Dicari, Eksistensi Rashford dan Penyerang Manchester United
Manchester United kini ibarat petinju Mike Tyson tanpa tangan kanannya yang mematikan. Mereka tak punya jurus baru di tengah anjloknya performa striker andalan, Marcus Rashford.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
MANCHESTER, SENIN - Kontrasnya ketajaman Manchester City dan Manchester United pada musim ini tercermin dari derbi Manchester di Liga Inggris, Senin (30/10/2023) dini hari WIB. MU ibarat singa ompong yang ingin bertahan hidup di hutan belantara. Mereka kewalahan berburu kemenangan akibat masalah di lini serangnya.
Manajer MU Erik ten Hag meyakini timnya tidak akan kalah telak, 0-3, di Stadion Old Trafford jika kualitas penyelesaian akhir mereka lebih baik. Alih-alih mencetak gol, mereka hanya bisa menyaksikan ketajaman striker tim tetangga, Erling Haaland, yang menciptakan brace alias dua gol.
”Setan Merah” jelas membutuhkan sosok predator tanpa ampun di kotak penalti, seperti Haaland. Hingga pekan ke sepuluh Liga Inggris, MU baru mencetak 11 gol. Jumlah gol itu setara milik Haaland yang kini memuncaki daftar pencetak gol tersubur di Liga Inggris.
Ironi MU, sejak awal musim ini, bisa dilihat dari performa penyerang andalannya, Marcus Rasfhord. Pencetak 30 gol di berbagai ajang pada musim lalu itu kehilangan naluri ”membunuh”. Musim ini, dia hanya mencetak satu gol dari 13 laga di berbagai ajang. MU bak petinju legendaris, Mike Tyson, tanpa tangan kanannya yang ampuh.
”Bagaimana dia (Rashford) berubah dari pemain yang mencetak 30 gol (musim lalu) jadi sosok yang terlihat tanpa percaya diri? Bagaimana hal itu bisa terjadi dalam waktu sesingkat itu? ucap Robbie Savage, mantan gelandang MU di era 1990-an, pada BBC Sport.
Rashford nyaris saja mencetak gol di paruh kedua, yaitu saat MU tertinggal 0-2. Memanfaatkan garis tinggi pertahanan City, dia tinggal berduel dengan bek sayap Kyle Walker di depan gawang. Rashford bisa mengecoh Walker, tetapi tendangannya melenceng.
Serangan balik, posisi satu melawan satu, dan ruang lebar, merupakan situasi favorit bagi Rashford pada musim lalu. Mayoritas golnya dicetak dari situasi itu. Namun, pada musim ini, seperti ketika melawan City, dia tidak mampu menyelesaikan peluang gol. Dia tampak bermasalah dalam pengambilan keputusan, penyelesaian akhir, dan kepercayaan diri.
Anda harus melihat apa yang dilakukan City (dalam derbi). Mereka tidak hanya punya pemain brilian yang terampil dan berbakat, tetapi juga rasa lapar. (Roy Keane)
Inefisiensi Rashford terbukti dari statistik kualitas peluang atau expected goals (xG) di Liga Inggris musim ini. Dia mencatatkan 3,7 xG, tetapi hanya mampu menghasilkan satu gol. Jumlah xG itu sama dengan Eddie Nketiah, striker Arsenal yang sudah mencetak 5 gol. Nketiah adalah pelapis Rashford di tim nasional Inggris.
Cilakanya, tak ada penyerang lainnya di MU yang bisa menggantikan peran Rashford sebagai mesin gol. Striker baru yang dibeli seharga 75 juta euro (Rp 1,2 triliun), Rasmus Hojlund, belum mencetak gol setelah tujuh kali tampil di liga. Rashford adalah satu-satunya penyerang MU yang sudah mencetak gol di Liga Inggris pada musim ini.
Daftar pencetak gol terbanyak MU justru dipimpin gelandang Scott McTominay (3 gol) yang baru empat kali tampil sebagai pemain inti pada musim ini. Bagi tim pragmatis, seperti MU, efisiensi serangan adalah segalanya. Tanpa hal itu, semua menjadi sia-sia.
Menurut The Analyst, MU merupakan tim terbanyak ketiga dalam hal tembakan dari permainan terbuka (119 kali), sama dengan City. Namun, angka xG dan jumlah gol mereka sama-sama berada di peringkat ke-12 di Liga Inggris. Dua data itu memperlihatkan MU hanya unggul dari kuantitas tembakan, tetapi rendah dalam kualitas dan eksekusi peluang.
Roy Keane, legenda hidup MU, menilai, masalah terbesar Setan Merah bukan hanya persoalan teknis atau sekadar ketajaman. ”Anda harus melihat apa yang dilakukan City (dalam derbi). Mereka tidak hanya punya pemain brilian yang terampil dan berbakat, tetapi juga rasa lapar,” ucapnya.
Sumber masalah
Bersama Ten Hag, MU dikenal sebagai tim yang sangat oportunis dalam transisi serangan. Mereka nyaris selalu mengandalkan kecepatan barisan penyerangnya dengan umpan-umpan panjang. Pada Liga Inggris musim lalu, misalnya, mereka merupakan tim dengan catatan gol terbanyak, yaitu 9 gol, dari serangan balik.
MU ingin menyempurnakan ide bermain itu pada musim ini, tetapi belum berhasil. Mereka baru mencatatkan satu gol dari serangan balik. Jumlah gol itu setara tim papan bawah, Bournemouth, yang terburuk dalam transisi serangan pada musim lalu. Ciri khas Rashford dan rekan-rekan tidak terpancar.
Banyak hal dinilai memengaruhi penurunan performa MU itu. Adaptasi susunan pemain salah satu penyebabnya. Di lini tengah, gelandang Christian Eriksen baru empat kali tampil sejak menit awal. Kedatangan pemain baru, Sofyan Amrabat dan Mason Mount, mengurangi waktu bermain Eriksen.
Padahal, Eriksen merupakan otak dari banyaknya serangan balik bak kilat MU pada musim lalu. Dia bisa mengkreasikan umpan jauh akurat yang bisa menghancurkan jebakan offside tim-tim lawan. Eriksen berstatus pembuat asis terbanyak musim lalu (8 kali), serupa gelandang Bruno Fernades.
Ten Hag sering mencadangkan Eriksen karena kebutuhan bertahan. Gelandang 31 tahun itu cukup kewalahan saat bertahan, terutama menghadapi intensitas tinggi Liga Inggris. Adaptasi dari perubahan di lini tengah tersebut belum berjalan dengan mulus.
Di sisi lain, kehadiran Hojlund membuat Rashford hampir selalu berposisi di sayap kiri. Padahal, 7 dari 17 golnya di Liga Inggris musim lalu dicetaknya saat bermain sebagai penyerang tengah. MU saat ini berada di peringkat ke-8 dengan 15 poin. Akibat posisi yang sama, Rashford lebih mudah dibaca. Sementara Hojlund belum menemukan ritme terbaiknya.
Namun, Ten Hag meyakini timnya masih berada di jalur yang tepat. ”Musim lalu, kami juga (berada) di situasi seperti ini seusai kalah dari City. Kami hanya harus melupakan laga ini dan segera memulihkan diri,” ujarnya. (AP/REUTERS)