Rodri masuk dalam sejarah Manchester City berkat gol penentu gelar Liga Champions. Dalam empat edisi final terakhir, trofi juara Eropa ditentukan dengan skor minimalis, 1-0.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
ISTANBUL, MINGGU – Dua musim lalu di final Liga Champions 2020-2021 yang berlangsung di Porto, Portugal, Manajer Manchester City Pep Guardiola secara mengejutkan tidak memainkan Rodri. Pada kesempatan kedua menembus partai puncak kompetisi antarklub paling bergengsi di Eropa pada musim ini, Rodri mewujudkan mimpi “The Citizens” di Eropa.
Tanpa Rodri di Porto, City tumbang, 0-1, dari Chelsea berkat gol tunggal penyerang, Kai Havertz. Setelah dua tahun berselang, Rodri seakan membalas rasa penasarannya di Stadion Olimpiade Ataturk, Istanbul, Turki.
Pemain kelahiran Madrid, Spanyol, itu mencetak gol tunggal City ke gawang Inter Milan, Minggu (11/6/2023) dini hari WIB, yang membantu timnya membawa pulang trofi “Si Kuping Besar” untuk pertama kali. Berkat gol Rodri di menit ke-68 itu, The Citizens menyapu bersih tiga trofi mayor di musim ini dengan raihan treble winner.
Hasil itu membuat City tidak lagi berada di bawah bayang-bayang rival sekota mereka, Manchester United, yang lebih dulu meraih treble winner pada 1999. City pun menjadi tim ke-23 yang bisa meraih gelar juara Liga Champions.
Setelah memasuki abad ke-21, hanya ada dua tim anyar yang bisa mencapai supremasi di kompetisi antarklub paling terkemuka di Eropa itu. Selain City, satu tim lainnya adalah Chelsea yang meraih gelar Liga Champions perdana pada 2012.
(Gol) ini hadiah luar biasa. Ini melebihi mimpi terbaik sejak saya kecil karena bisa mencetak gol yang menentukan untuk kemenangan.
“(Gol) ini hadiah luar biasa. Ini melebihi mimpi terbaik sejak saya kecil karena bisa mencetak gol yang menentukan untuk kemenangan,” kata Rodri kepada BT Sport.
Lebih lanjut, Rodri mengakui, laga final tidak berjalan mudah. Apalagi, tambahnya, Inter bermain sangat baik dengan pertahanan kokoh dan serangan balik cepat.
Di Istanbul, performa City memang tidak terlalu mengagumkan. Mereka tampil di bawah performa mereka akibat rasa gugup dan tekanan yang diberikan Inter.
City hanya mencatatkan 58 persen penguasaan bola dan 88 persen akurasi operan. Jumlah itu menurun dibandingkan rerata 60 persen penguasaan bola dan 90 persen akurasi operan yang dicatatkan di Liga Champions musim ini. Selain itu, jumlah peluang City yang hanya tujuh tembakan juga menurun drastis dibandingkan 16 tembakan per laga dari 12 gim sebelumnya.
“Ini lah partai final yang sejati. Anda tidak bisa berharap selalu bermain bagus karena ada emosi dan rasa gugup yang menyelimuti tim. Saya pun bermain sangat buruk di babak pertama,” ujar Rodri.
Nathan Ake, bek City, memuji gol dan performa Rodri. “Dia (Rodri) adalah pemain yang luar biasa. Golnya membawa kami menebus kekecewaan dua tahun lalu,” ucap Ake dilansir BBC.
Teriakan Guardiola
City bermain tegang di beberapa momen laga. Pada menit ke-25, Ederson, kiper City, melakukan kesalahan operan di sepertiga akhir zona pertahanan sendiri. Gelandang Inter, Nicolo Barella, yang menerima bola langsung menendang bola, tetapi sepakan itu gagal tepat mengarah ke gawang City.
Melihat insiden itu, Guardiola langsung berteriak kepada skuadnya untuk bermain lebih tenang ketika menguasai bola. Guardiola pun sempat menahan anak asuhannya di lorong stadion sebelum memasuki lapangan jelang babak kedua. Itu dilakukan juru taktik asal Spanyol itu untuk memotivasi skuadnya.
Di awal babak kedua, pemain City juga melakukan kesalahan serupa. Ederson dan Manuel Akanji miskomunikasi, sehingga tidak ada pemain yang menerima bola back-pass Bernardo Silva.
Bola itu dicuri Lautaro Martinez, penyerang Inter, tetapi untungnya tendangan Martinez yang bermaksud memberikan operan silang kepada Romelu Lukaku bisa dihalau Ederson dengan dada.
Demi menyuntikkan semangat kepada timnya, Guardiola juga beberapa kali tertangkap kamera meminta sekitar 20.000 pendukung City yang hadir di tribune stadion tanpa henti menyanykan yel-yel dukungan.
“Di masa istirahat, saya katakan kepada pemain untuk bermain lebih sabar. Anda butuh keberuntungan untuk menang karena kompetisi ini seperti sebuah lemparan koin,” ujar Guardiola.
Ia menambahkan, “Kami tidak bermain di level terbaik kami. Tetapi, prestasi ini diraih karena setelah Piala Dunia, tim membuat peningkatan besar. Kami merasa lelah, tenang, dan puas dalam satu waktu sebab sangat sulit memenangi kompetisi ini”.
Guardiola telah meraih tiga gelar Liga Champions yang menyejajarkan dirinya dengan Zinedine Zidane. Ia hanya tertinggal satu raihan juara dengan Carlo Ancelotti yang memegang rekor pelatih yang meraih trofi “Si Kuping Besar” terbanyak dengan empat trofi.
Hebatnya lagi, Guardiola menjadi pelatih pertama yang meraih dua trofi Liga Champions dengan meraih treble winner. Sebelum bersama The Citizens, prestasi itu digapai bersama Barcelona pada 2009.
Tidak beruntung
Sementara itu, Inter yang tampil mengandalkan high pressing dan transisi serangan cepat mengkreasikan 14 tembakan. “I Nerazzurri” mendapat dua peluang emas setelah kemasukan gol. Tetapi, Inter tidak beruntung untuk bisa menaklukan Ederson.
Pertama, sundulan bek sayap kanan, Federico Dimarco, membentur mistar gawang di menit ke-71. Ketika melakukan sundulan kedua hasil bola pantulan mistar, bola justru mengenai tubuh rekan setimnya, Romelu Lukaku.
Kedua, Lukaku menyundul bola di menit ke-88 ketika sudah tanpa kawalan di muka gawang City. Peluang itu juga gagal berbuah gol karena bola sundulan penyerang asal Belgia itu mengenai lutut Ederson.
“Kami memiliki beberapa kesempatan, kami seharusnya mendapatkan hasil akhir yang lebih baik. Tim ini mendemonstrasikan bahwa mereka bisa bermain bagus di level tertinggi,” kata Pelatih Inter Simone Inzaghi, yang mempersembahkan gelar Piala Super Italia dan Coppa Italia di musim ini, dilansir laman UEFA.
Kekecewaan juga disampaikan Dimarco. “Kami sangat kecewa kalah di gim terpenting dan gagal mencetak gol meski bisa tampil setara dengan tim yang dibangun untuk memenangi kompetisi ini,” ucapnya. (AFP)