Pemain sepak bola ibarat korban dari ekosistem judi di industri olahraga. Mereka menerima hukuman berat jika terlibat judi, sedangkan klub dan pelaksana kompetisi meraup keuntungan besar dari sponsor judi.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·6 menit baca
Dalam sepekan terakhir, skandal judi yang melibatkan tiga pemain muda, yaitu Nicolo Fagioli (22), Sandro Tonali (23), dan Nicolo Zaniolo (24), membuka lembaran baru masalah di sepak bola Italia. Fagioli dan Tonali telah mengakui mereka kerap memasang taruhan di pertandingan sepak bola, sedangkan Zaniolo mengungkapkan kepada jaksa bahwa ia hanya memainkan poker dan blackjack.
Fagioli, pemain Juventus, telah dijatuhi hukuman tujuh bulan larangan bertanding. Adapun Tonali berpeluang mendapat hukuman satu tahun larangan aktif di sepak bola. Hukuman Tonali lebih panjang karena ia telah mengakui memasang taruhan pada laga AC Milan selama berseragam tim itu.
Selain tiga pemain tersebut, media di Italia juga menyebut nama-nama pemain, seperti Nicolo Barella, Federico Gatti, Nicola Zalewski, Nicolo Casale, dan Stephen El Shaarawy, tengah dalam penyelidikan yang dilakukan jaksa Konfederasi Sepak Bola Italia (FIGC) dan kota Turin. Dalam aturan Italia, pemain dilarang memasang taruhan pada pertandingan profesional di bawah kendali FIGC, UEFA, dan FIFA.
Sebelum kasus judi itu menggemparkan Italia, Ivan Toney, penyerang Brentford dan timnas Inggris, telah menjalani masa hukuman delapan bulan larangan aktif di sepak bola akibat kecanduan judi sepak bola. Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) menemukan bukti keterlibatan Toney dalam memasang taruhan di sejumlah tim yang dibelanya dalam periode Februari 2017 hingga Januari 2021.
Kasus yang menimpa pesepak bola di Italia dan Inggris menunjukkan betapa riskannya pemain profesional terperangkap dalam dunia judi. Meskipun dalam masyarakat sosial di Eropa berjudi atau memasang taruhan bukan hal yang haram, ada aturan mengikat untuk beberapa profesional, seperti atlet. Para atlet dilarang memasang taruhan di pertandingan olahraga yang menjadi mata pencarian utama mereka.
Bermain judi sejatinya telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi pesepak bola. Di beberapa negara, terutama Inggris, klub dan kompetisi mendapat sokongan dana besar dari rumah taruhan. Selain itu, psikologis atlet yang terbiasa dalam iklim kompetitif, suka tantangan, dan gemar mengambil risiko juga membuat mereka amat besar mengalami kecanduan berjudi.
”Mereka kompetitif secara alami. Berjudi dengan rekan satu tim meningkatkan risiko mereka. Jika ada kultur berjudi di dalam sebuah tim, itu akan merugikan bagi pemain,” ujar Kieran Murray, penulis jurnal ”Predictors of Adverse Gambling Behaviours Amongst Elite Athletes (2023)” kepada BBC.
Dalam survei bertajuk Gambling among Sports People (2020)yang dilakukan National Center for Social Research di Inggris terungkap bahwa atlet lebih memiliki keterbukaan terhadap judi ketimbang masyarakat umum. Sebanyak 39 persen koresponden atlet masuk dalam kategori berisiko alami kecanduan judi. Adapun masyarakat umum hanya 18 persen yang berpotensi masalah judi.
Kemudian, empat hal yang melatarbelakangi kultur judi di atlet ialah dukungan dari perusahaan judi (31 persen), terpikat dari sponsor rumah judi di olahraga (27 persen), dipengaruhi rekan satu tim (25 persen), dan kemauan sendiri (10 persen).
Tony Adams, mantan kapten Arsenal, mengatakan, masalah utama pesepak bola profesional saat ini bukan alkohol dan obat-obatan terlarang, melainkan judi. Bersama lembaga nirlaba, Sporting Chance, yang dibentuknya pada 2001, Adams membantu atlet profesional untuk keluar dari ancaman kencanduan perilaku negatif.
Dalam pengalaman saya bersama Sporting Chance, banyak pemain sekarang kecanduan judi. Masalah itu sudah menjadi epidemik di sepak bola profesional.
”Dalam pengalaman saya bersama Sporting Chance, banyak pemain sekarang kecanduan judi. Masalah itu sudah menjadi epidemik di sepak bola profesional,” kata Adams yang memiliki 66 cap bersama timnas Inggris, kepada The Times.
Atlet, pesepak bola khususnya, memang susah mengelak dari kultur berjudi yang memang tidak lepas dari masyarakat di Eropa. Memasang taruhan pada balapan kuda, misalnya, telah dikenal sebagai bagian gaya hidup masyarakat kelas atas Inggris.
Alhasil, perlakuan terhadap aktivitas berjudi menghadirkan standar ganda. Pemain mendapat hukuman berat, sedangkan klub dan operator kompetisi mengeruk uang besar dari rumah judi melalui kesepakatan sponsor.
Larangan pemain terlibat di bursa taruhan sepak bola, utamanya yang dijalankan secara daring, disebabkan kekhawatiran pemain terlibat dalam aksi ilegal pengaturan skor. Dengan memasang taruhan di laga timnya, maka pemain bisa saja menyesuaikan penampilannya sesuai dengan taruhan yang dilakukannya.
Frase kekhawatiran pengaturan skor itu yang membuat Toney, Fagiolo, dan (mungkin) Tonali akan menepi lama dari lapangan hijau. Mereka masih bisa berlatih, tetapi tidak bisa tampil di pertandingan.
Selain untuk menjauhkan mereka dari sepak bola, hukuman itu juga dibarengi dengan pendampingan psikolog agar mereka bisa melepas dari ketergantungan terhadap judi. Tentu, tidak hanya judi sepak bola, tetapi juga aktivitas judi di kasino atau olahraga lain.
James Grimes, pendiri Big Step yang aktif melakukan kampanye larangan iklan judi di sepak bola, menganggap hukuman kepada pesepak bola akibat skandal judi adalah kemunafikan.
”Para pemain itu dipaksa menjadi papan reklame berjalan dari kasino daring, tetapi mereka kehilangan pekerjaan jika menggunakan produk tersebut. Itu tidak masuk akal,” ucap Grimes kepada BBC.
Industri sepak bola sejatinya amat ramah terhadap perusahaan judi. The Financial Times menyebut delapan klub Liga Inggris saat ini meraih pendapatan rerata 60 juta pounds (Rp 1,15 triliun) dari sponsor rumah judi. Menurut laporan Gambling Commission, perputaran uang dari judi daring di Inggris berjumlah sekitar 2,3 miliar pounds (Rp 44,37 triliun).
Dari jumlah itu, sekitar 46 persen atau 1,05 miliar pound (Rp 20,41 triliun) berasal dari memasang taruhan di pertandingan sepak bola. Jumlah itu telah melampaui taruhan di balap kuda (33 persen), lalu olahraga lain, seperti tenis (4 persen), kriket (2 persen), dan golf (1 persen).
Di luar klub, kompetisi kasta kedua Inggris, Championship, telah bermitra dengan rumah judi Sky Bet sejak 2013. Memasuki musim kesepuluh, Liga Sepak Bola Inggris (EFL), operator kompetisi, dan 24 klub Championship, menerima pendapatan 40 juta pounds (Rp 771,7 miliar) per tahun dari kemitraan itu. Kerja sama tersebut berdurasi hingga akhir musim 2023-2024.
Besarnya perputaran uang dari rumah judi telah menjadi kekhawatiran banyak pihak di Inggris. FA pun telah mengeluarkan aturan bahwa perusahaan judi tidak boleh lagi hadir di jersei tim mulai musim 2026-2027.
”Sepak bola adalah olahraga besar dan permainan keluarga, tetapi itu dinodai oleh perusahaan judi. Ini waktunya mengambil kebijakan penting untuk melarang kehadiran judi, seperti (iklan) rokok di Formula 1,” ujar eks kiper timnas Inggris, Peter Shilton, dilansir Financial Times.
Berbeda dengan Inggris, Italia telah melarang sponsor judi sejak 2019. Torino melalui SportPesa menjadi tim terakhir yang didukung perusahaan judi pada musim 2018-2019.
Dengan kondisi itu, sulit rasanya bagi pemain dan juga klub, lalu pemangku kepentingan sepak bola, untuk keluar dari candu (uang) judi.
Baiknya, mereka meresapi lirik lagu Judi dari Rhoma Irama, ”Kalau pun kau menang/ Itu awal dari kekalahan”. Fagioli, Tonali, dan Toney telah mengakui ”kekalahan” mereka sehingga untuk sementara bercerai dengan sepak bola yang menjadi napas hidup mereka.