Perjuangan timnas putri Amerika Serikat meraih kesetaraan hak dengan para pemain putra kandas di jalur hukum. Hakim federal telah menolak gugatan mereka soal kesetaraan gaji dengan pesepak bola putra.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·4 menit baca
CALIFORNIA, SABTU — Upaya tim nasional sepak bola putri Amerika Serikat menuntut kesetaraan jender dalam hal upah kembali menemui jalan buntu, Sabtu (2/5/2020). Hakim federal di California menolak gugatan mereka sehingga kesetaraan dengan para pesepak bola putra kini masih sebatas mimpi.
Timnas putri AS mengajukan gugatan hukum terhadap Federasi Sepak Bola AS (USSF) untuk meraih kesetaraan hak itu pada 8 Maret 2019. Mereka menggugat USSF yang dinilai telah melanggar Undang-Undang Kesetaraan Upah dan meminta ganti rugi sebesar 66 juta dollar AS atau hampir Rp 1 triliun.
Setelah mengajukan gugatan itu, timnas putri AS mengalahkan Belanda 2-0 dan menyabet gelar juara Piala Dunia Putri 2019 pada bulan Juli. Teriakan ”kesetaraan upah! kesetaraan upah!” sudah membahana di tribun penonton seusai laga tersebut.
Meskipun sudah empat kali menjuarai Piala Dunia, timnas putri AS masih terdiskriminasi dan ”menabuh genderang perang” bersama para pendukungnya.
Gugatan itu semakin menguat karena sikap vokal salah satu anggota timnas putri AS, Megan Anna Rapinoe. Dengan lantang Rapinoe pernah menyatakan tidak mau datang ke Gedung Putih dan bertemu Presiden AS Donald Trump jika menjuarai Piala Dunia. Ia dan rekan-rekannya memang akhirnya tidak menemui Trump yang dianggapnya kian memperkuat masalah diskriminasi.
Namun, 10 bulan setelah Rapinoe dan kawan-kawan membawa pulang trofi Piala Dunia Putri ke AS, hakim yang menangani kasus ini, Gary Klausner, mengatakan bahwa gugatan tersebut tidak berdasar. Dari data yang ia miliki, Klausner menganggap pendapatan para pesepak bola putri AS jauh lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh pesepak bola putra.
Data yang diperoleh selama periode 2015-2019, timnas putri AS mendapat 24 juta dollar AS atau Rp 362 miliar, sedangkan timnas putra mendapat 18 juta dollar AS atau Rp 271 miliar. Timnas putri AS tampak diuntungkan jika dilihat dari data tersebut. Akan tetapi, perbandingan itu dinilai tidak relevan.
Selama periode tersebut, timnas putri AS telah menjuarai Piala Dunia sebanyak dua kali, sedangkan timnas putra AS bahkan tidak lolos ke Piala Dunia Rusia 2018. Pendapatan timnas putri AS terlihat lebih banyak karena mencakup perhitungan bonus setelah menjuarai Piala Dunia 2015 dan 2019.
Data tersebut akan menjadi berbeda jika timnas putra AS juga sukses karena bonus mereka jauh lebih besar. ESPN menyebutkan bahwa setiap anggota timnas putra AS bisa mendapat bayaran 68.750 dollar AS atau Rp 1,04 miliar jika bisa tampil di Piala Dunia. Sementara setiap anggota timnas putri AS hanya mendapat 37.500 dollar AS atau Rp 567 juta.
Bahkan, dari hasil menjuarai Piala Dunia 2015 dan 2019, timnas putri AS hanya mendapat total 6 juta dollar AS atau Rp 90,7 miliar. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pendapatan timnas putra. Setelah menjuarai Piala Dunia 2014, timnas Jerman mendapat hadiah 35 juta dollar AS atau Rp 530 miliar. Timnas Perancis mendapat 38 juta dollar AS atau Rp 575 miliar seusai menjuarai Piala Dunia Rusia 2018.
Kami tidak akan pernah berhenti memperjuangkan kesetaraan.
Belum usai
Mendengar kabar tersebut, Rapinoe merasa sangat kecewa dan menyatakan bahwa perjuangan mereka belum usai. ”Kami tidak akan pernah berhenti memperjuangkan kesetaraan,” tulis Rapinoe di akun Twitter-nya.
Hal yang sama disampaikan juru bicara timnas putri AS, Molly Levinson, yang mengatakan bahwa mereka tidak akan menyerah hingga pesepak bola putri tidak direndahkan lagi. ”Kami telah mempelajari bahwa banyak halangan yang harus dilalui. Kami tahu bahwa perlu keberanian dan kegigihan untuk menghadapinya,” kata Levinson.
Perjuangan timnas putri AS ini menjadi barometer perjuangan kesetaraan hak bagi pesepak bola putri di seluruh dunia. Jika mereka yang sudah empat kali menyabet Piala Dunia dan kini masih merasa tertindas, negara-negara lain yang timnya belum setangguh AS bisa bernasib lebih buruk.
Timnas putri Jamaika pernah memprotes ketidakadilan tersebut. Pada September 2019, setelah lolos ke Piala Dunia 2019 untuk pertama kali, mereka meluncurkan gerakan ”tidak dibayar, kami tidak bermain”. Mereka tidak akan berlatih atau bertanding jika federasi belum membayarkan uang yang menjadi hak mereka. Pada November 2019, timnas putri Australia juga menuntut federasi agar mereka dibayar setara dengan para pemain putra. (AFP/REUTERS)