaya diri melalui sepak bola. Mereka bahkan menjadi punya semangat lagi untuk pendidikan. Artinya, sepak bola putri tak hanya tentang perempuan menendang bola. Ada area diplomasi olahraga yang bisa digunakan untuk mengembangkan perempuan Indonesia, khususnya anak-anak perempuan di Indonesia,” ujar Souraiya.
Jalan sepak bola putri di Indonesia bukanlah jalan yang mulus untuk dilalui. Jalannya berliku dan penuh kerikil. Namun, para pesepak bola putri tetap bertahan untuk hal-hal yang layak diperjuangkan.Sepak bola putri telah menjadi simbol harapan, bukan lagi sekadar permainan.