Indonesia menapaki ulang optimisme dan mimpi tampil di Piala Dunia FIFA seusai melibas Brunei, 6-0. Tragedi di masa lalu turut menjadi bekal Indonesia melakoni perjalanan panjang dalam upaya menggapai ambisi itu.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·5 menit baca
Setiap kisah pasti ada lakon. Kebanyakan lakon pun harus menghadapi musibah atau kekalahan lebih dulu, sebelum akhirnya menyambut kejayaannya. Kisah serupa coba dijalani pasukan tim ”Garuda” yang ingin terbang tinggi ke pentas dunia.
Mimpi tampil di Piala Dunia FIFA kembali menancap di benak para pemain tim nasional sepak bola Indonesia saat melumat Brunei Darussalam 6-0 pada laga pertemuan pertama kualifikasi Piala Dunia 2026, Kamis (12/10/2023) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Momen itu kontras dengan peristiwa di tempat dan ajang serupa pada September empat tahun silam.
Ketika itu, mimpi Indonesia tampil di Piala Dunia FIFA sebagai negara merdeka musnah di rumah sendiri setelah tim Garuda dipermalukan Thailand, 0-3, pada fase grup putaran kedua kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022. Kurang dari sepekan sebelumnya, masih di tempat yang sama, Indonesia dijungkalkan tim tetangga sekaligus musuh bebuyutan, Malaysia, 2-3. Lebih menyakitkannya, ketika itu, tim Garuda sempat unggul dua kali lebih dulu melalui Beto Goncalves.
Dua kekalahan itu menegaskan reputasi buruk prestasi Indonesia dalam upaya menuju kancah sepak bola dunia. Sebelum laga versus Brunei, kemarin, tim Garuda menelan 13 kekalahan dan tanpa satu pun kemenangan dari 14 laga praPiala Dunia yang dijalani sejak 2011. Indonesia bak melakoni lagu almarhum Glenn Fredly, ”Sedih Tak Berujung”.
Dari 13 kali kualifikasi yang dijalani sejak edisi 1958, Piala Dunia 2022 adalah yang terburuk bagi Indonesia. Tim Garuda asuhan Simon McMenemy tujuh kali kalah dan tanpa satu pun kemenangan dari delapan laga, termasuk dari tetangga Asia Tenggara lainnya, Vietnam. Tim Garuda menjadi bulan-bulanan lawan, kebobolan total 27 gol atau rata-rata lebih dari tiga gol per laga.
Itulah pagebluk sepak bola Indonesia. Pada saat sama, ketika itu, Indonesia disorot FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) karena ulah suporter yang berbuat ricuh sebelum laga versus Malaysia dimulai. Wajah sepak bola Indonesia dua kali tercoreng.
Pagebluk sepak bola Indonesia mencapai puncaknya pada 1 Oktober 2022. Sebanyak 135 suporter aremania meregang nyawa pada laga Liga 1 Indonesia antara Arema Malang versus Persebaya Surabaya. Alih-alih dikenal karena prestasinya, sepak bola Indonesia justru menyita perhatian publik dunia karena kengeriannya. ”Ladang pembantaian sepak bola,” ungkap The Jakarta Post memberikan otokritik tajam dalam kolom editorialnya.
Dalam kebanyakan lakon, tragedi atau kekalahan adalah lecutan menuju kemenangan. Hal itu dibuktikan Pandawa saat menghadapi Batara Kala. Dalam konteks sepak bola, renaisans atau kebangkitan dari kehancuran berkali-kali dibuktikan, salah satunya oleh Italia.
Sebelum menjadi juara dunia 1982 di Spanyol, tim ”Gli Azzurri” diguncang skandal totonero alias judi ”toto gelap”. Paolo Rossi, striker yang diskors tiga tahun (lalu dipangkas setahun) pada 1980 karena skandal itu, justru menjadi pahlawan Azzurri dengan torehan enam golnya di Spanyol.
Membandingkan Inggris maupun Italia dengan Indonesia tentunya jauh berbeda. Namun, ketiga negara itu berbagi kesamaan, yaitu sama-sama punya masa lalu yang buruk di sepak bola. Persoalannya, tinggal bagaimana kita belajar.
Sejarah pun kembali berulang, seperti pernah dikatakan Karl Marx. Dalam konteks baik, bukan buruk seperti pernah disampaikan Marx, Italia kembali mengulangi kisah 1982 saat menjalani Piala Dunia 2006 di Jerman. Tidak diunggulkan dan tengah diguncang skandal calciopoli atau pengaturan wasit, Azzurri justru menjadi juara dengan mengalahkan favorit juara, Perancis, di final.
Pengalaman Italia
Italia, lagi-lagi, mengolah tragedi menjadi prestasi. Dibangun ulang dari kepingan ”bencana Ventura”, yaitu kegagalan lolos ke Piala Dunia Rusia 2018, Italia asuhan Roberto Mancini menjadi kampiun Piala Eropa 2020 yang digelar pada 2021 lalu. Renaisans mereka kian sempurna dengan permainan penguasaan bola dan menyerang, jauh dari pakem catenaccio yang sempat lama melekat pada mereka.
Negara kiblat sepak bola dunia, Inggris, juga pernah melakoni kisah epik yang berangkat dari musibah bertubi-tubi. Serangkaian tragedi akibat kericuhan penonton di stadion, yaitu Tragedi Heysel (1985) hingga Tragedi Hillsborough (1989), mendorong modernisasi sepak bola di Inggris.
Diawali Undang-Undang Penonton Sepak Bola pada 1989 yang merevolusi cara suporter berperilaku di stadion dan penanganan massa pada laga sepak bola, Pemerintah Inggris juga membenahi tata kelola industri sepak bola. Premier League, liga sepak bola paling terkenal di dunia saat ini, terlahir pada 1992.
Membandingkan Inggris maupun Italia dengan Indonesia tentunya jauh berbeda. Namun, ketiga negara itu berbagi kesamaan, yaitu sama-sama punya masa lalu yang buruk di sepak bola. Persoalannya, tinggal bagaimana kita belajar.
Sejumlah pembenahan telah dilakukan Indonesia, tak terkecuali Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam empat tahun terakhir. Sejumlah stadion dirombak, tak terkecuali Stadion Kanjuruhan, untuk memenuhi regulasi standar keamanan FIFA.
Kepolisian Negara RI pun tidak lagi memperbolehkan personelnya berada di dalam tribune stadion, kecuali di dalam keadaan memaksa. Kepanikan akibat tembakan gas air mata, seperti terjadi pada Tragedi Kanjuruhan, pun bisa ditekan di masa depan.
Tak kalah penting, Kompas bersama Dentsu Creative Indonesia, salah satu agensi kreatif digital, berinisiatif menampilkan panduan keselamatan di dalam stadion. Video panduan dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) itu pertama kali ditayangkan pada 30 menit sebelum dimulainya laga Indonesia versus Brunei.
Panduan keselamatan semacam itu lazim ditayangkan di stadion-stadion ternama dan pada laga internasional, terutama di wilayah rawan bencana. Kelaziman serupa juga diwakili banyaknya steward alias petugas keamanan sipil, tak terkecuali pada laga kemarin.
Belajar dari kehancuran pada kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022, PSSI juga melakukan pembenahan di struktur kepelatihan timnas. Shin Tae-yong, mantan pelatih timnas Korsel yang memulangkan Jerman di Piala Dunia Rusia 2018, direkrut pada akhir 2019 untuk menggantikan McMenemey.
Banyak pemain muda yang energik dan haus prestasi, seperti Ramadhan Sananta dan Pratama Arhan, dipercaya Shin masuk timnas senior. Indonesia pun kini berada di jalur tepat. Tim Garuda tampil lebih ofensif dan percaya diri. Dalam 12 laga setahun terakhir, mereka hanya dua kali kalah, salah satunya dari juara dunia Argentina. Untuk pertama kalinya sejak 2004, Indonesia lolos ke Piala Asia, yaitu edisi Qatar 2023, lewat kualifikasi.
Namun, lelakon Indonesia itu belum sempurna tanpa terwujudnya mimpi tertinggi, yaitu tampil di Piala Dunia seperti 1938 dengan nama Hindia Belanda. Jika itu tercapai nanti, jangan pernah lupakan tragedi yang pernah terjadi....