Perbaikan Kompetisi Putri Menjadi Prioritas PSSI
Sepak bola putri Indonesia pernah berjaya di era 1970-1980an. Untuk mengembalikan kejayaan itu, PSSI berusaha memperbaiki jenjang kompetisi sepak bola putri nasional guna meningkatkan kualitas pemain.
JAKARTA, KOMPAS - Perbaikan jenjang kompetisi akan menjadi prioritas Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) guna menggembalikan kejayaan sepak bola putri seperti pada era 1980-an. PSSI ingin menambah setidaknya tiga liga baru, yaitu Liga 2 Putri, Liga U-17, dan Liga U-15, dalam dua tahun.
Menurut Kepala Bidang Sepak Bola Putri PSSI Papat Yunisal, sepak bola putri sudah ada di Indonesia sejak 1970-an. Bahkan, timnas putri Indonesia pernah berjaya dengan menjadi semifinalis Kejuaraan Asia 1977 dan 1986 serta runner-up Kejuaraan Asia Tenggara 1982 dan 1985.
”Waktu itu, laga timnas putri Indonesia ikut ditunggu-tunggu. Penonton tidak segan datang membeli karcis dan memenuhi stadion,” ungkap Papat, mantan pemain timnas putri sekaligus Ketua Asosiasi Sepak Bola Putri Indonesia, dalam seminar daring berjudul "Empowering Women and Girls Through Football" yang digelar British Council Indonesia, PSSI, dan Premier League Inggris, Selasa (23/3/2021).
Era kejayaan itu, ungkap Papat, ditunjang sejumlah kompetisi yang membuat pembinaan bergairah, antara lain Piala Kartini sejak 1981 dan Invitasi Liga Sepak Bola Wanita (Galanita) mulai 1982. Namun, setelah itu, sepak bola putri Tanah Air mengalami mati suri. Kompetisi terhenti. Prestasi timnas tenggelam dan tertinggal jauh dari Thailand yang mampu menembus Piala Dunia Putri di Perancis, 2019 lalu.
Baca juga : Harapan Negeri dari Sepak Bola Putri
Kembali bergeliat
Geliat sepak bola putri Indonesia baru mulai muncul lima tahun terakhir dengan ditandai pengiriman timnas putri ke sejumlah kejuaraan internasional, seperti kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020, Asian Games Jakarta-Palembang 2018, dan SEA Games Filipina 2019. ”Di dalam negeri, PSSI mencoba menghidupkan kembali kompetisi sepak bola putri melalui Liga 1 Putri edisi perdana pada 2019 lalu,” kata Papat.
Namun, untuk mengejar prestasi Thailand dan negara-negara kuat di Asia Tenggara lainnya, jenjang kompetisi sepak bola putri Indonesia tidaklah bisa hanya sebatas Liga 1 Putri. Maka itu, lanjut Papat, PSSI berusaha memperbanyak jenjang kompetisi sepak bola putri.
PSSI ingin menggulirkan sejumlah kompetisi baru, yaitu Liga 2, Liga U-17, Piala Pertiwi, dan festival kelompok usia 8-10 tahun, mulai tahun ini.
Lalu pada 2022, akan digelar dua tambahan kompetisi, yaitu Liga U-15 dan festival kelompok usia 6-10 tahun. ”Karena pandemi, rencana itu sempat terganggu. Tapi, selepas pandemi, kami tetap berusaha agar rencana itu segera terealisasi,” tutur Papat.
Baca juga : Asa Pesepak Bola Putri Merintis Karier
Selain menambah jenjang kompetisi, PSSI juga ingin membenahi ekosistem sepak bola putri agar lebih profesional. Sejauh ini, Liga 1 Putri diikuti oleh 10 klub yang menjadi bagian dari klub-klub profesional yang berlaga di Liga 1 dan Liga 2 sepak bola putra.
Adapun para pemain di Liga 1 Putri saat ini masih berstatus amatir sehingga tidak mendapatkan upah selayaknya para pemain di liga putra. ”Untuk mewujudkan iklim yang lebih berkualitas, para pemain patut dihargai secara profesional,” terang Papat kemudian.
PSSI perlu melawan stigma negatif masyarakat mengenai sepak bola putri. Sejauh ini, sepak bola masih dianggap olahraga untuk laki-laki.
Selain itu, secara bertahap, PSSI berupaya memperbaiki kualitas pelatih, wasit, dan perangkat pendukung lainnya. Langkah itu ditandai dengan dilakukan sejumlah kursus wasit maupun kepelatihan berlisensi A, B, dan C AFC. ”Sekarang, pelatih putri berlisensi B AFC di Indonesia baru dua orang. Padahal, syarat timnas putri harus memiliki asisten pelatih putri berlisensi B AFC,” ujar Papat.
Menurut Papat, sepak bola putri punya masa depan cerah karena bisa membuka lapangan kerja untuk perempuan, yaitu mulai dari menjadi atlet profesional, pelatih, tim medis, hingga ofisial laga. ”Bahkan, jika berprestasi, tidak menutup kemungkinan mendapatkan beasiswa di sekolah favorit atau menjadi ASN (aparatur sipil negara)” katanya.
Masalah stigma
Selain masalah infrastruktur dan jenjang kompetisi, Asisten Deputi Peningkatan Tenaga dan Organisasi Keolahragaan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Herman Chaniago menyampaikan, PSSI perlu melawan stigma negatif masyarakat mengenai sepak bola putri. Sejauh ini, sepak bola masih dianggap olahraga untuk laki-laki.
Padahal, salah satu penunjang prestasi adalah ketersediaan sumber daya pemain. ”Masyarakat perlu diyakinkan bahwa sepak bola itu bisa dimainkan oleh siapa saja, perempuan maupun laki-laki. Sepak bola tidak hanya membuka peluang karier sebagai atlet, melainkan juga bisa menjadi pelatih, tim medis, hingga perangkat pertandingan,” tuturnya.
Baca juga : Kesetaraan Masih Sebatas Mimpi
Gelandang timnas putri Indonesia, Dhanielle Daphne, pernah mengalami stigma kurang baik itu. Pesepak bola putri kelahiran Jakarta, 20 April 2000 itu, mulai menggemari sepak bola sejak usia 6 tahun. Namun, selama tiga tahun, orangtuanya melarang dirinya berlatih sepak bola karena dianggap tabu. Setelah berjuang meyakinkan orangtuanya, dia baru bisa berlatih kompetitif mulai usia 9 tahun.
Karena bakat besarnya, Dhanielle sempat terpilih bergabung dengan timnas U-12 dan menjadi satu-satunya pemain putri di tim tersebut. Sekarang, dirinya menjadi salah satu langganan timnas putri yang sempat bermain di Asian Games 2018. Dia juga pernah mengikuti latihan uji coba bersama klub Liga Premier Inggris, Tottenham Hotspur, pada 2019.
”Sepak bola putri punya masa depan cerah di Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia sangat menggemari sepak bola dan pesepak bola putri terus tumbuh,” ungkapnya.
Seiring waktu, minat perempuan terhadap sepak bola kian bertambah. Sekitar 20 tahun lalu, mungkin hanya 2-3 anak perempuan yang bergabung dengan klub sekolah. Sekarang, mungkin 15-40 anak perempuan telah bergabung dengan klub-klub di sekolah.
Pengalaman di Inggris
Manajer Olahraga Komunitas serta Kesetaraan Wanita, Anak dan Perempuan Crystal Palace FC Roxanne Bennet menyarankan Indonesia, khususnya PSSI, agar terus bersabar dan konsisten berusaha meningkatkan kualitas sepak bola putri setahap demi tahap. ”Proses membangun itu butuh proses panjang. Tidak bisa hanya dalam semalam,” tegasnya.
Bennet pun menceritakan pengalaman jatuh bangunnya pengembangan sepak bola putri di Inggris. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sepak bola putri begitu populer di Inggris. Bahkan, jumlah penonton laga sepak bola putri bisa mengalahkan jumlah penonton sepak bola putra.
Akan tetapi, pada 5 Desember 1921, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) melarang perempuan bermain sepak bola karena olahraga itu dinilai tidak cocok untuk wanita karena dianggap penuh kontak tubuh. Aturan diskriminatif itu baru dicabut oleh FA pada 50 tahun berselang atau tepatnya pada 1971.
Sejak itu, para pelaku sepak bola putri di Inggris berusaha membangun kembali kejayaan sepak bola putri dengan ditandai bergulirnya Liga Primer Putri pada 1992. Saat ini, sepak bola putri Inggris sudah memiliki jenjang kompetisi yang kian semarak dan tidak ubahnya sepak bola putra, yakni Liga Super Putri 1, Liga Super Putri 2/Women Championship, dan Women National League.
Mereka juga memiliki liga usia muda dari usia 8 tahun sampai 18 tahun, berikut liga amatir. ”Kami memulai pembinaan sepak bola putri untuk usia 5-11 tahun. Awalnya, anak-anak diajak mengenal sepak bola untuk rekreasi dan mencari teman. Bagi yang punya potensi, mereka diarahkan untuk berlatih kompetitif," ujarnya.
"Seiring waktu, minat perempuan terhadap sepak bola kian bertambah. Sekitar 20 tahun lalu, mungkin hanya 2-3 anak perempuan yang bergabung dengan klub sekolah. Sekarang, mungkin 15-40 anak perempuan telah bergabung dengan klub-klub di sekolah,” ujar Bennet kemudian.