Dua petenis tunggal putra peringkat teratas dunia, Carlos Alcaraz dan Novak Djokovic, telah menciptakan rivalitas terbaik pada tahun ini. Setelah final Wimbledon, mereka akan bertemu pada final Cincinnati Masters.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
CINCINNATI, SABTU — Kalah dari Carlos Alcaraz di final Wimbledon, istirahat dari turnamen, lalu bertemu lagi Alcaraz di final ATP Masters 1000 Cincinnati. Perjalanan itu dialami Novak Djokovic dalam sebulan terakhir. Berbeda dengan di Wimbledon, kali ini Djokovic akan berperan sebagai penantang.
Final antara dua petenis ranking teratas dunia, yang juga dua unggulan teratas di Cincinnati Masters, itu dipastikan setelah Djokovic mengalahkan Alexander Zverev pada semifinal di Lindner Family Tennis Center, Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, Sabtu (19/8/2023) sore waktu setempat atau Minggu dini hari waktu Indonesia. Djokovic menang dengan skor 7-6 (5), 7-5. Beberapa jam sebelumnya, Alcaraz mengalahkan Hubert Hurkacz setelah menggagalkan match point petenis Polandia itu, 2-6, 7-6 (4), 6-3.
Rasanya luar biasa bagi olahraga ini ketika petenis nomor satu dan dua dunia berhadapan lagi di final ajang besar. Saya kira, ini yang diinginkan penggemar tenis pada awal turnamen ini.
”Rasanya luar biasa bagi olahraga ini ketika petenis nomor satu dan dua dunia berhadapan lagi di final ajang besar. Saya kira, ini yang diinginkan penggemar tenis pada awal turnamen ini,” komentar Djokovic.
Final yang akan berlangsung Senin dini hari WIB itu menjadi pertemuan kedua beruntun bagi Djokovic dan Alcaraz dalam partai final. Sebulan lalu, mereka bertemu di panggung yang lebih besar, final Wimbledon. Djokovic difavoritkan juara sejak sebelum turnamen berlangsung, tetapi Alcaraz akhirnya menang, 1-6, 7-6 (6), 6-1, 3-6, 6-4.
Dengan hasil di Wimbledon tersebut dan status sebagai unggulan kedua, Djokovic bisa dikatakan sebagai penantang Alcaraz di Cincinnati Masters meski rekam jejaknya jauh mengungguli petenis Spanyol berusia 20 tahun itu.
Saat Alcaraz memulai persiapan menuju Grand Slam AS Terbuka dengan bertanding di Kanada Masters, pekan lalu, sedangkan Djokovic absen. Dia memilih beristirahat dari turnamen untuk mengeset kembali motivasi. Kekalahan dari Alcaraz di Grand Slam lapangan rumput itu menggagalkan keinginannya menyapu bersih gelar juara Grand Slam tahun ini setelah menjuarai Australia dan Perancis Terbuka.
Adaptasi untuk bermain di AS Terbuka, 28 Agustus-10 September, dilakukan di Cincinnati Masters. Jika bisa mengalahkan rival mudanya itu, dia akan meraih gelar ketiga Cincinnati Masters setelah 2018 dan 2020.
Djokovic tinggal membutuhkan satu gelar juara dari Monte Carlo Masters agar bisa menjuarai sembilan ajang ATP Masters 1000, masing-masing tiga kali. Petenis Serbia itu menjadi satu-satunya yang bisa menjuarai semua turnamen level atas pada struktur turnamen tenis putra profesional tersebut.
Tambahan kemenangan di final juga akan menambah gelar juaranya dari Masters 1000, yaitu menjadi ke-39. Jumlah kemenangan dalam kariernya akan bertambah menjadi 1.069, yang berarti unggul satu kemenangan atas Rafael Nadal. Di atas Djokovic hanya ada dua petenis yang telah pensiun dengan jumlah kemenangan lebih banyak, yaitu Roger Federer (1.251) dan Jimmy Connors (1.274).
Dalam perjalanan menuju final kedelapan di Cincinnati, Djokovic tak kehilangan satu set pun. Dia bahkan mendapat kemenangan ”bagel” saat mengalahkan Taylor Fritz pada perempat final, 6-0, 6-4.
Ini berbeda dengan Alcaraz yang harus selalu melalui laga tiga set. Djokovic hanya bertanding selama 4 jam 59 menit, sementara Alcaraz menghabiskan waktu di lapangan hingga 10 jam 58 menit. Namun, Alcaraz tak merasa khawatir dengan kondisi fisiknya untuk menghadapi final.
”Bermain tiga set atau pertandingan panjang tak menjadi masalah bagi saya. Saya bisa pulih dengan baik. Menghadapi final, saya bahkan merasa seperti menghadapi pertandingan pertama dalam turnamen,” tuturnya.
Dengan lolos ke final, Alcaraz menjadi finalis termuda Cincinnati Masters sejak Pete Sampras tampil pada final 1991 dalam usia 10 tahun. Jika menang, Alcaraz akan menjadi juara termuda sejak Boris Becker juara dalam usia 17 tahun pada 1985.
Coco Singkirkan Swiatek
Pada persaingan tunggal putri di tempat yang sama, Cori ”Coco” Gauff akan tampil dalam final turnamen WTA 1000 untuk pertama kalinya. Tiket final itu didapatnya setelah mengalahkan petenis nomor satu dunia, Iga Swiatek, 7-6 (2), 3-6, 6-4, pada semifinal.
Coco pun tak dapat menahan emosinya dengan berteriak lantang sambil meloncat-loncat ketika mendapat poin terakhir. Poin itu didapat ketika dia bisa bertahan dari tekanan Swiatek melalui forehand keras yang bolanya jatuh mendekati baseline atau sudut lapangan. Dalam keunggulan posisi untuk menekan, Swiatek berusaha memotong bola dari Coco dengan mendekati net dan melakukan half volley, tetapi bola jatuh di luar garis pinggir lapangan.
Coco tak hanya gembira karena mencapai final pertamanya di turnamen WTA 1000. Dia juga lega karena ini menjadi kemenangan pertama atas Swiatek setelah tujuh kali kalah beruntun.
”Saya tahu, melawan Iga pasti akan menjadi pertandingan berat. Saya hanya berusaha berjuang untuk setiap poin. Saya sempat berpikir negatif pada set kedua, tetapi berusaha bangkit dengan mengingatkan diri bahwa saya adalah seorang pejuang,” ujar Coco pada Tennis Channel.
Petenis berusia 19 tahun itu tinggal membutuhkan satu kemenangan untuk meraih gelar besar pertamanya setelah kalah di final Grand Slam Perancis Terbuka 2022 dari Swiatek. Coco akan berhadapan dengan Karolina Muchova yang juga akan menjalani final pertama WTA 1000. Finalis Perancis Terbuka 2023 itu menyingkirkan unggulan kedua, Aryna Sabalenka, 6-7 (4), 6-3, 6-2. (AP/AFP)