PSSI Jangan Mengulang Tekad Semu Pembinaan
Piala Dunia U-17 2023 menyadarkan pembinaan usia dini di Indonesia telah tertinggal jauh dari negara lain.
Indonesia diakui FIFA telah sukses menyelenggarakan salah satu edisi terbaik Piala Dunia U-17. Di luar penyelenggaraan turnamen yunior FIFA perdana yang berjalan baik dan menumbuhkan peluang kehadiran agenda-agenda FIFA lainnya di Tanah Air, Piala Dunia U-17 2023 sejatinya membuka mata kondisi terkini pembinaan sepak bola kita.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengakui peran besar pembinaan tim-tim kelas dunia yang bertarung di Indonesia 2023. Atas dasar itu, Erick berambisi untuk membenahi program pembinaan usia dini agar Indonesia bisa kembali berlaga di Piala Dunia yunior pada masa mendatang. Jadi, tidak sekadar tampil dengan jatah kehormatan tuan rumah.
”Piala Dunia U-17 menjadi contoh pentingnya kita serius pada pembinaan usia dini. Untuk membentuk timnas senior yang solid perlu ditopang pembinaan yang berkesinambungan,” kata Erick setelah menyaksikan laga final antara Jerman kontra Perancis, Sabtu (2/12/2023), di Stadion Manahan, Surakarta, Jawa Tengah.
Baca Juga: Kisah-kisah dari Kejayaan Jerman
Ketua Panitia Lokal Piala Dunia U-17 2023 itu menambahkan, ”PSSI mendapat banyak pelajaran dari Piala Dunia U-17. Tak hanya sebagai pengelola turnamen, tetapi juga pemikiran masa depan terkait pembinaan”.
Kesadaran yang telah disampaikan Erick itu selanjutnya perlu benar-benar diwujudkan. Jika tidak, niat lisan itu ibarat memutar tekad semu yang pernah dilontarkan Ketua Umum PSSI periode 1977-1981 Ali Sadikin setelah Indonesia tak berdaya pada Piala Dunia U-20 1979 di Tokyo, Jepang.
Kala itu, tim PSSI Yunior yang diasuh salah satu legenda terbaik Indonesia, Sutjipto Suntoro, tidak mampu mengimbangi Argentina, Yugoslavia, dan Polandia. Indonesia menelan tiga kekalahan, tanpa mampu mencetak gol, serta kemasukan 16 gol. Untuk membentuk tim, yang juga mendapat jatah dadakan untuk menggantikan kuota Korea Utara, Irak, dan Kuwait, Ali hanya melakukan persiapan selama tiga bulan.
”Mau tahu berapa korban saya untuk PSSI Jr ini? Rp 30 juta! Tetapi, saya lakukan itu karena saya sadar kita harus lakukan pembibitan,” ucap Ali dikutip dari artikel Kompas bertajuk ”Pemain PSSI Jr Jangan Putus Asa”, edisi 3 September 1979.
Minim persiapan tim
Dalam artikel serupa, Sutjipto mengakui minimnya masa persiapan itu menjadi salah satu penyebab buruknya performa Indonesia. Ia mengatakan, Pelatih Argentina Cesar Luis Menotti menasihati agar persiapan menghadapi kejuaraan besar dilakukan lebih lama, terutama untuk mendapatkan lebih banyak bertanding di level tinggi.
Menotti, lanjut Sutjipto, juga menegaskan pentingnya pemain Indonesia mendapat porsi latihan tambahan weight training untuk menambah massa otot.
”Dia (Menotti) benar. Pemain-pemain luar negeri kalau jalan, tangannya mengangkang semua. Habis tangan dan badannya berotot. Kalau pemain kita jalan, tangan lurus saja ke bawah,” tutur Sutjipto yang sempat dua kali masuk daftar 11 pemain terbaik tahunan Asia pada dekade 1960-an.
Lebih dari 40 tahun berselang, kendala yang dialami Sutjipto dengan Bambang Nurdiansyah dan kawan-kawan masih terjadi. Jika melihat tinggi badan, skuad U-17 Indonesia di Piala Dunia U-17 2023 rerata memiliki tinggi 1,77 meter. Angka itu sudah setara dengan mayoritas tim-tim lain, seperti Argentina, Spanyol, Brasil, dan Korea Selatan.
Negara Afrika, seperti Maroko, Mali, dan Senegal, membina generasi baru pesepak bola mereka dengan menghadirkan akademi sepak bola mandiri hasil kolaborasi negara dengan swasta.
Serupa dengan Sutjipto, Pelatih Indonesia U-17 Bima Sakti juga hanya memiliki waktu efektif latihan dan latih tanding selama tiga bulan sebelum tampil di Grup A. Pemain ”Garuda Muda” tidak memiliki kemewahan kompetisi yang dimiliki 23 kontestan lain di Piala Dunia U-17 2023.
Sebanyak 15 pemain Indonesia pada debut Piala Dunia U-17 terdaftar berasal dari tim-tim Liga 1 Indonesia. Tetapi, sudah menjadi pengetahuan banyak pihak bahwa sistem kompetisi yunior melalui Elite Pro Academy atau Piala Suratin tidak menyajikan kebutuhan pemain muda untuk mengenyam laga kompetitif yang rutin dan berkesinambungan.
Dua sistem
Jika melihat para ”tamu” yang hadir di Indonesia 2023, dua metode pembinaan bisa menjadi pertimbangan para pemangku kepentingan sepak bola. Kedua metode adalah pembinaan yang fokus dilakukan klub profesional atau pembinaan bertahap yang dilakukan pusat akademi khusus dan institusi pendidikan.
Pertama, pembinaan yang digantungkan kepada klub profesional serupa dengan klub-klub di Eropa, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Seluruh pemain tim-tim dari tiga zona itu berasal dari klub profesional. Cara pembinaan ini membuat klub harus memiliki sumber daya materi yang besar untuk investasi besar-besaran guna membentuk tim muda. Pasalnya, klub itu setidaknya mulai memiliki tim di bawah sembilan tahun.
Baca Juga: Modal Besar Indonesia Memburu Turnamen Dunia Lainnya
Namun, klub juga harus ditunjang kompetisi profesional yang sehat dan memberikan profit yang jelas. Sebab, investasi tim muda itu bisa dilakukan jika klub sudah tidak kesulitan memenuhi primer untuk skuad utama mereka.
Kedua, pembinaan bertahap yang dilakukan tim Afrika dan Asia Timur. Negara Afrika, seperti Maroko, Mali, dan Senegal, membina generasi baru pesepak bola mereka dengan menghadirkan akademi sepak bola mandiri hasil kolaborasi negara dengan swasta. Tim akademi tidak memiliki hubungan khusus dengan satu klub profesional.
Alhasil, akademi itu terbuka untuk menyalurkan pemain hasil didikan mereka ke banyak klub, baik dalam dan luar negeri. Di Maroko ada Akademi Mohammed VI, lalu Academie JMG di Mali, serta Generation Foot di Senegal, yang telah terbukti melahirkan banyak pemain berbakat untuk tim nasional mereka.
Adapun Jepang dan Korea Selatan ”membiarkan” pemain remaja mereka masih membela tim sekolah sebelum menerima kontrak profesional dari klub. Terdapat tiga sekolah menengah atas (SMA) Jepang yang menyumbangkan pemain di edisi Indonesia 2023, sedangkan tim Korsel memanggil beberapa pemain dari empat SMA.
Baca Juga: Mulai 2025, Piala Dunia U-17 Digelar Setiap Tahun
Walakin, apa pun sistem pembinaan yang dipilih, jangan buru-buru mengharapkan hasil instan. Klub Eropa telah membangun akademi sejak 1970-an, akademi Afrika dimulai pada 2008, kemudian keseriusan Jepang dan Korsel menggalakkan kehadiran tim sekolah berjalan sejak 1990-an.
Selain itu, hal yang penting juga diperhatikan adalah komitmen nyata federasi dan pemerintah untuk menyelenggarakan liga—bukan turnamen—usia dini. Idealnya, liga usia dini itu berdurasi hampir serupa dengan liga profesional, yaitu sembilan bulan.
Pelaksanaan kompetisi jelas wajib dilakukan agar investasi klub dan akademi untuk membina pemain muda memiliki misi yang jelas. Hal itu agar tidak ada lagi klub yang baru sibuk menjalani seleksi pemain muda tiga bulan sebelum kompetisi dimulai seperti saat ini.
Hamdan Hamedan, staf ahli Menteri Pemuda dan Olahraga, menyebut Kementerian Pemuda dan Olahraga ingin memanfaatkan secara maksimal potensi besar dari 69 persen masyarakat Indonesia yang menyukai sepak bola. Kata dia, beragam program kompetisi usia dini telah menjadi prioritas Kemenpora.
”Kita punya Piala Suratin, ada Gerakan ‘Ayo Bermain Bola’ juga. Mas Menpora juga tengah berkoordinasi untuk menggelar liga U-13, lalu ada pula Gerakan Tarkam (antarkampung) yang menyertakan sepak bola,” ucap Hamdan.
Semoga tekad untuk menggalakkan pembinaan usia dini tidak kembali semu. Jika terjadi lagi, maka jangan heran jika generasi Arkhan Kaka—ketika sudah pensiun dan menjadi pelatih pada empat hingga lima dekade mendatang—masih merasakan situasi yang dialami Sutjipto pada 1979.