Setelah ”Overthinking”, Terbitlah Wajah Pragmatis Guardiola
Perlu tujuh tahun bagi Pep Guardiola untuk membawa Manchester City menjadi raja Eropa. Meskipun dikenal pakar dalam sepak bola menyerang, Guardiola memiliki jiwa pragmatis yang ampuh bagi City.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
Sejak ditangani Guardiola pada musim 2016-2017, City telah menjelma menjadi tim dengan sepak bola menyerang nan atraktif yang sulit ditandingi tim mana pun. Namun, permainan yang indah dan menghibur tidak cukup untuk bisa mengangkat ”Si Kuping Besar”, trofi Liga Champions.
Faktor ”x” berupa ketangguhan mental hingga ketepatan pendekatan taktik di setiap laga lebih kerap menjadi penentu hasil akhir di Liga Champions dibandingkan dengan sepak bola yang enak ditonton. Pada kesempatan pertama mencapai final Liga Champions edisi 2020-2021, City tumbang, 0-1, dari Chelsea di Stadion do Dragao, Porto, Portugal.
Kala itu, banyak pihak yang menyalahkan pendekatan berbeda Guardiola yang tidak menurunkan satu pun gelandang bertahan sejak sepak mula. Rodri dan Fernandinho memulai laga dari bangku cadangan sehingga City kecolongan gol dari Kai Havertz di akhir babak pertama.
Perubahan taktik di pertandingan penting itu menjadi indikasi Guardiola selalu ”overthinking” pada laga krusial City di Liga Champions. Pada laga kedua semifinal 2021-2022 kontra Real Madrid di Stadion Santiago Bernabeu, Guardiola pun melakukan pergantian yang aneh karena mengeluarkan pencetak gol, Riyad Mahrez, dengan gelandang bertahan, Fernandinho.
Alih-alih mempertahankan keunggulan, ”The Citizens” justru kecolongan dua gol cepat Real di akhir babak kedua. Hingga akhirnya, City tersisih dan gagal melaju ke final.
Di musim ini, sifat ”overthinking” Guardiola sudah tidak terlihat lagi. ”Tenang, kawan. Saya tidak akan terlalu banyak berpikir. Saya akan menurunkan susunan formasi yang sama dan tim bermain dengan cara seperti biasa,” ucap Guardiola dalam beberapa kesempatan di akhir musim ini ketika ditanya tentang sifat ”overthinking”.
Sebagai gantinya, Guardiola menampilkan permainan yang lebih pragmatis kepada timnya. Pragmatis dalam kacamata manajer berusia 52 tahun itu ialah tim lawan bisa mengimbangi penguasaan bola dan kreasi peluang, tetapi timnya berusaha mempertahankan kemenangan.
Gaya itu terpancar pada final Liga Champions menghadapi Inter Milan di Stadion Olimpiade Ataturk, Istanbul, Turki, Minggu (11/6/2023) dini hari WIB. City tampil amat dominan di babak pertama dengan koleksi 61 persen penguasaan bola, 4 tembakan, dan 91 persen tingkat akurasi operan. Namun, permainan yang superior itu gagal menaklukkan pertahanan kokoh dan permainan disiplin Inter.
Di babak kedua, City justru lebih mengedepankan untuk memanfaatkan momen terbaik dibandingkan dengan terus mengurung pertahanan Inter. Itu terlihat dari penurunan persentase penguasaan bola dan akurasi operan yang hanya menjadi 57 persen dan 88 persen.
Jumlah itu amat jauh dibandingkan dengan rerata 60 persen penguasaan bola dan 90 persen akurasi operan yang dicatatkan City di Liga Champions musim ini.
Selain itu, Ilkay Guendogan dan kawan-kawan pun hanya bisa menghasilkan tiga tembakan. Meski begitu, satu peluang sudah cukup untuk mencetak gol kemenangan yang dihasilkan Rodri di menit ke-68.
”Tidak ada orang yang terhubung dengan City ini ingin mengingat laga final itu. Namun, semua tentu akan selalu mengangkat trofi yang bersejarah dan pantas dirayakan oleh semua orang yang memiliki keterkaitan dengan klub,” ungkap ulasan Manchester Evening News edisi Minggu kemarin.
Belajar menderita
Guardiola menilai, keberhasilan meraih trofi Eropa tidak lepas dari kemampuan skuadnya bersedia menghadapi penderitaan yang normal dijalani pada laga perebutan juara.
Kami menang karena telah belajar untuk menderita. Terkadang Anda butuh keberuntungan untuk menang, itu adalah hal yang tidak kami miliki di masa lalu.
”Kami menang karena telah belajar untuk menderita. Terkadang Anda butuh keberuntungan untuk menang, itu adalah hal yang tidak kami miliki di masa lalu,” kata Guardiola kepada BT Sport.
Lebih lanjut, kata Guardiola, ”Di menit-menit akhir, Inter bermain lebih baik dan mereka memaksa kami bertahan. Kami memiliki kiper yang mengagumkan dan membuat penyelamatan penting.”
Di paruh kedua musim ini, permainan yang lebih pragmatis ditunjukkan Guardiola demi mengejar ketertinggalan poin dari Arsenal di Liga Inggris. Guardiola tidak lagi memaksa skuad City untuk melulu tampil menyerang dan mendominasi, terutama menghadapi lawan yang kualitasnya setara.
Sebaliknya, City menjadi tim dengan pertahanan kokoh yang menjadi kunci mereka meraih kemenangan penting. Itu pertama kali ditunjukkan ketika mereka menumbangkan Arsenal, 3-1, 16 Februari lalu di Stadion Emirates.
Pada laga itu, City untuk pertama kali kalah penguasaan bola dari lawan sejak ditangani Guardiola pada musim 2016-2017. City bisa mengungguli pesaing utama mereka meskipun hanya mencatatkan 36 persen penguasaan bola dan melakukan 303 operan.
Permainan serupa juga diterapkan City ketika berjumpa Bayern Muenchen di babak perempat final Liga Champions. Pada dua duel kontra kampiun Liga Jerman, ”The Citizens” hanya mencatatkan masing-masing 44 persen dan 42 persen penguasaan bola, tetapi City mengoleksi keunggulan agregat mutlak, 4-1.
City tidak perlu selalu mendominasi bola. Sebab, mereka menerapkan permainan yang lebih seimbang di tengah berkat menempatkan John Stones sebagai gelandang dalam kondisi menyerang, lalu sebagai bek tengah dalam situasi bertahan.
Berkat taktik itu, pertahanan City sulit ditembus. Mereka hanya kemasukan tiga gol dari tujuh laga di fase gugur Liga Champions musim ini. Ketiga gol itu hadir di kandang RB Leipzig, Bayern, dan Real.
Di sisi lain, mereka memiliki Haaland yang membuat bola bisa langsung diarahkan ke zona pertahanan lawan dalam proses transisi serangan balik. Sebanyak 18 gol City diciptakan setelah lolos dari babak penyisihan di kompetisi antarklub Eropa 2022-2023.
Menurut Chris Sutton, pakar sepak bola di BBC, perubahan City itu adalah hasil dari pelajaran yang dipetik Guardiola dalam beberapa musim terakhir. Tak hanya soal taktik, Guardiola juga mempersiapkan mental skuadnya dengan baik.
Itu dilakukan juru taktik berpaspor Spanyol itu dengan menerapkan libur latihan untuk memberikan waktu kepada pemainnya bersantai setelah mengakhiri Liga Inggris dan final Piala FA. Di masa lalu, Guardiola selalu menuntut anak asuhannya berlatih hingga kompetisi benar-benar rampung.
”Pep Guardiola telah membentuk tim ini melalui situasi baik dan buruk selama tujuh musim. Gelar Liga Champions ini adalah penyempurna dari perjalanan panjang itu,” ujar Sutton.