Sembilan lifter Indonesia yang akan tampil di Asian Games Hangzhou 2022 menjadi tumpuan harapan agar tradisi medali dari angkat besi terus terjaga. Mampukah mereka menumbangkan dominasi tuan rumah?
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·6 menit baca
Dengan China yang masih mendominasi di dunia angkat besi, berlaga di Asian Games Hangzhou 2022 diibaratkan masuk ke kandang macan. Walakin, tim angkat besi Indonesia yang terdiri atas sembilan lifter berbekal spirit spartan untuk menghadapi dominasi itu. Mereka juga memiliki motivasi tambahan untuk naik podium demi merawat tradisi medali di Asian Games.
Fakta dominasi China itu disadari salah satunya oleh Natasya Beteyob. Di debutnya pada Asian Games mendatang, Natasya akan turun di kelas 59 kilogram. Berdasarkan peringkat dunia tahunan 2023 hingga 16 September 2023, lifter China merupakan penghuni teratas kelas itu. Luo Shifang dengan total angkatan 243 kg menduduki peringkat pertama, sedangkan Pei Xinyi menempati ranking kedua dengan total 236 kg. Sementara itu, Natasya berada di peringkat ke-25 dengan total angkatan terbaiknya seberat 209 kg.
Kendati demikian, Natasya menolak menyerah dengan fakta tersebut. Angkat besi, yang akan dilombakan di Asian Games mulai 30 September 2023, memang merupakan olahraga terukur. Namun, Natasya percaya segala hal bisa terjadi ketika perlombaan. Lifter asal Jayapura, Papua, ini pun memilih untuk fokus mematangkan persiapan agar bisa menampilkan yang terbaik di ajang multicabang edisi ke-19 itu.
Sepulang dari Kejuaraan Dunia Angkat Besi 2023 di Riyadh, Arab Saudi, Natasya kembali berlatih di pemusatan latihan di Mess Kwini, Jakarta, Jumat (15/9/2023) sore. Program latihannya tidak langsung berat, hanya meliputi snatch dan front squat. Natasya memulainya dengan mengangkat tongkat besi seberat 15 kg ke atas kepala. Baru setelah melakukan gerakan itu berulang kali, Natasya menambahkan pelat beban pada kedua ujung tongkat.
Natasya lantas mencengkeram tongkat besi, lalu mengangkatnya tanpa jeda dari lantai hingga ke atas kepala atau biasa disebut snatch. Pelatih tim angkat besi yang menangani Natasya, Dirdja Wiharja, memperhatikan dan membantu memasangkan pelat ketika beban akan ditambah. Natasya melakukan angkatan snatch hingga 90 kg dan mengulanginya beberapa kali. Lifter 23 tahun itu tampak tak mengalami kesulitan berarti mengangkat beban maksimal yang ditetapkan pada latihan sore itu. Di Riyadh, dia melakukan angkatan snatch seberat 92 kg.
”Saya mencoba memperbaiki terus angkatannya. Masih ada waktu. Saya tahu saingannya berat-berat, apalagi dari lifter tuan rumah. Mereka pasti ingin menampilkan yang terbaik. Namun, saya juga tidak mau kalah, ingin berusaha semaksimal mungkin dan memberikan yang terbaik,” ujar Natasya.
Tekad debutan
Tekad serupa disampaikan Ricko Saputra yang juga akan tampil untuk pertama kalinya di Asian Games. Ricko bahkan menargetkan untuk meraih prestasi tertinggi di ajang tersebut. Untuk mencapai tujuan itu, Ricko terus memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam angkatan dan meningkatkan kesiapan hingga optimal. Termasuk mencegah berulangnya kram di kedua kaki seperti yang terjadi di Riyadh lalu. Akibat kram, dia gagal dalam angkatan clean and jerk (mengangkat beban dalam dua tahap)sehingga hanya mencatatkan angkatan snatch seberat 134 kg.
Yang berat sebenarnya bukan lawan dari China atau negara mana pun. Yang berat justru ketika lawannya adalah diri sendiri.
Di Hangzhou, Ricko akan turun di kelas 61 kg dan bersaing dengan lifter asal China yang meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, Li Fabin. Saat ini, Li Fabin menempati peringkat pertama dunia dengan total angkatan 314 kg, disusul atlet China lain, Chen Lijun (310 kg). Adapun Ricko berada di peringkat keenam dengan total angkatan 298.
”Yang berat sebenarnya bukan lawan dari China atau negara mana pun. Yang berat justru ketika lawannya adalah diri sendiri. Maka dari itu, sekarang saya juga meningkatkan kesiapan mental. Lebih fokus, tenang, disiplin, dan semangat,” tutur peraih dua medali emas Grand Prix IWF 2023, Kuba, Juni lalu.
Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PB PABSI Hadi Wihardja mengatakan, dengan China yang kembali mendominasi seusai lepas dari sanksi doping empat tahun lalu, tampil di Asian Games Hangzhou bak masuk ke kandang macan. Namun, Hadi optimistis tim angkat besi bisa mencapai target meraih masing-masing satu medali emas, perak, dan perunggu.
Selain adanya tekad besar dari para debutan, seperti Natasya dan Ricko, Indonesia juga memiliki lifter-lifter andalan yang tampil pada Asian Games Jakarta-Palembang 2018. Mereka adalah lifter senior Eko Yuli Irawan, lifter belia Rahmat Erwin Abdullah, dan lifter putri Nurul Akmal.
Modal Kejuaraan Dunia
Pada edisi 2018, Eko Yuli Irawan menyumbangkan medali emas dari kelas 62 kg. Eko, yang akan turun di kelas 67 kg di Hangzhou mendatang, berhasrat untuk mengulangi torehan lima tahun lalu itu sekaligus menyabet medali keempatnya di Asian Games. Apalagi, Eko cukup percaya diri turun di kelas 67 setelah baru saja meraih dua medali perak di Riyadh. Lifter berusia 34 tahun ini meraih medali perak dari dari total angkatan 321 kg dan angkatan snatch seberat 146 kg.
Sementara itu, pada angkatan clean and jerk, Eko mencatatkan 175 kg. Lifter yang telah mengumpulkan empat medali Olimpiade ini sempat menaikkan hingga 181 kg pada angkatan ketiga, tetapi gagal. ”Sengaja tidak mengeluarkan semua kemampuan karena prioritasnya sebenarnya di Asian Games. Targetnya mempertahankan emas,” ujar Eko.
Hasil di Kejuaraan Dunia juga turut menambah kepercayaan diri Rahmat Erwin Abdullah (22). Turun di kelas 81 kg, Rahmat mempersembahkan medali emas sekaligus memecahkan rekor dunia dari angkatan clean and jerk seberat 209 kg. Selain itu, dia juga menyabet medali perak dari total angkatan 354 kg.
Eko dan Rahmat sama-sama bertekad naik podium demi menambah koleksi medali emas dari angkat besi sekaligus merawat tradisi medali di Asian Games. Dalam lima edisi Asian Games terakhir, angkat besi selalu menyumbangkan medali dengan total 12 keping. Namun, selama lebih dari dua dekade itu, hanya satu medali emas yang berhasil diraih.
Selain itu, Rahmat yang masih belum menentukan turun di kelas 73 kg atau 81 kg ini juga memiliki dua motivasi tambahan. Pertama, lifter asal Makassar, Sulawesi Selatan, ini ingin membalas kegagalan edisi sebelumnya yang belum bisa menyabet medali dari kelas 77 kg. Dia hanya finis di urutan ke-11. Kedua, dia ingin melampaui torehan pelatih sekaligus ayahnya, Erwin Abdullah (perak, 69 kg), pada Asian Games Busan 2002.
”Motivasinya berlipat ganda, ditambah aku juga sudah lebih siap daripada lima tahun lalu. Tanpa ditargetkan oleh orang lain pun, aku sudah punya target pribadi. Aku ingin mengalahkan semua yang ada di sana, menjadi yang terkuat,” kata Rahmat.
Erwin Abdullah, yang menangani Rahmat dan Eko, mengatakan, program latihan untuk keduanya dirancang agar lebih berat ketimbang sebelumnya. Itu merupakan konsekuensi dari keinginan untuk menggapai prestasi tertinggi. Rahmat dan Eko juga dituntut lebih disiplin. Tak hanya itu, Erwin menekankan, keduanya harus punya spirit pantang mundur kendati bertanding di ”kandang macan”.
Meski begitu, lifter nasional 1990-2000-an ini terus mengingatkan anak-anak asuhannya agar tidak terbebani dengan target prestasi. Setiap perlombaan, kata Erwin, harus dianggap seperti perayaan hari ulang tahun yang memberikan kegembiraan.
”Kalau sudah gembira, apa pun bisa saja terjadi. Termasuk meraih kemenangan dan memecahkan rekor,” ucapnya.